TINGKAT KEJADIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI BALI DAN MADURA PADA SISTEM PEMELIHARAAN KANDANG KELOMPOK Muchamad Luthfi dan Yeni Widyaningrum
Pembibitan sapi potong Latar Belakang Gangguan reproduksi X Usaha Pembibitan sapi potong Lahir Pedet /tahun Pedet mati
Tujuan Penelitian ini bertujuan memberikan informasi kasus-kasus gangguan reproduksi pada induk sapi Bali dan Madura dengan sistem pemeliharaan kandang kelompok di Kandang Percobaan Loka Penelitian Sapi potong dari tahun 2013 - 2016. Materi dan Metode Materi yang dipergunakan adalah data hasil recording sapi Bali dan Madura dari tahun 2013 – 2016 sebanyak 130 ekor induk sapi Bali dan 130 ekor induk sapi Madura pada kandang percobaan di Loka Penelitian Sapi Potong.
Manajemen Perkawinan Sistem perkawinan alam menggunakan pejantan unggul pada kandang kelompok dengan rasio pejantan dan induk yaitu 1 : 20 ekor. Ternak dikumpulkan dikandang kawin selama 3 bulan, dengan kepadatan 3 - 4 m2/ekor. Kandang Kawin Sapi dara siap kawin dan Induk setelah melahirkan selama 40 hari di campur dengan pejantan selama 3 bulan Kandang Bunting Hasil PKB Induk Bunting 7 sampai 8 bulan Kandang Beranak – Laktasi Induk bunting 8 – 9 bulan hingga melahirkan dan pedet berusia 40 hari
Manajemen Pakan Koleksi Data Pakan yang diberikan mengacu pada pola Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) yaitu dengan memanfaatkan bahan - bahan limbah pertanian yang tersedia serta rumput gajah dan disesuaikan dengan musim serta kecukupan kebutuhan pakan yang berdasar bahan kering (BK) ransum 2 - 3% bobot badan. Pakan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Koleksi Data Data dihimpun dari setiap kejadian kelahiran sapi, dicatat tanggal kelahiran, bobot induk saat melahirkan dan bobot pedet pada saat lahir. Kejadian gangguan reproduksi yang diamati yaitu distokia, prolapsus uteri, retensio scundinae dan abortus. Data yang diperoleh dianalisa secara diskriptif.
Istilah Gangguan Reproduksi yang diamati Distokia adalah suatu gangguan dari suatu proses kelahiran atau partus, yang mana dalam stadium pertama kelahiran (dilatasi cervik) dan kedua (pengeluaran fetus) lebih lama dan menjadi sulit dan tidak mungkin lagi bagi induk untuk mengeluarkan fetus kecuali dengan pertolongan manusia (Affandhy et al., 2007). Prolapsus uteri adalah pembalikan uterus, vagina dan servik, menggantung keluar melalui vulva (Affandhy et al., 2007). Retensio scundinae adalah kejadian patologi dimana selaput fetus tidak keluar dari alat kelamin induknya dalam waktu 1–12 jam setelah kelahiran anaknya. (Hardjopranjoto,1995). Abortus adalah pengeluaran fetus mati ataupun hidup pada setiap stadium kebuntingan sebelum waktunya kelahiran normal (Peters dan Ball, 2007)
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1. Persentase kejadian gangguan reproduksi berdasarkan Tabel 1. Persentase kejadian gangguan reproduksi berdasarkan umur induk waktu melahirkan Umur Induk Sapi Bali (130 ekor) Sapi Madura Distokia (%) Prolapsus Uteri (%) Retensio Scundinae (%) Abortus (%) Distokia (%) Prolapsus Uteri (%) Scundinae (%) Abortus 2 thn 3,08 0,00 0,77 3 thn 1,54 4 thn 2,31 5 thn 4,62 3,85 Total 7,69 Anderson, (2012) yang menyatakan bahwa persentase gangguan repoduksi tertinggi (distokia) terjadi pada induk umur dua tahun (kelahiran pertama) karena pada saat itu ukuran pinggul induk kecil sehingga pedet kesulitan untuk dikeluarkan. Terjadinya gangguan reproduksi pada induk umur muda kemungkinan dikarenakan kontrol manajemen pakan yang kurang baik sehingga sapi - sapi yang bunting terutama pada trimester ke tiga (menjelang kelahiran) mengalami kekurangan nutrisi.
Tabel 2. Persentase kejadian gangguan reproduksi berdasarkan bobot Tabel 2. Persentase kejadian gangguan reproduksi berdasarkan bobot badan induk waktu melahirkan Bobot Badan (kg) Sapi Bali (130 ekor) Sapi Madura Distokia (%) Prolapsus Uteri (%) Retensio Scundinae Abortus (%) Distokia (%) Prolapsus Uteri Ringan (≤ 250) 2,31 0,77 3,08 0,00 4,62 Sedang (251-300) 1,54 Gemuk (≥301) Total 6,92 Toelihere (2006) menyatakan bahwa sapi - sapi betina sebaiknya dikawinkan berdasarkan bobot badan bukan umur, karena bobot badan dapat dicapai pada umur yang berbeda - beda tergantung tingkatan energi yang dikonsumsi. Perkawinan sapi betina yang belum dewasa tubuh harus dianggap sebagai suatu kecerobohan manajemen, apabila segera diketahui maka perlu diambil langkah - langkah untuk mengakhiri kebuntingan tersebut. Selain itu faktor pakan memainkan peranan penting dalam berbagai peristiwa faali yang terjadi dalam kelangsungan proses reproduksi. Defisiensi unsur pakan tertentu dapat menimbulkan kerusakan dan kegagalan total dalam proses reproduksi.
Gambar 1. Persentase kejadian gangguan reproduksi berdasarkan bobot lahir pedet sapi Bali dan Madura Gangguan reproduksi induk Sapi Bali bobot lahir rendah (≤15 kg) kasus tertinggi retensio scund (4,62%), bobot lahir sedang (16-20 kg) dan tinggi kasus yang muncul distokia masing – masing (1,54%); untuk induk sapi Madura bobot rendah kasus tertinggi retensio scund (3,08%), bobot sedang dan tinggi retensio scund masing – masing (2,31%).
Kesimpulan Tingkat kejadian tertinggi pada gangguan reproduksi berdasarkan umur, bobot induk waktu melahirkan dan bobot lahir pada sapi Bali dan Madura adalah kasus retensio scundinae. Saran Guna mencegah timbulnya kejadian gangguan reproduksi dalam usaha peternakan sapi yaitu dalam sistem pemeliharaan induk sapi harus memperhatikan pakan, kandang, sanitasi dan kesehatan serta bangsa sapi dikarenakan kemampuan reproduksi masing-masing bangsa sapi berbeda.
Mohon Saran dan Masukannya