DALAM PRAKTEK PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN BEBERAPA PERMASALAHAN IMPLIKASI HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN
POKOK-POKOK BAHASAN HT sbg. Jaminan utang atas Perjanjian Kredit yang dibuat di luar negeri Kedudukan Piutang Negara vs. Pemegang HT Pembebanan HT sbg. Jaminan utang yang akan ada Penerapan Asas Pemisahan Horisontal HT yang dibebankan thd. Bangunan di bawah permukaan tanah Pencantuman Janji untuk Pemegang HT
1. HT sbg. Jaminan utang atas Perjanjian Kredit yang dibuat di luar negeri Di dalam UUHT tidak ada pembatasan/larangan pemberian kredit bank kepada WNI atau BHI dari kreditor di luar negeri yang dijamin dengan HT atas obyek di dalam wilayah RI; yang dibatasi adalah terhadap penggunaan dana dari kredit tsb. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT: Dalam hal hubungan utang-piutang itu timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit,perjanjian tersebut dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri dan pihak-pihak yang bersangkutan dapat orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PEMBUATAN PERJANJIAN KREDIT DI LUAR NEGERI Perjanjian Kredit yang dibuat di dalam negeri atau di luar negeri merupakan perjanjian pokok yang menimbulkan hubungan hutang piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan yang bersifat assecoris.
Perjanjian yang menimbulkan hubungan hutang piutang (Perjanjian Kredit) dapat dibuat dengan Akta dibawah tangan atau dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. (vide penjelasan Pasal 10 UU No. 4/1996 UUHT) Pemberian kedit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. (vide : penjelasan Pasal 8 UU No. 10/1998 tentang Perbankan)
Pengakuan atas hutang atau atas jumlah kredit yang telah diterima debitur yang mempunyai kekuatan eksekutorial dengan judul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” dibuat dengan akta otentik (akta notaris). Vide Pasal 224 HIR
Perjanjian kredit dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri antara pihak yang merupakan orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Republik Indonesia. (vide Pasal 10 UU No. 4/1996 UUHT)
Perihal keberlakuan dan Implikasi Perjanjian Kredit yg dibuat di Luar negeri thd.pembebanan HT Dalam kelaziman dan praktek perbankan, setiap akta yang dibuat di luar negeri untuk digunakan di Indonesia dilakukan prosedur/tahapan sebagai berikut: Akta/Perjanjian Kredit ditandatangani oleh pihak-pihak yang terkait Akta/Perjanjian Kredit tersebut dilegalisir oleh pihak yang berwenang di negara asal yang bersangkutan Akta/Perjanjian Kredit tersebut didaftarkan di Kedutaan Besar Republik Indonesia setempat.
2. Kedudukan Piutang Negara vs. Pemegang HT Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Piutang Negara….? Piutang Negara adalah sejumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau badan-badan yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh Negara, berdasarkan suatu perjanjian, peraturan atau sebab apapun. Penyerahan piutang adalah instansi pemerintah, badan negara baik tingkat pusat maupun daerah termasuk pemerintah daerah dan badan usaha yang modal atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh negara atau dimiliki badan usaha milik negara (BUMN)/badan usaha milik daerah (BUMD) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PIUTANG NEGARA… Berdasarkan Putusan MK no. 77/PUU-IX/2011 judicial review terhadap UU No. 49 tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara maka piutang BUMN/BUMD tidak termasuk piutang negara.
Piutang yang Diistimewakan (Vide Buku II Bab XIX KUH Perdata) Semua kekayaan Debitur menjadi tanggungan untuk segala kewajibannya. Kekayaan Debitur yang bersangkutan menjadi jaminan bersama-sama untuk semua krediturnya, hasil penjualan harta dibagi menurut keseimbangan kecuali apabila di antara Kreditur ada alasan yang sah untuk didahulukan. Hal untuk didahulukan di antara Kreditur timbul dari: Hak istimewa; c. Hipotik; e. Hak Tanggungan Gadai; d. Fidusia;
Piutang yang Diistimewakan… Hak istimewa adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1139 mengenai Hak Istimewa atas benda tertentu dan Pasal 1149 mengenai Hak Istimewa atas semua benda bergerak dan tak bergerak. Gadai dan Hipotik sebagaimana diatur dalam BW Pasal 1150, 1162 dan Fidusia serta Hak Tanggungan dalam UU No. 42/1999 dan UU No. 4/1996. Gadai, Hipotik, Fidusia dan Hak Tanggungan kedudukannya lebih tinggi dari Hak Istimewa kecuali dalam hal undang-undang menentukan sebaliknya.
Piutang yang Diistimewakan… Apa ada undang-undang yang menentukan sebaliknya? Ada, contoh undang-undang yang menentukan kreditur lain kedudukannya lebih tinggi dari kreditur pemegang Hak Jaminan (Hak Tanggungan, Hipotik, Gadai, Fidusia) antara lain adalah yang timbul dari: Biaya perkara (Vide Pasal 1149 (1) KUHPerdata); Hutang pajak (UU Perpajakan No. 9/1994); Upah buruh (UU Ketenagakerjaan)
3. Pembebanan HT sbg. Jaminan PELUNASAN utang yang akan ada Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUHT, bahwa HT dapat menjamin utang yg baru akan ada dikemudian hari dimaksudkan untuk: menampung kebutuhan praktek perbankan dalam hal timbulnya utang nasabah bank sbg akibat pencairan atas suatu garansi bank. Untuk menampung timbulnya utang sbg akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat diketahui kemudian
Hak Tanggungan untuk Hutang Yang Sudah Ada/Akan Ada Kemudian Hutang yang ada sesuai “Akad Kredit” Hutang yang mungkin ada berdasarkan “Perjanjian Tertentu” Perjanjian Pemberian Bank Garansi (BG); Perjanjian Pembukaan Letter of Credit (L/C);
4. Penerapan Asas Pemisahan Horisontal: Implikasi Pembebanan HT terhadap Benda yang berkaitan dengan Tanah Pasal 4 ayat (4): Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau yang akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Tersirat ada PEMISAHAN HORISONTAL, maka konsekuensinya HARUS dapat dilakukan pembebanan HT terhadap tanah tanpa bangunannya ; dan sebaliknya tdk dimungkinkan pembebanan HT terhadap benda yg berkaitan dengan tanah TANPA membebankan serta tanahnya. Hal itu tidaklah mengingkari asas PEMISAHAN HORISONTAL, namun justru merupakan implementasi asas tsb. Yg disesuaikan dengan realitas (:praktek perkreditan perbankan).
Implikasi Pembebanan HT terhadap Benda yang berkaitan dengan Tanah Pasal 4 ayat (5): Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.
Azas Pemisahan Horizontal dan Tanah Sebagai Jaminan Hutang Berbeda dengan Pasal 571 KUHPerdata yang menganut azas Natrekking, Hukum Agraria menganut Azas Pemisahan Horizontal (vide Pasal 5 UUPA) Dalam azas ini, seorang pemilik bangunan dan atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah di atas suatu bidang tanah belum tentu sama dengan pemilik tanah itu. Dengan demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: Tanah dibebani Hak Tanggungan tapi benda lain di atas tanah dibebani jaminan kepada kreditur lain. Pemilik bangunan/benda lain di atas tanah dan pemilik tanah hubungannya harus diamankan untuk kepentingan kreditur. Pemilik tanah dengan bangunan harus diyakini adalah sama subyeknya
Antisipasi.. Implikasi ketentuan ini akan dapat dilaksanakan secara efektif dengan berlakunya UU Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung secara efektif. Berdasarkan pendataan bangunan gedung, sebagai pelaksanaan dari asas pemisahan horizontal, selanjutnya pemilik bangunan gedung memperoleh surat bukti kepemilikan bangunan gedung dari Pemerintah Daerah Pendataan, termasuk pendaftaran bangunan gedung, dilakukan pada saat proses perizinan mendirikan bangunan dan secara periodik, yang dimaksudkan untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung, memberikan kepastian hukum tentang status kepemilikan bangunan gedung, dan sistem informasi.
5. HT yang dibebankan thd. Bangunan di bawah permukaan tanah Sebagaimana sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 6, Hak Tanggungan dapat pula meliputi bangunan, tanaman, dan hasil karya misalnya candi, patung, gapura, relief yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan. Bangunan yang dapat dibebani Hak Tanggungan bersamaan dengan tanahnya tersebut meliputi bangunan yang berada di atas maupun di bawah permukaan tanah misalnya basement, yang ada hubungannya dengan hak atas tanah yang bersangkutan. Sedangkan bangunan yang menggunakan ruang bawah tanah, yang secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang ada di atas permukaan bumi di atasnya, tidak termasuk dalam pengaturan ketentuan mengenai Hak Tanggungan menurut Undang-undang ini.
Permasalahan dan antisipasi..? Bukankah bangunan yg ada dibawah permukaan tanah dan tidak terkait secara fisik dengan bangunan di atasnya tsb. TETAP bersifat satu kesatuan dengan tanahnya? Mengapa tidak/bukan menjadi concern UUHT? Bagaimana implikasinya terhadap rencana pembangunan tripple dekker? Jika pada waktunya nanti dengan memperhatikan ketentuan UUHT seperti itu?
6. Pencantuman Janji untuk Pemegang HT Janji-janji di dlm Pasal 11 ayat (2) UUHT hanya bersifat fakultatif tidak limitatif sehingga didasarkan keabsahannya pada Pasal 1320 KUHPdt Artinya janji-janji di dlm Pasal 11 ayat (2) UUHT yang disebutkan hanya beberapa contoh yg lazim diperjanjikan dalam praktek yang dalam penerapannya bersifat konsensual (sesuai kesepakatan para pihaknya) Pemberi dan Pemegang HT dapat memperjanjikan lain selain yang dicontohkan dlm Pasal 11 ayat (2) dengan tunduk pada Pasal 1320 KUHPdt, kecuali janji yang secara tegas dilarang spt. Yg ditetapkan dalam ketentuan Pasal 12 UUHT
Janji (beding) YG LAZIM DIPERJANJIKAN dalam APHT … IN PRACTICES ! Sewa Bentuk/tata susunan Pengelolaan Penyelamatan Penjualan (b. van eigenmachtige verkoop) Pembersihan tidak dilakukan (b. van niet zuivering) Pelepasan hak Hasil Pelepasan Hak Asuransi (Assurantie beding) Pengosongan SH Tanah dikuasai PHT Pemegang) Pemberi Hak Tanggungan dibatasi terhadap butir 1, 2, 7 dan wajib butir 10 Pemegang Hak Tanggungan berhak terhadap butir 3, 4, 5, 6, 8. 9