Matakuliah :F0452/Akuntansi Perpajakan Tahun : 2006 AKUNTANSI PENGHASILAN 2: PENGHASILAN YANG PAJAKNYA DIPOTONG OLEH PIHAK LAIN (1) PERTEMUAN: 5 bab 6
AKUNTANSI PENGHASILAN 2: PENGHASILAN YANG PAJAKNYA DIPOTONG OLEH PIHAK LAIN (1) Dalam bab ini pembahasan masih akan dilanjutkan dengan masalah akuntansi penghasilan, khususnya yang berkaitan dengan pengakuan dan pengukuran dari berbagai macam penghasilan yang pajaknya dipotong atau dipungut oleh pihak lain (pemberi kerja). Konsep dasar penghasilan seperti digunakan atau dianut dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, sekurang-kurangnya mempunyai dua implikasi penting, yaitu:
Digunakannya tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak sebagai dasar pengenaan atau basis perhitungan pajak; dan Digabungkannya semua penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak; kecuali untuk kerugian yang diderita dari kegiatan atau usaha di luar negeri, penghasilan-pengasilan yang dikenakan pajak tertentu bersifat final, dan penghasilan yang dikecualikan dari obyek pajak atau penghasilan bukan obyek pajak (PBOP).
Berdasar sifat dan sistem pembayaran atau pelunasan pajaknya, penghasilan obyek pajak juga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: Penghasilan obyek pajak (POP) yang pajaknya dipungut atau dipotong oleh pihak lain atau pemberi penghasilan, yang lebih lanjut dapat dibeadakan ke dalam: (a) kelompok penghasilan yang dipotong pajak oleh pihak lain bersifat final, (b) kelompok penghasilan yang dipotong pajak oleh pihak lain dan bersifat tidak final; dan Penghasilan obyek pajak (POP) yang pajaknya harus dihitung, dibayar dan dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pihak yang Wajib Melakukan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh-Pasal 21 Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan; Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah; Dana pensiun termasuk PT Astek, badan penyuelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) lainnya; Perusahaan dan badan termasuk bentuk usaha tetap, badan milik negara dan badan usaha milik daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun; Penyelenggara kegiatan termasuk badan, badan pemerintah, organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya.
PENGHASILAN PAJAK PASAL 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak penghasilan atas penghasilan obyek pajak (POP) berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak-orang pribadi dalam negeri; baik dalam hubungan kerja maupun pekerjaan bebas. Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan atas penghasilan yang pemungutan atau pembayarannya dilakukan melalui pemotongan oleh pihak lain-pemberi kerja atau penghasilan.
Penghasilan Obyek Pajak – POP Pasal 21 Secara garis besar, penghasilan-penghasilan obyek pajak (POP) yang dikenakan pajak berdasar ketentuan Pasal 21 dapat dikelompokkan ke dalam 6 kategori, terutama apabila dilihat dari metode, prosedur atau cara penghitungan/pengukurannya sebagaimana tampak berikut ini:
Penghasilan Obyek Pajak – POP Pasal 21 Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang bantuan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjang kemahalan; Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa: jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan; Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan; Uang tebusan pensiun, Uang Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT), uang pesangon; Honorarium, uang saku, komisi, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak-dalam negeri (badan dan orang pribadi); Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak.
Penghasilan Tidak Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; Pembayaran Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua dari PT Taspen atau PT Asabri; Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak dan Pemerintah; Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja; Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; Penghasilan yang dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil golongan II/d ke bawah dan Anggota TNI dan POLRI berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah.
AKUNTANSI PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN BEBAS SEBAGAI PENGHASILAN OBYEK PAJAK (POP) PASAL 21 Untuk tujuan akuntansinya, pajak atas penghasilan berupa penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan sebagai penghasilan obyek pajak (POP); yang diterima oleh Wajib Pajak-Orang Pribadi-dalam negeri dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori sebgai berikut: Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dalam hubungan kerja dengan perusahaan sebagai pemberi kerja atau penyelenggara kegiatan (employee-employer relationships); dan Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan bebas (self-employed) yang dilakukan oleh Wajib Pajak-Orang Pribadi dalam negeri.
Pajak Penghasilan Bersifat Final Dasar pengenaan pajak untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pihak lain dan bersifat final adalah penghasilan bruto. Pada umumnya, penghasilan sehubungan dengan pekerjaan (dalam beberapa hal juga pekerjaan bebas) yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan bersifat final merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak – Orang Pribadi dalam negeri.
Pajak Penghasilan Sebagai Pelunasan Pajak yang Terutang Bagi para karyawan atau pegawai sebagai Wajib Pajak-Orang Pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan hanya dari satu pemberi kerja, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang sudah dipotong dan disetorkan secara benar oleh pemberi kerja merupakan pelunasan pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan. Penghasilan Kena Pajak sesuai dengan keadaan dan status Wajib Pajak pada awal tahun pajak dipakai sebagai dasar pemotongan atau pemungutan pajaknya.
Pajak Penghasilan Sebagai Kredit Pajak Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa Pajak Penghasilan Pasal 21 yang sudah dipotong oleh pihak pemberi kerja disamping ada yang bersifat final dan merupakan pelunasan atas pajak penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan, terdapat juga yang bersifat tidak final dan dapat diperlakukan sebagai kredit pajak atau pengurang atas Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja, yang bersifat tidak final dan dapat diperlakukan sebagai kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun bisa didasarkan pada: (a) penghasilan bruto; (b) perkiraan penghasilan neto, maupun (c) penghasilan kena pajak (PKP).
Contoh: Pajak Penghasilan dari Pekerjaan Bebas Sebagai Kredit Pajak-1 Pemilik toko Setia Kawan (Wajib Pajak-Orang Pribadi dalam negeri) adalah salah satu agen penjualan obat-obatan hasil produksi PT Jogya Pharma. Dalam tahun 2003, ia memperoleh penghasilan kena pajak-PKP (penghasilan bruto minus biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta penghasilan tidak kena pajak-PTKP) sebesar Rp500,00 juta termasuk di dalamnya penghasilan bruto berupa komisi dari PT Jogya Pharma sebesar Rp300,00 juta-penghasilan obyek pajak (POP) Pasal 21 bersifat tidak final. Atas penghasilan bruto berupa komisi yang dibayarkan oleh atau diterima dari PT Jogya Pharma, akan dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar Rp71,25 juta bersifat tidak final dan berdasar tarif umum progresif (TUP-Pasal 17) sebaga berikut:
No. Kalkulasi Jumlah 1. Komisi penjualan bruto Rp300.000.000,00 Krg: Pajak Penghasilan-Pasal 21 2. 0,05 X Rp25,00 juta Rp1.250.000,00 0,10 X Rp25,00 juta 2.500.000,00 0,15 X Rp50,00 juta 7.500.000,00 0,25 X Rp100,00 juta 25.000.000,00 0,35 X Rp100,00 juta 35.000.000,00 Jumlah (71.250.000,00) 3. Komisi penjualan-neto sesudah pajak Rp228.6\750.000,00 Sedangkan ayat jurnal untuk mencatat penerimaan kas berupa penghasilan komisi sebesar Rp228,75 juta sebagai berikut: Tgl Rekening & Deskripsi Debit Kredit Kas atau Bank Rp228.750,00 U/M-Pajak Penghasilan Pasal 21 71.250,00 Penghasilan Komisi Rp300.000,00
PENGHASILAN OBYEK PAJAK PASAL 22 Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh: Bendaharawan pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang; dan Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor dan kegiatan usaha di bidang lain. Secara lebih spesifik instansi, lembaga pemerintah, lembaga negara lainnya, dan badan-badan tertentu yang oleh Undang-undang Pajak Penghasilan ditetapkan sebagai pihak yang wajib memungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dapat diikhtisarkan pada tabel berikut ini:
Tabel Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang; Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah, baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang dari anggaran belanja negara dan/atau anggaran belanja daerah; Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri; Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas, atas penjualan hasil produksinya; Badan Urusan Logistik (Bulog), atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu.
Tarif dan Sifat Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 bervariasi dari 1,5% atas penyerahan barang yang dibiayai dengan APBN dan APBD hingga 7,5% dari harga jual lelang atas impor barang yang tidak dikuasai. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ada yang bersifat tidak final, sehingga dapat diperlakukan sebagai kredit pajak atas pajak penghasilan yang terutang pada akhir tahun dan ada yang bersifat final; yang secara lebih spesifik dapat dikemukakan sebagai berikut: No. Pungutan PPh Pasal 22 berisifat tidak final 1. Atas impor barang yang dipungut oleh Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 2. Atas pembelian barang dari belanja negara dan/atau belanja daerah yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah (Pusat dan Daerah), BUMN, BUMD Pungutan PPh Pasal 22 berisifat final Atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas kepada penyalur atau agen Atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) kepada para penyalur atau agennya.
Saat terutang dan Pelunasan PPh Pasal 22 Saat terutang dan pemungutan atau pelunasan PPh Pasal 22 bervariasi, tergantung pada obyek pemungutannya. Secara garis besar, saat terutang dan saat pemungutan atau pelunasan PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut:
Saat Terutang, Pemungutan dan Pelunasan No. 1 2 3 4 5 Obyek Pajak Atas impor barang dengan LKP (*) Atas impor tanpa LKP Pembelian barang dengan APBN dan APBD Atas penjualan hasil produksi oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kerta, industri baja dan industri otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak di dalam negeri Atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas, dan penyerahan guna pasir dan tepung terigu oleh Bulog Saat Terutang, Pemungutan dan Pelunasan Saat pembayaran kepada Bank Devisa Saat pembayaran Bea Masuk kepada Bea dan Cukai Saat terjadinya pembayaran Saat terjadinya transaksi penjualan Saat pembayaran untuk memperoleh atau menebus Surat Perintah Pengeluaran barang (Delivery Order) (*) Pajak Penghasilan Pasal 22 yang terutang harus dibayar atau dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ATAS KEGIATAN IMPOR Pajak Penghasilan Pasal 22 atas kegiatan Impor barang dipungut oleh Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bersifat tidak final dengan tarif sebagai berikut: Sebesar 2,5% dari nilai impor, atas impor yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API); Sebesar 7,50% dari nilai impor, atas impor yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API); Sebesar 7,5% dari harga jual lelang, atas impor yang tidak dikuasai.
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Impor-1 Suatu perusahaan importir Wajib Pajak-badan dalam negeri yang sudah mempunyai Angka Pengenal Impor (API) mengimpor barang langsung dari produsen di luar negeri dengan nilai impor (CIF) sebesar Rp500,00 juta dalam bulan Oktober 2002 Atas impor barang tersebut importir terutang Pajak Penghasilan Pasal 22 yang harus dibayar sendiri ke Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar Rp12,50 juta (0,025 X Rp500,00 juta). Berbeda halnya dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasar ketentuan perundang-undangan pabean di bidang impor, Pajak Penghasilan Pasal 22 tidak boleh dikapitalisasi sebagai nilai perolehan barang impor tetapi diperlakukan sebagai Uang Muka Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana tampak pada ayat jurnal berikut (dalam ribuan rupiah): Tgl. Rekening & Deskripsi Persediaan Bahan Baku U/M-Pajak Penghasilan Pasal 22 Kas atau Bank Debit Rp750.000,00 56.250,00 Kredit Rp806.250,00
PENGHASILAN OBYEK PAJAK PASAL 23 Tidak setiap distribusi kepada para pemegang saham, pemegang polis asuransi, dan para anggota koperasi oleh perusahaan, perusahaan asuransi, atau koperasi merupakan penghasilan obyek pajak. Oleh karena itu, membedakan antara distribusi kepada para pemegang saham, pemegang polis asuransi, dan para anggota koperasi dengan dividen mutlak diperlukan. Untuk tujuan pajak, dividen didefinisikan sebagai bagian laba yang diperoleh para pemegang saham, atau pemegang polis asuransi, atau pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada para anggota koperasi.
Undang-undang Pajak Penghasilan Dividen Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; Pembagian laba dalam bentuk saham; Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; Pembayaran yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima pemegang saham karena pembelian kembali sahaml Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian darimodal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh laba, kecuali jika pembayaran kembali tersebut merupakan akibat dari pengecilan modal dasar yang dilakukan secara sah; Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis asuransi; Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Penghasilan Sewa Penghasilan sewa dan royalti merupakan obyek pajak yang harus ikut diperhitungkan sebagai penghasilan bruto. Sewa adalah pembayaran termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak (seperti misalnya: mobil, mesin, mesin fotokopi) dan harta tak gerak (seperti misalnya: tanah, bangunan). Sedang royalti adalah pembayaran termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan produksi, penjualan, atau penggunaan hasil inovasi, penemuan atau karya intelektual (seperti misalnya: hak cipta, cap & merek dagang, hak paten), atau hak untuk mengeksploitasi dan mengembangkan sumber alam. Pada prinsipnya, penghasilan berupa royalti dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori sebagai berikut: Imbalan sehubungan dengan penggunaan, produksi, penjualan, atau komersialisasi hak atas harta tak berwujud, seperti misalnya: hak cipta, hak paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan; Imbalan sehubungan dengan penggunaan atau pemanfaatan hak atas harta berwujud, seperti misalnya: hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan & teknologi.