Enam Langkah Membentuk Budaya Perusahaan Syafrizal Helmi
Budaya perusahaan adalah sumber kekuatan perusahaan Budaya perusahaan adalah sumber kekuatan perusahaan. Perusahaan yang memiliki budaya yang kuat akan mampu bertahan melewati sejumlah tantangan yang muncul dalam berbagai masa. Kita lihat, misalnya, Procter & Gamble yang memiliki falsafah “Business integrity, fair treatment of employees”; IBM dengan “IBM means service”; Nokia lewat “Connecting People”; dan General Electric (GE) dengan falsafahnya “Progress is our most important product”. Mereka adalah perusahaan-perusahaan yang mampu melewati tantangan dalam berbagai masa.
Lalu, bagaimana cara membentuk budaya perusahaan yang kuat sehingga mampu membawa perusahaan bertahan lama dan mampu melewati berbagai tantangan?
Setidaknya ada enam langkah yang dapat ditempuh dalam membentuk dan memelihara budaya perusahaan. Perumusan pekerjaan yang sesuai dengan upaya pembentukan budaya lebih dikenal dengan istilah “proses pengembangan organisasi”.
Langkah awal adalah perlunya upaya untuk “membaca” atau menemukan, menyadari, dan menguraikan budaya perusahaan yang berada “di bawah kulit” organisasi. Hal-hal yang ditemukan pada usaha itu terdiri dari norma-norma positif dan norma-norma negatif, atau hal-hal yang hendak dipertahankan ataupun diperkuat dan hal-hal yang merupakan perselisihan antara apa yang ditemukan dan budaya perusahaan yang dikehendaki.
Usaha berikutnya meliputi penetapan sasaran-sasaran yang jelas dan dapat diukur mengenai bagaimanakah perselisihan dapat dikurangi dan norma-norma positif bisa dipertahankan. Sasaran-sasaran tersebut sebaiknya ditetapkan pada tiga tingkatan, yaitu (1) sasaran prestasi, (2) sasaran program, dan (3) sasaran kultural, yaitu keyakinan, sikap, serta perilaku.
Kegiatan itu disusul dengan perencanaan dan penerapan dari tindakan-tindakan yang secara ideal akan mewujudkan perubahan pada empat dimensi, yaitu (1) pada setiap individu, (2) pada tim-tim sekerja, (3) pada pimpinan, dan (4) pada organisasi secara proses, sistem, kebijakan, dan struktur.
Oleh karena “cara bekerja” sebuah perusahaan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terus berubah, maka upaya untuk membentuk budaya perusahaan sebaiknya ditinjau sebagai suatu sistem. Timbal balik sebaiknya diperoleh secara berkala guna meninjau kembali kecocokan dari asumsi-asumsi semula dan menyesuaikan dalam tindakan selanjutnya.
Secara ringkas, garis besar dari langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam program pembentukan budaya perusahaan setelah membacanya dan menemukan norma-norma yang hendak diubah adalah sebagai berikut: 1. Tunjukkan kesungguhan dari upaya untuk mengadakan perubahan sebagaimana yang diinginkan. 2. Teliti dan temu kenali norma apa saja yang mempengaruhi tabiat atau kelakuan karyawan. 3. Bantu para anggota organisasi untuk mengerti norma yang telah ditemukannya.
4. Tetapkan kawasan-kawasan kunci yang dapat mempengaruhi persepsi karyawan atau key influence areas. 5. Usahakan untuk menghablurkan norma-norma yang negatif sekaligus menguatkan atau menempatkan norma yang positif pada kawasan kunci yang telah ditetapkan. 6. Periksa dan buat suatu evaluasi dari usaha pembentukan atau pemeliharaan itu.
Lalu, di mana peran para manajer dalam pembentukan budaya perusahaan Lalu, di mana peran para manajer dalam pembentukan budaya perusahaan? Saya melihat penting bagi setiap manajer untuk memimpin dengan perhatian yang penuh terhadap nilai-nilai dan falsafah yang dirancang bagi organisasinya. Setiap manajer harus memikul beban untuk membentuk atau memelihara budaya perusahaannya sesuai dengan otoritasnya.
Setiap manajer merupakan penerjemah dari budaya perusahaan bagi para bawahan yang ada pada unit kerjanya. Seorang manajer memelihara sebuah “mikrokultur” di unit kerjanya melalui suasana kerja yang ia ciptakan, melalui norma-norma positif ataupun negatif yang ia ciptakan menurut persepsi bawahannya terhadap organisasi, masa depan, pekerjaan, dan pimpinan perusahaan.
Hasil terjemahannya itu tentu saja dipengaruhi oleh apakah ia mengerti dan dapat menerima secara jelas dan tegas “makrokultur” dari perusahaannya. Jika sudah jelas, dia wajib untuk memelihara, menguatkan, dan mempertimbangkannya dalam setiap ketetapan dan kebijaksanaan perusahaan yang berakibat pada empat dimensi yang dibahas tadi, yaitu pada tingkat individu, kelompok, pimpinan, dan organisasi.
Apabila setiap manajer mampu menerjemahkan “makrokultur” perusahaan menjadi suatu “mikrokultur” di unitnya masing-masing, maka perusahaan itu akan menjadi seperti berlian: satu badan, tetapi memiliki banyak segi. Adapun organisasi yang memiliki budaya perusahaan yang positif adalah ibarat berlian yang telah diasah dengan baik: meski banyak segi, cahayanya tetap menyatu.