HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA DAN KORBAN BENCANA SUSETIAWAN
KLARIFIKASI BENCANA SOSIAL DAN BENCANA ALAM AKAN DIATUR DALAM SATU PERDA? APAKAH PERDA AKAN MENCAKAUP HAK DAN KEWAJIBAN KORBAN DARI SEMUA JENIS BENCANA SEPERTI BANJIR, TANAH LONGSOR, GEMPA TEKTONIK, VOLKANIK DAN YANG LAIN ? JIKA SEMUA JENIS BENCANA AKAN DICAKUP, APA KONSEKWENSI SUBSTANSI DARI PENYUSUNAN PERDA ITU ? APAKAH SUBSTANSI HOLISTIK DAPAT DICAKUP? PERTANYAAN INI MUNCUL KARENA KEMUNGKINAN KORBAN DARI JENIS BENCANA YANG BERBEDA MEMILIKI KONSEKWENSI LOGIS PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN YANG BERBEDA PULA. KECUALI APA YANG DIHARAPKAN DARI PERDA HANYA MENGATUR HAK DAN KEWAJIBAN DASAR DARI PARA KORBAN BENCANA
DASAR BERPIJAK SETIAP WARGA NEGARA BERHAK MENDAPATKAN PERLINDUNGAN YANG LAYAK BAGI KEMANUSIAAN KONSEKWENSI LOGISNYA, SETIAP ORANG YANG TERKENA KORBAN BENCANA HARUS DIPERHATIKAN HAK-HAK DAN KEWAJIBANNYA UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUP DEMI KEMANUSIAAN NEGARA MEMILIKI TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB MENYEDIAKAN BANTUAN TERHADAP ORANG-ORANG YANG TERKENA KORBAN BENCANA DAN MELINDUNGI SEBAGAIMANA PRINSIP HAM ORGANISASI SOSIAL APAPUN HARUS BEKERJA SESUAI DENGAN PRISIP HAM UNTUK MENGHINDARI KOMODIFIKASI BENCANA. OLEH SEBAB ITU HARUS ADA PANDUAN YANG SAMA DALAM IMPLEMENTASI PENANGANAN KORBAN PARA KORBAN BERHAK MENDAPAT INFORMASI SELUAS-LUASNYA TENTANG DATANGNYA, BENTUKNYA, JUMLAH DAN JENIS BANTUAN
SUMBER INFORMASI DAN BENTUK PERLINDUNGAN HAK BUKU PANDUAN OPERASIONAL IASC (INTER AGENCY STANDING COMMITTEE) ) TENTANG HAM DAN BENCANA ALAM DARI PBB HAK PERLINDUNGAN JIWA, KEAMANAN, INTEGRITAS FISIK DAN MARTABATHak_Hak Korban Bencana.pdf PERLINDUNGAN HAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN MEMPEROLEH KEBUTUHAN POKOK PERLIDUNGAN HAK-HAK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA PERLINDUNGAN WARGA NEGARA YANG BERKAITAN DENGAN HAK POLITIK
Hak – hak korban bencana & Kode etik kemanusiaan Belajar dari pengalaman rehab rekon di Yogyakarta
Adakah perspektif Hak korban di dalam dakumen PRB UU No 24 tahun 2007 menyebut rakyat sebagai korban yang diberi bantuan. Sementara korban menyebutnya sebagai hak-hak korban yang harus dilayani oleh negara. Beberapa hak yang universal antara lain; perlindungan jiwa keamanan orang, integritas fisik dan martabat manusia, perlindungan hak kebutuhan pokok (barang, jasa, kegiataan kemanusiaan) ketersediaan sandang pangan, kesehatan memadai, perlindungan hak ekosob (mata pencaharian dan pekerjaan, perumahan, properti right), hak warganegara dan politik.
Isu – isu penting yang perlu digali; Pendataan korban (verifikasi) apakah top down atau buttom up? Bagaimana yang ideal? Mengingat pendataan yang terkesan seadanya tanpa pelibatan warga atau perwakilan warga akan menghasilkan data korban yang berhak tidak terpenuhi. Konflik horisontal. Terdapat banyak konflik di desa wilayah bencana terkait dengan hak-hak yang tidak dipenuhi oleh negara. Pemberian hak sering kali menjadi ajang manipulasi dan peluang korupsi. Contoh mark up data dan pemotongan dana rekontruksi (dakon)
Tercerabut dari akar cultur Tercerabut dari akar cultur. Kasus rumah IGLO di Prambanan buktikan bahwa bantuan tidak peka dengan kebiasaan setempat. Organisasi korban. Apakah korban berhak mengorganisir dirinya sendiri? Belajar dari pokmas yang di set up dari atas dan di dampingi oleh para konsultan proyek.
Pelanggaran kemanusiaan Pelanggaran kemanusiaan. Apakah pengemplang hak – hak korban berupa dana jadup, barang, informasi dan lain – lain dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kemanusiaan. Lebih luas lagi dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.
KODE ETIK Prinsip-prinsip dasar Hasil diskusi di KKY – PSPK 2006: Panduan konsep dan tindak Mengikat secara moral dan aturan hak asasi manusia
Berpihak dan berspektif rakyat korban yang dibantu untuk menjadi mandiri berkelanjutan. Dihindarkan dari kemungkinan menciptakan konflik dan kecemburuan sosial memberikan semangat kepedulian pada yang lemah dan semangat bergotong-royong Mengutamakan tindakan nyata bagi korban daripada omong dan janji. Mengakui bahwa sebelum gempa persoalan keadilan dan kemakmuran sudah ada dalam masyarakat, maka penyelesaian yang bertolak dari akar permasalahan harus diutamakan.
Meninggalkan cara-cara simbol-simbol kekuasaan, sehingga lebih menukik kepada cara-cara kebutuhan konkrit. mengutamakan peran korban sebagai aktor utama. Seluruh konsepsi dan tindakan rehabilitasi dan rekonstruksi, termasuk pengumpulan data, haruslah “taren” dan dibicarakan dengan masyarakat korban. Mendayagunakan sebanyak mungkin sumber daya, manusia dan kearifan lokal yang ada dan potential dalam masyarakat.
Merubah masyarakat dari obyek jadi subyek harus diakui sebagai sebuah proses yang tidak pendek. Pembelajaran dan penyadaran perlu, terutama banyak tokoh yang bisa bicara dalam masyarakat hasil didikan Orde Baru yang paternalistik. Ukuran perubahan masyarakat bukan pada hasil an sich, tapi proses. Komitmen rakyat mandiri dan swadaya harus pula dipunyai oleh lembaga-lembaga yang unique dan dapat mulai dari apa yang punya. Tidak perlu “konsolidasi”, “koordinasi”, dipaksakan sebagai sesuatu yang ideal sampai tingkat praktis.