BADAN LEGISLASI DPR RI 19 APRIL 2016 KAJIAN TERHADAP PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI DAN UMRAH BADAN LEGISLASI DPR RI 19 APRIL 2016
Pendahuluan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menerima pengajuan kedua dari Komisi VIII terkait dengan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Penugasan tersebut berdasarkan pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto Pasal 105 huruf c Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, juncto Pasal 65 huruf c Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR RI (TATIB DPR), juncto Pasal 22 Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.
POKOK HARMONISASI aspek teknis, aspek substansi, dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan
ASPEK TEKNIS-1 Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah merupakan RUU inisiatif yang diajukan oleh Komisi VIII DPR RI yang sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UUD NRI Tahun 1945 dan telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (2) dan Pasal 109 ayat (1) TATIB DPR serta Peraturan DPR RI tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah telah memenuhi syarat untuk diajukan, karena RUU tersebut telah diagendakan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016 Nomor Urut 22. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, untuk selanjutnya disebut sebagai “UU Nomor 12 Tahun 2011”.
ASPEK TEKNIS-2 Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah telah dilengkapi dengan Naskah Akademik sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 99 ayat (5) TATIB DPR, dan Pasal 22 Peraturan DPR RI tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah masih memerlukan penyempurnaan, baik mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan (legislative drafting) maupun ditinjau dari sisi keterkaitan pasal-pasal dalam RUU tersebut. Terdapat catatan aspek teknis, antara lain:
ASPEK TEKNIS-3 Pasal 18 ayat (4) pada rujukan ke ayat (2) tidak perlu menyebutkan huruf a sampai dengan f, karena jika seluruh huruf pada ayat (2) dirujuk, cukup merujuk ke ayat (2). Perlu switching norma dalam pasal 66 dan 67, sesuai urutan norma yang akan diatur. Pasal 86 KBIH wajib “mendapatkan” izin penyelenggaraan bimbingan dan pendampingan ibadah Haji dari Menteri, sebaiknya diganti dengan “memiliki”. Perlu perbaikan Pasal 130 ayat (1) bahwa perlindungan tidak hanya diberikan ketika umrah di saudi. Hal ini disinkronkan dengan ayat (3).
ASPEK SUBSTANSI-1 Ketentuan dalam RUU ini harus sinkron dengan UU 34/2014 atau jika memuat pengertian baru, maka definisi dalam RUU inilah yang berlaku dan apa yang ada dalam UU 34/2014 dihapus. Seperti definisi tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, PIHK, BPIH, dan Jemaah. Ketentuan tentang Hak Jemaah dalam Pasal 6 terkait setoran ke BPS BPIH, virtual account, nilai manfaat, dan pengembalian BPIH merupakan kewenangan yang melekat pada BPKH, sehingga dimungkinkan akan terjadi overlapping. Terlebih jika mengacu pada ketentuan Pasal 147 UU 34/2014 yang menyebutkan bahwa: BPKH wajib mengelola dan menyediakan keuangan Haji yang setara dengan kebutuhan 2 (dua) kali biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
ASPEK SUBSTANSI-2 Pasal 13 Jemaah Haji yang mendapat visa dari Saudi tetapi tidak melapor kepada BPHI, di luar tanggung jawab BPHI. Ketentuan Pasal ini tidak tepat, sebab jika terjadi masalah maka tanggung jawabnya tetap ada pada pemerintah RI cq. BPHI. Sehingga norma pasal semestinya mengatur bahwa Saudi memberi data/informasi seluruh pemberian visa kepada BPHI (Kemenang). Pasal 15 sampai Pasal 17 mengatur tentang panitia dalam negeri dan panitia luar negeri, tetapi tidak dijelaskan siapa saja mereka. Kemudian jumlah dan komposisi panitia penyelenggara Haji terlalu besar, dengan unsur yang banyak dan tanpa ada pembatasan jumlah, sehingga dikhawatirkan akan membebani negara dan menguras uang jemaah. Pasal 24 mengatur bimbingan dan manasik haji dapat dilakukan oleh KUA berdasarkan penugasan dari BPHI, apakah ada hierarkhi organisasi sehingga BPHI dapat menugaskan KUA?
ASPEK SUBSTANSI-3 Pasal 34 mengatur BPHI melakukan evaluasi terhadap seluruh rangkaian kegiatan Penyelenggaraan Ibadah Haji kepada DPR. Laporan penyelenggaraan tidak dapat dipisahkan dari laporan keuangan haji. Sementara pertanggungjawaban keuangan haji oleh BPKH baru disampaikan ke DPR setelah selesainya audit BPK sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 UU 34/2014. Pasal 48 ayat (2) mengatur bahwa Anggota BPHI diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Ketentuan ini kontradiksi dengan Pasal pemberhentian dalam Pasal 56-59 yang langsung diputuskan sepihak oleh Presiden. Lazimnya pengangkatan dan pemberhentian ketentuannya sama. Pada ketentuan mengenai pengisian keanggotaan BPHI dan MAH proses rekrutmen sampai penetapan oleh presiden sama melalui pansel sampai fit and proper test di DPR, namun penormaan terkait dengan pengangkatan dalam Pasal 48 dan Pasal 74 berbeda.
ASPEK SUBSTANSI-4 Pasal 70 mengatur bahwa tugas MAH adalah menilai dan memberikan pertimbangan terhadap laporan pertanggungjawaban pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji. Apakah dimungkinkan penyelenggaraan dipisahkan dari keuangan haji? Sementara dalam hal keuangan haji BPKH melaporkan kepada dewan pengawas. Pasal 74 ayat (1) penormaan tidak jelas. Komposisi MAH dengan 7 pesonil, 6 pimpinan dan 1 anggota, tidak lazim dalam sebuah organisasi. Pasal ini rancu karena posisi Kemenag merupakan regulator. Sehingga dapat dipastikan sekalipun legitimasi 6 pimpinan lebih akuntabel tetapi unsur dari kementerian yang akan lebih dominan dengan kuasanya. Dalam ketentuan mengenai personil MAH yang berasal dari Menteri, tidak ada aturan khususnya terkait dengan proses menjadi pimpinan di MAH.
ASPEK SUBSTANSI-5 Pasal 80 dan Pasal 81 hanya mengatur pengesahan dan pelantikan tetapi tidak mengatur pengangkatan MAH. Pasal 84 mengatur bahwa pimpinan MAH diberhentikan sementara dan Presiden menunjuk pejabat sementara dengan pertimbangan dari DPR RI. Tetapi terkait dengan Pasal 83 pemberhentian tidak diatur dengan ketentuan yang sama. Kuota pembimbing KBIH dalam Pasal 89 (1 pembimbing untuk minimal 135 jemaah) tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 102 dan 106 yang mengatur 1 pembimbing untuk 45 jemaah haji khusus. Padahal PIHK harus juga memberangkatkan 1 orang penanggung jawab PIHK dan 1 orang petugas kesehatan, selain 1 orang pembimbing. Apakah kuota ini tidak terlalu besar?
ASPEK SUBSTANSI-6 Ketentuan Pasal 107 Petugas pengawas PIHK dari unsur asosiasi sesuai dengan perolehan Jemaah masing-masing unsur asosiasi diberikan secara proporsional belum jelas jumlahnya, karena itu perlu ditentukan berapanya, sehingga nantinya tidak membebani kuota yang ada. Pasal 137 mengenai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) hanya melakukan penyidikan dalam penyelenggaraan haji dan umrah. Bagaimana dengan keuangan haji? Padahal di UU 34/2014 tidak terdapat ketentuan tentang PPNS dan penyidikan dalam hal terjadi penyimpangan keuangan haji. Pasal 159 semestinya tidak hanya mencabut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014, tetapi juga angka lain yang berbeda dengan RUU ini , antara lain Pasal 1 angka 11, angka 12, dan angka 14.
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam NA maupun tujuan penyusunan RUU ini, ada keinginan kuat untuk memperbaiki penyelenggaraan haji dan umrah. Namun dalam rumusan RUU ini, pembentukan lembaga baru BPHI dan MAH justru belum menunjukkan kesesuaian dengan asas kejelasan tujuan, asas dapat dilaksanakan, serta asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 5 huruf a, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto Pasal 23 huruf a Peraturan DPR RI tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. Pembentukan kelembagaan yang banyak akan berakibat pada inefisiensi dan menambah beban pembiayaan ke APBN, overlapping kewenangan, serta cenderung bermasalah dalam pertanggungjawaban dan akuntabilitas.
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dengan begitu keberadaan RUU ini dikuatirkan tidak dapat memperbaiki tujuan pembentukan RUU untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, sehingga tidak sesuai dengan asas pembentukan RUU, yakni asas kemaslahatan, kemanfaatan, profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 3 huruf d, huruf e, huruf h, huruf i, dan huruf j RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Sekian & Terima Kasih