HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA ERNAWATI , SHI. MH. FAKULTAS HUKUM
KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menjelaskan Pembuktian dalam hukum Islam dan peradilan agama di Indonesia
Pembuktian dalam hukum Islam dan peradilan agama di Indonesia
PEMBUKTIAN Pembuktian menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata “Al-bayyinah” yang artinya “suatu yg menjelaskan.” ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya At-Turuq al Hukmiyah mengertikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.
Menurut Prof. Dr. Supomo. Dalam arti luas, pembuktian berarti memperkuat keyakinan kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Dalam arti terbatas pembuktian itu hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat.
Tingkatan keyakinan hakim tersebut adalah : “Yaqiin”: meyakinkan, yaitu si hakim benar-benar yakin (terbukti 100%) “Zhaan”: sangkaan yang kuat, yaitu lebih condong untuk membenarkan adanya pembuktian (terbukti 75-99%) “Syubhaat”: ragu-ragu (terbukti 50%) “Waham”: sangsi, lebih banyak tidak adanya pembuktian dari pada adanya (terbukti < 50%), maka pembuktiannya lemah.
Suatu pembuktian diharapkan dapat memberikan keyakinan hakim pada tingkat yang meyakinkan. Nabi Muhammad SAW., lebih cenderung mengharamkan atau menganjurkan untuk meninggalkan perkara syubhat. Dalam salah satu hadits sahih, Nabi SAW., menyebutkan: “… sesungguhnya yg halal itu jelas dan yg haram itu jelas. Diantara keduanya ada yg syubhat (perkara yg samar) yg kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka … dan barang siapa yg jatuh melakukan perkara yg samar itu, maka ia telah jatuh dalam perkara yg haram…” (riwayat Al-Bukhori dan Muslim).
Dalil Hukum Dalil hukum pada pembuktian ini hanya diarahkan pada kaedah-kaedah fikih antara lain : “… bukti-bukti itu dibebankan kepada penggugat, dan sumpah dibebankan kepada yang menolak gugatan.” “…. Perdamaian adalah boleh dalam suatu perkara, kecuali dalam hal mendamaikan yang halal dengan yang haram…”
ALAT-ALAT BUKTI YANG DIAKUI DAN DIGUNAKAN DALAM PEMBUKTIAN DI PENGADILAN AGAMA Landasan berpijak tentang pembuktian. Diantaranya, terdapat dalam Q. Al-Baqarah: 282; Q. Al-Imran: 81; Q. An-Nisaa: 6; Q. Al-Maidah:106, Q. Yusuf: 26, Q.At-Talaq: 2 dan Q.An-Nur: 4 dan 6.
Alat-alat bukti yang dapat digunakan di Pengadilan Agama adalah: Ikrar (pengakuan) Syahadah (saksi) Yamin (sumpah) Riddah (murtad) Maktubah (bukti tertulis) Tabbayun (pemeriksaan koneksitas) Alat bukti untuk bidang pidana.
ALAT-ALAT BUKTI YANG DIGUNAKAN DI PENGADILAN AGAMA Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Th 2006 tentang Peradilan Agama menentukan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam undang-undang ini (UUPA).
Alat-alat bukti tersebut antara lain : Pembuktian dengan Surat (alat bukti tertulis) Keterangan saksi Persangkaan hakim Pengakuan Sumpah Pemeriksaan setempat (descente) Keterangan ahli
Alat Bukti Sumpah Alat bukti sumpah diatur dalam HIR (Ps. 155-158, 177), Rbg. (Ps. 182-185, 314) dan BW (Ps. 1929-1945). Ada 3 (tiga) macam sumpah sebagai alat bukti yaitu : Sumpah pelengkap (suppletoir); Sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decisoir); dan Sumpah penaksiran (aestimatoir, schattingseed).
Pembuktian yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 terutama menyangkut tentang sengketa perkawinan adalah : Pembuktian dalam permohonan cerai talak (Pasal 70); Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara (Pasal 74);
Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami (Pasal 75); Pembuktian dalam gugatan didasarkan atas alasan Syiqaq (Pasal 76); Pembuktian dalam gugatan perceraian didasarkan atas alasan zina (Pasal 87).
Terimakasih