Pengujian Materi Peraturan Perundang-undangan

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
POKOK – POKOK PTUN & BERACARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Advertisements

Kekuasaan Kehakiman Pokok Bahasan 5.
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
HUKUM ACARA PENGUJIAN UU
MK DAN KEWENANGAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
BANTUAN HUKUM Dan PROSEDUR MENGAJUKAN GUGATAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA Oleh: Krepti Sayeti, SH.
HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI
LEMBAGA NEGARA MENURUT UUD NRI TAHUN 1945 UUD 1945 KY DPR DPD MPR BPK
Menyemai Kesadaran Konstitusional dalam Kehidupan Bernegara
KEWENANGAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
PENGADILAN PAJAK.
HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM
PRAKTEK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
Proses Hukum di KPPU Laporan Pemeriksaan pendahuluan
ASPEK HK ACARA MK.
PRAKTEK HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
PRINSIP-PRINSIP HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI
Impeachment atau Pemakzulan
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM
KEKUASAAN KEHAKIMAN pada UU NO
HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
HUKUM ACARA SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
Pertemuan #7 BANDING DAN BADAN PERADILAN PAJAK (BPP)
Putusan MA atas Uji Materi Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
Hukum Acara MK Oleh : Syamsul Bachrie.
DPR DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 1 BAB VII Fungsi, Wewenang, dan Hak
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
HUKUM ACARA PERDATA Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana orang harus bertindak.
PENGADILAN PAJAK UU. NOMOR 14 TAHUN 2002
Gugatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG R.I NOMOR 2 TAHUN 2015
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Peradilan TUN Para Pihak & Penyelesaian Sengketa TUN
HUKUM ACARA PHPU (berdasarkan UU MK dan Peraturan MK)
ISU-ISU LAIN.
HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
PERATURAN DAERAH Muchamad Ali Safa’at.
Isi ( Batang Tubuh ) UUU 1945 Apakah Batang Tubuh UUD 1945 itu ?
Peradilan TUN Para Pihak & Penyelesaian Sengketa TUN
Hukum acara pidana Pengantar ilmu hukum.
KEKUASAAN KEHAKIMAN Pengantar ilmu hukum.
Judicial Review di Mahkamah Konstitusi
HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA
Pengadilan Pajak Pengadilan Pajak Gugatan Banding
BAB 2 Menyemai Kesadaran Berkonstitusional dalam Kehidupan Bernegara
LATAR BELAKANG & DASAR HUKUM
HUKUM ACARA SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh: Yesi Marince, S.IP., M.Si Sesi 4
PUTUSAN PENGADILAN PAJAK DAN PENINJAUAN KEMBALI
"LEMBAGA NEGARA" Ericson Chandra.
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Mahkamah Konstitusi. Rifqi Ridlo Phahlevy.
HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI
Hukum Acara Peradilan Konstitusi
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP APARATUR PEMERINTAH DAERAH DARI JERATAN PIDANA MELALUI PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NO 48 TAHUN 2016 Drs. TRI YUWONO, M.Si.
PENGAWASAN PEMERINTAHAN DAERAH
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI. ASAS DAN SUMBER HUKUM ACARA MK Pembahasan: Asas-Asas Hukum Acara MK Sumber Hukum Acara MK.
MAHKAMAH AGUNG (MA) MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) KOMISI YUDISIAL (KY)
LEMBAGA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT & DEWAN PERTIMBANGAN DAERAH
PROSEDUR TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT NEGARA
LEMBAGA MPR, PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
MAHKAMAH KONSTITUSI. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung yang dibentuk.
Transcript presentasi:

Pengujian Materi Peraturan Perundang-undangan

Asas-Asas Hukum Acara MK PENDAHULUAN Kerangka Konseptua Teori dan Sejarah Asas-Asas Hukum Acara MK Hukum Acara MK

JUDICIAL REVIEW CONSTITUTIONAL REVIEW TOETSINGSRECHT KONSEPTUAL JUDICIAL REVIEW CONSTITUTIONAL REVIEW TOETSINGSRECHT

toetsingsrecht 1 2 3 Legislatif Eksekutif Yudikatif Legislatif Preview -Review Eksekutif Preview -Review Yudikatif Preview -Review Materiel - Formiel Materiel - Formiel Materiel - Formiel

peraturan perundang-­undangan di bawah undang­-undang terhadap Judicial Review UUD 1945 UU 48/09 UU 14/85 – 5/04 - 3/09 UUD 1945 UU 24/03 - 8/11 1 2 MA MK Menguji peraturan perundang-­undangan di bawah undang­-undang terhadap Undang-­undang Menguji undang­-undang terhadap Undang-­Undang Dasar Constitutional review

Eksekutif Pengujian Materi Perda 1 2 Preview Review UU No. 12/11 Perpes 87/14 Evaluasi Klarifikasi Pembatalan UU No 23/14 Preventif Represif Rancangan Peraturan Daerah Peraturan Daerah

PERDA 1 2 Eksekutif Preview Eksekutif Review Judicial Review Dualisme UU No. 12/11 Perpres 87/14 UU No 23/14 UUD 1945 UU 48/09 UU 14/85 – 5/04 - 3/09 Klarifikasi Pembatalan Pengujian Dualisme

KONSTITUSIONAL REVIEW Mahkamah Konstitusi

Sistem desentralisasi 2 Teori dan Sejarah Constitutional Review Teori Pijakan Teori 1 Supremasi Konstitusi Pemisahan Kekuasaan Model Sistem centralized Sistem desentralisasi 2 Demokrasi Kenyataan Sejarah Amerika Serikat Pemikiran Hans Kelsen Pemikiran John Marshall Historis 2 Setelah Perang Dunia Ke I Pos fasisme Pos kolonialisme Pos komunisme Mahkamah Konstitusi Konteks Indonesia

Sistem Pengujian Konstitusional Sistem sentralisasi Sistem desentralisasi Negara-negara civil law, memberi batas kekuasaan untuk menentukan konstitusionalitas suatu undang-undang yang kewenangannya diberikan kepada organ peradilan tunggal Negara-negara Common Law (Amerika Serikat), memberikan semua organ peradilan kekuatan untuk menentukan konstitusionalitas undang-undang

Marbury vs. Madison

Pada tahun 1800, dalam pemilihan presiden, John Adam dari partai federalis kalah dari pesaingnya Thomas Jefferson dari partai demokrat Hasil pemilu telah ditetapkan tanggal 17 Februari 1801, masa jabatan John Adams masih sampai tanggal 4 Maret 1801. John Adams melakukan beberapa keputusan- keputusan yakni diantaranya mengangkat beberapa anggota federalis John Marshall, diangkat menjadi Hakim Agung (Chief of Justice) di Mahkamah Agung (20 Januari 1801) William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan William Harper yang diangkat menjadi hakim (3 Maret 1801) 17 (tujuh belas) surat pengangkatan tidak disampaikan sebelum hari pelaksanaan pelantikan Thomas Jefferson. Surat-surat tersebut ditahan oleh James Madison yang pada saat itu diangkat oleh Presiden Thomas Jefferson sebagai the Secretary of State menggantikan John Marshall.

William Marbury, mengajukan gugatan kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat yang pada saat itu telah dipimpin oleh John Marshall. Marbury menggugat agar Mahkamah Agung mengeluarkan “a writ of mandamus”. A writ of mandamus merupakan sebuah surat perintah yang diterbitkan Mahkamah Agung untuk memerintahkan James Madison sebagai Secretary of State agar menyerahkan surat-surat pengangkatan mereka sebagai Hakim Perdamaian. (Ayat 13 the Judiciary Act tahun 1789) Mahkamah Agung beranggapan dalam putusannya bahwa Marbury dan kawan- kawannya berhak atas jabatanya sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintahan John Adams. Menurut Mahkamah Agung ketentuan section 13 the Judiciary Act 1789 mengenai writ of mandamus tidak dapat dibenarkan. Hal ini disebabkan section 13 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 1789 bertentangan dengan Article III section 2 Konstitusi Amerika Serikat. Section 13 the Judiciary Act 1789.

Pemikiran Hans Kelsen Tentang kemungkinan timbulnya konflik antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah, bukan hanya berkenaan dengan hubungan antara undang-undang atau hukum kebiasaan dengan keputusan pengadilan, melainkan juga berkenaan dengan hubungan konstitusi dengan undang-undang.

Mahkamah Konstitusi Indonesia Sidang BPUPKI, M. Yamin melontarkan gagasan mengenai Balai Agung dan Mahkamah Tinggi. Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding udang-undang, maka Balai Agung inilah akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adat, syariah dan Undang-Undang Dasar (11 Juli 1945) apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan, tidak melanggar undang-undang dasar republic atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam (15 Juli 1945) Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman melahirkan pengujian secara materiil akan tetapi hanya terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang. (Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, lembaga yang dapat menguji dibedakan untuk pengujian Undang-Undang dilakukan oleh MPR, sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang oleh MA. Perubahan UUD 1945 (Pasal 24 dan 24C UUD NRI 1945).

KEWENANGAN MK PASAL 24 UUD 1945 Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan undang- undang. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945: (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

1 Materiel PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Pasal 4 Permohonan pengujian UU meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2). MK Formiel 2

ASAS-ASAS HUKUM ACARA MK Ius curia novit Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. (Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman) Persidangan terbuka untuk umum Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dilakukan secara tertutup Independen & imparsial Tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau imparsial. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK.

ASAS-ASAS HUKUM ACARA MK Peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU MK sendiri sama sekali tidak disebutkan mengenai biaya perkara. Hal ini berbeda dengan beberapa perkara peradilan di bawah MA. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem) Dalam peradilan MK tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara pengujian undangundang misalnya, hanya terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR tidak berkedudukan sebagai termohon. Hakim aktif dalam persidangan Hakim tidak hanya berpaku kepada alat bukti dan keterangan yang disampaikan oleh pemohon dan pihak terkait maupun dari keterangan saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak-pihak tersebut. Hakim konstitusi untuk keperluan memeriksa suatu perkara dapat memanggil saksi dan/atau ahli sendiri bahan memerintahkan suatu alat bukti diajukan ke MK

ASAS-ASAS HUKUM ACARA MK Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa). Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan.

HUKUM ACARA MK Ruang Lingkup Pengertian Undang-undang yang diuji Posisi Pembentuk Undang-Undang dalam Persidangan Proses Persidangan dan Pembuktian Putusan dan Tidak Lanjut Putusan

RUANG LINGKUP Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur pembatasan terhadap UU yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu UU yang diundangkan sebelum perubahan UUD 1945. Pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi & UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang & Industri terhadap UUD 1945 tanggal 13 Desember 2004. Mahkamah Konstitusi juga berwenang menguji Perpu, sebab Perpu merupakan UU dalam arti materiel (wet in materiele zin). Pengujian Perpu terhadap UUD sudah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2002.

RUANG LINGKUP Pembatasan dalam pengujian UU terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi adalah dalam hal perkara nebis in idem. Nebis in idem diatur dalam Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu: ”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan kembali.” Terdapat pengecualian, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UU.

POSISI PEMBENTUK UNDANG-UNDANG Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa; ”Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/ atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden”. “tidak harus dilakukan tergantung pertimbangan Majelis” contoh: Putusan Nomor 102/PUU-VII/ 2009 perihal Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi tidak mengadili pembentuk UU, dan kedudukan pembentuk UU hanya sebagai pihak yang diperlukan keterangannya, dan dalam memberikan keterangan baik secara lisan maupun tertulis, dapat diwakili oleh wakil atau pun kuasa dari lembaga negara tersebut.

Presiden/Pemerintah Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan. Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah: pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya; atau pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud DPR dan/atau DPD Keterangan Saksi Ahli Pihak Terkait Pasal 13 PMK

Pemeriksaan Kelengkapan Pendaftaran Pemohon Belum Lengkap 7 Hari dilengkapi Hard Copy dan Softcopy Panitera Pemeriksaan Kelengkapan Lengkap Pengumuman Registrasi di BRPK 14 Hari Penetapan Jadwal Sidang Pertama Permberitahuan SIDANG

PROSES PERSIDANGAN DAN PEMBUKTIAN PENDAHULUAN PLENP RPH PUTUSAN UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur bahwa sidang Mahkamah Konstitusi terdiri atas Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Persidangan, dan Pengucapan Putusan. PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UU, sidang Mahkamah Konstitusi dibagi, yaitu Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Persidangan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), dan Pengucapan Putusan. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, RPH diatur dalam Bagian Ketujuh tentang Putusan.

Sidang Pendahuluan Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan. Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi: kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan. Dalam sidang panel ini hakim konstitusi wajib memberikan nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya. Pemohon diberikan waktu paling lambat 14 (empat belas) hari untuk memperbaiki permohonannya.

Legal Standing perorangan warga negara Indonesia; Pasal 51 UU MK Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara.

Masyarakat Hukum adat Putusan MK 31/PUU-V/2007 Adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok. Adanya pranata pemerintahan. Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat. Adanya perangkat norma adat. Khusus kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial, harus memiliki unsur adanya wilayah tertentu Putusan MK 31/PUU-V/2007

MK sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Pemeriksaan Persidangan Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum,dan dalam keadaan tertentu yang diputuskan oleh RPH, pemeriksaan persidangan dapat dilakukan oleh Panel Hakim. Pemeriksaan persidangan mencakup: pemeriksaan pokok permohonan; pemeriksaan alat-alat bukti tertulis; mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah; mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD; mendengarkan keterangan saksi; mendengarkan keterangan ahli; mendengarkan keterangan Pihak Terkait; pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) RPH mendengar, membahas, dan/atau mengambil keputusan mengenai: laporan panel tentang pemeriksaan pendahuluan; laporan panel tentang pemeriksaan persidangan; rekomendasi panel tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan permohonan, dapat berupa: pembahasan mengenai rancangan putusan yang akan diambil menyangkut kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon; perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan atau dapat segera diambil putusan; pelaksanaan pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh pleno atau panel. pendapat hukum (legal opinion) para Hakim Konstitusi; hasil pemeriksaan persidangan pleno dan pendapat hukum para Hakim Konstitusi; Hakim Konstitusi yang menyusun rancangan putusan; rancangan putusan akhir

Putusan Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur tiga jenis amar putusan, yaitu: permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak.

permohonan dikabulkan tidak dapat diterima Menimbang bahwa untuk menyelesaikan kedua hal tersebut, beserta penataan kelembagaannya, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama tiga tahun. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun tidak dapat dipenuhi oleh pembuat undang-undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya, demi hukum (van rechtswege), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Putusan Perkara Nomor 016/PUU-IV/2006 permohonan dikabulkan permohonan ditolak PUTUSAN MK Konstitusional Bersyarat Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur sebagai berikut: ”Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPR.” Dengan putusan Mahkamah Konstitusi maka pasal tersebut menjadi: ”Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD.” Putusan Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 Tidak Konstitusional Bersyarat Penundaan Keberlakuan Putusan Perumusan Norma

Menyatakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah konstitusional bersyarat terhadap Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga kata “mencoblos” dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan pula menggunakan metode e-voting dengan syarat kumulatif sebagai berikut: tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan. Putusan Nomor 147/PUU-VIII/2009 Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009

Ringkasan permohonan yang telah diperbaiki; Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; Identitas Pemohon; Ringkasan permohonan yang telah diperbaiki; Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; Maksud dan tujuan permohonan; Kewenangan Mahkamah Kedudukan hukum (legal standing) Alasan dalam pokok permohonan Kesimpulan mengenai semua hal yang telah dipertimbangkan Amar putusan; Pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan Hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim Konstitusi, serta Panitera.

Tindak Lanjut Putusan Putusan yang bersifat self-executing Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang mengembalikan hak pilih mantan anggota PKI dengan membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 Sejak putusan itu diucapkan, yaitu tanggal 24 Februari 2004, hak pilih mantan anggota PKI telah dipulihkan. Putusan yang bersifat Non self-executing Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang tidak menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

ESEKUTIF REVIEW PEMBATALAN PERDA

Sebab Evaluasi Evaluasi dilakukan terhadap materi muatan, teknik penyusunan, dan bentuk Rancangan Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Dan, dilakukan terhadap Rancangan Peraturan yang berkaitan dengan: Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah Pejabat yang Berwenang Membatalkan Perda Pada dasarnya Menteri Dalam Negeri berwenang mengevaluasi Rancangan Peraturan Daerah provinsi. Sementara, Gubernur, mengevaluasi Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota. Akibat Evaluasi Perda Terhadap Perda yang telah dievaluasi, kepala daerah harus melakukan penyempurnaan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya hasil evaluasi. Sementara jika kepala daerah tetap menetapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi menjadi Peraturan Daerah Provinsi, pembatalan Peraturan Daerah Provinsi tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan. Keberatan Pembatalan Perda Tidak ada Sanksi Evaluasi

Sebab-Sebab Pembatalan Perda Suatu Perda dapat dibatalkan karena 2 (dua) sebab, yaitu tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pejabat yang Berwenang Membatalkan Perda Pada dasarnya Menteri berwenang membatalkan Perda provinsi. Sementara, Gubernur, berwenang membatalkan Perda kabupaten/kota. Akibat Pembatalan Perda Terhadap Perda yang telah dibatalkan, Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pembatalan kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya Peraturan Daerah tersebut dicabut dengan Peraturan Daerah. Keberatan Pembatalan Perda Dalam hal Pemerintah Daerah Provinsi keberatan terhadap pembatalan Peraturan Daerah, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Perundang-undangan yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Sanksi Tidak ada Klarifikasi

Hal Perpres 87/2014 UU 23/14 Sebab Bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (PUU) yang lebih tinggi, Kepentingan umum, dan Kesusilaan.   Pejabat yang Berwenang Menteri berwenang membatalkan Perda provinsi. Gubernur, berwenang membatalkan Perda kabupaten/kota. Gubernur, dengan berwenang membatalkan Perda kabupaten/kota. Dalam hal gubernur tidak membatalkan Perda kabupaten/kota, Menteri yang membatalkan.

Hal Perpres 87/2014 UU 23/14 Akibat Pembatalan Perda Pasal dan/atau ayat yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya Peraturan Daerah tersebut dicabut dengan Peraturan Daerah. Kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda.   Bentuk Hukum Rekomendasi: Menerbitkan surat kepada Gubernur yang berisi pernyataan telah sesuai. Melakukan penyempurnaan Peraturan Daerah Provinsi. Melakukan pencabutan Peraturan Daerah Provinsi. Pembatalan Perda Provinsi ditetapkan dengan keputusan Menteri Pembatalan Perda Kabupaten/Kota ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Hal Perpres 87/2014 UU 23/14 Keberatan Pembatalan Perda Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur, dapat mengajukan keberatan kepada Presiden. DPRD dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dapat mengajukan keberatan kepada Menteri. Sanksi Sanksi berupa sanksi administratif; dan/atau sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda. Sanksi administratif dikenai kepada kepala daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan selama 3 (tiga) bulan. Sanksi tidak diterapkan pada saat DPRD dan pemerintah daerah masih mengajukan keberatan kepada Presiden untuk Perda provinsi dan kepada Menteri untuk Perda kabupaten/kota.

Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 Sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4) sepanjang frasa ‘...pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat’ Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,”

PENGUJIAN PERATURAN DI BAWAH UU MAHKAMAH AGUNG

Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Pasal 20 ayat (2) b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung berwenang: menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi UUD 1945 UU 48/09 UU 14/85 – 5/04 - 3/09 MA 1 2 Materiel Formiel bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku

PUTUSAN Haknya dirugikan Di ajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA Haknya dirugikan a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat c. badan hukum publik atau badan hukum privat Permohonan pengujian Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) PUTUSAN

permohonan dikabulkan tidak dapat diterima tidak dapat diterima Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima. 1 Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. PUTUSAN MA permohonan dikabulkan 2 Dalam hal peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. permohonan ditolak permohonan ditolak 3

Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 1 (1) Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi; Pasal 1 (5) Termohon adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan PerUUan Pasal 2 (4) Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftar permohonan keberatan. Pasal 3 (4) Termohon wajib mengirimkan jawaban kepada panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak di terima salinan permohonan tersebut. Pasal 8 dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan MA tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan PerUUan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum PerUUan yang bersangkutan tidak mempunya kekuatan hukum.