Pajak bumi dan bangunan
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PAJAK KEBENDAAN ATAS BUMI DAN/ATAU BANGUNAN DIKENAKAN TERHADAP SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI ATAU BADAN SECARA NYATA: MEMPUNYAI HAK DAN/ATAU MEMPEROLEH MANFAAT ATAS BUMI, DAN/ATAU MEMILIKI, MENGUASAI, DAN/ATAU MEMPEROLEH MANFAAT ATAS BANGUNAN
SEJARAH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Masa Kerajaan-Kerajaan Islam Masa Indonesia – Hindu Pada Abad ke V s/d XVI Objek Pengenaan adalah Tanah Sawah dan Darat ( Tegal, Ladang dan Kebun ) Raja selaku penguasa mempunyai hak atas sebagian hasil panen. Masa Kerajaan-Kerajaan Islam Pada waktu Kerajaan Islam Mataram abad ke XIII s/d XIX Tanah adalah penguasaan mutlak oleh pribadi raja atas seluruh kekayaan alam dalam kerajaan, maka perlu dipungut yang sifatnya mirip sewa tanah. Sebagai sumber pembiayaan kerajaan, yang dipungut oleh raja sendiri, juga pejabat dan para lurah, kepala desa perdikan. Objek Pajaknya adalah Tanah pertanian seperti Padi dan Plawija. Masa VOC Pada masa kompeni tahun 1600 – 1800 Mengarah pada tanaman paksa, menanam hasil bumi tertentu dengan dijual harga murah. Para Bupati bertanggung jawab atas pungutan hasil bumi dan menyetorkan ke kompeni.
4. Masa Awal Hindia – Belanda Pada masa awal Hindia Belanda tahun 1800 – 1811. Ditetapkan pungutan pajak innatura ( hasil bumi ) untuk tanah sawah sebesar 1/5 dari hasil panen padi ( instruksi Nomor 2 Tahun 1810 ) antara lain isinya sbb : Membayar pajak belasting. Tidak menerima padi lama, harus padi baru panen Kondisi padi harus sesuai standard yang ditentukan. Yang banyak hasil panennya harus membayar lebih banyak dan juga Zakat sebesar 1/10 bagian. 5. Masa Pemerintahan Inggris Pada tahun 1811- 1816, pemerintahan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stanford Raffles, dengan sebutan Landrent. Suatu dalil bahwa semua tanah adalah milik raja, dan kepala-kepala desa dianggap sebagai penyewa dari tanah-tanah yang dikelola. Kepala-Kepala Desa wajib membayar sewa tanah ( Landrent ) dengan Natura secara tetap. 6. Masa Kolonial Belanda Diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Den Bosch dengan sistem Tanam Paksa. Karena banyak menelan korban dan kritikan , maka sistem tanam paksa dihapus pada tahun 1870. Sistem Pajak Tanah : Landrente, Hak Tanah : Verponding, Verponding Indonesia Pada Zaman Penjajahan Jepang, nama Landrente diganti menjadi Pajak Tanah, yang sistem pemungutannya masih sama dengan Landrente peninggalan Belanda.
PAJAK ATAS BUMI SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN Pajak atas Tanah berubah menjadi ” Pajak Bumi “. Kemudian berubah menjadi “ Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian “ , dan pemungutannya dilakukan oleh Jawatan Pajak Thn. 1955. P3TMI (Pajak Penghasilan dan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia), Produk Pembukuan GIRIK, KRITIR, PETOK D Berdasarkan PERPU Nomor 11 Tahun 1959, berubah nama menjadi “ Pajak Hasil Bumi “ yang disyahkan sebagai Undang-Undang berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1961. Pengelolaannya dilakukan oleh Direktorat Pajak Hasil Bumi. Berdasarkan SK Menteri Iuran Negara Nomor PMPPU 1-1-3 tanggal 29 Nopember 1965, nama Direktorat Pajak Hasil Bumi ( PHB ) berubah menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah ( IPEDA ) dan di DKI Jakarta dinamakan : IREDA ( Iuran Rehabilitasi Daerah ). IPEDA dan IREDA berada dibawah naungan Direktorat Jenderal Moneter- Departemen Keuangan. Pada Tahun 1985, berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1985, tanggal 27 Desember 1985, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986, berubah nama menjadi “ Pajak Bumi dan Bangunan “ ( PBB ) , dibawah Naungan Direktorat Jenderal Pajak – Departemen Keuangan.
AZAS-AZAS PEMUNGUTAN PBB SEDERHANA MUDAH DIMENGERTI DAN DILAKSANAKAN ADIL KEADILAN VERTIKAL MAUPUN HORISONTAL KEPASTIAN HUKUM PENGENAANNYA DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG GOTONG ROYONG SEMUA LAPISAN MASYARAKAT IKUT BERPARTISIPASI DALAM PELAKSANAAN UU PBB
LANDASAN FILOSOFI PAJAK MERUPAKAN SUMBER PENERIMAAN NEGARA YANG PENTING BAGI PELAKSANAAN DAN PENINGKATAN PEMBANGUNAN NASIONAL UNTUK KEMAKMURAN DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT PERLU PARTISIPASI MASYARAKAT BUMI DAN BANGUNAN MEMBERIKAN KEUNTUNGAN DAN/ATAU KEDUDUKAN SOSIAL EKONOMI YANG LEBIH BAIK BAGI ORANG/BADAN YANG MEMILIKI/MENGUSAI/MEMANFAATKAN WAJAR APABILA DIKENAKAN PAJAK
AZAS PENGENAAN PBB SELF ASSESSMENT SELF DECLARATION WAJIB PAJAK DIBERIKAN KEPERCAYAAN MENGHITUNG, MEMPERHITUNGKAN, MELAPORKAN DAN MEMBAYAR PAJAK YANG SEHARUSNYA TERHUTANG SESUAI DENGAN KETENTUAN YANG BERLAKU SELF DECLARATION FISCUS DAPAT MELAKSANAKAN PENDATAAN JIKA WAJIB PAJAK TIDAK MENDAFTARKAN SENDIRI OBJEK PAJAKNYA HAL INI DIMUNGKINKAN KARENA: BESARNYA JUMLAH OBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK RELATIF MASIH RENDAHNYA TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT, KHUSUNYA DI WILAYA PEDESAAN
BEBERAPA ISTILAH PBB Objek Pajak Wajib Pajak Nilai Jual Objek Pajak OP WP Nilai Jual Objek Pajak NJOP Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak NJOPTKP Nilai Indikasi Rata-Rata NIR Nilai Jual Kena Pajak NJKP Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang SPPT Surat Tanda Terima Setoran STTS Surat Pemberitahuan Objek Pajak SPOP Sistem Informasi Manajemen Objek Pajak SISMIOP Zona Nilai Tanah ZNT
PENERIMAAN DAN PENAGIHAN KEBERATAN DAN PENGURANGAN PENDATAAN PENILAIAN PENGENAAN PENERIMAAN DAN PENAGIHAN KEBERATAN DAN PENGURANGAN ADMINISTRASI PBB
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK DASAR HUKUM UU No. 12 Tahun 1985 jo UU No. 12 Tahun 1994 PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
OBJEK PAJAK BUMI BANGUNAN ADALAH : PERMUKAAN BUMI YG MELIPUTI TANAH Pasal 2 ayat (1) BUMI BANGUNAN ADALAH : PERMUKAAN BUMI YG MELIPUTI TANAH DANPERAIRAN PEDALAMAN SERTA LAUT WILAYAH INDONESIA, DAN TUBUH BUMI YG ADA DIBAWAHNYA Pasal 1 angka 1 ADALAH : KONSTRUKSI TEKNIK YG DITANAM ATAU DILEKATKAN SECARA TETAP PADA TANAH DAN/ATAU PERAIRAN Pasal 1 angka 2
OBJEK PAJAK Pasal 2 ayat (1) BANGUNAN TERMASUK DALAM PENGERTIAN BANGUNAN ADALAH (Penjelasan Pasal 1 angka 2) : Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut; Jalan tol; Kolam renang; Pagar mewah; Tempat olah raga; Galangan kapal, dermaga; Taman mewah; Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
YANG TIDAK DIKENAKAN PBB ADALAH OBJEK PAJAK YANG : Pasal 3 ayat (1) ADALAH OBJEK PAJAK YANG : Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang nyata-nyata tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
YANG DIGUNAKAN UNTUK PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN OBJEK PAJAK YANG DIGUNAKAN UNTUK PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Pasal 3 Ayat (2) PENGENAAN PAJAKNYA DIATUR LEBIH LANJUT DENGAN PERATURAN PEMERINTAH Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perorangan dan/atau badan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan
Objek Pajak Standar Objek Pajak Standar adalah objek-objek pajak yang memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : Tanah : 10.000 m2 Bangunan : Jumlah lantai 4 Luas bangunan : 1.000 m2
Objek Pajak Non Standar Objek Pajak Non Standar adalah objek-objek pajak yang memenuhi salah satu dari kriteria-kriteria sebagai berikut : Tanah : > 10.000 m2 Bangunan : Jumlah lantai > 4 Luas bangunan : > 1.000 m2
Objek Pajak khusus adalah objek pajak yang memiliki jenis kontruksi khusus baik di ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk maupun keberadaannya memiliki arti yang khusus seperti : a. Jalan Tol; b. Pelabuhan laut/sungai/udara; c. Lapangan Golf; d. Industri Semen/Pupuk; e. PLTA, PLTU dan PLTG; f. Pertambangan; g. Tempat Rekreasi; h. Dan lain-lain yang sejenis.
Objek khusus
SEKTOR PENGENAAN PBB PEDESAAN PERKOTAAN PERKEBUNAN PERHUTANAN PERTAMBANGAN
Sektor Pedesaan dan Perkotaan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi kawasan pertanian, perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta objek khusus perkotaan Objek Pajak Sektor Perkebunan adalah objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan /atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang diberikan hak guna usaha perkebunan Objek Pajak Sektor Pertambangan adalah objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan yang menjadi wilayah kerja atau wilayah kuasa penambangan Objek Pajak Sektor Perhutanan adalah objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang diberikan hak pengusahaan hutan
PAJAK DAERAH DAN RESTRIBUSI DAERAH (PDRD) UU NO. 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RESTRIBUSI DAERAH (PDRD) SEKTOR PERKOTAAN SEKTOR PEDESAAN PEMERINTAH PUSAT PEMERINTAH DAERAH UU No. 12 Tahun 1985 Jo. UU No. 12 thun 1994 yang terkait dengan pengelolaan Sektor Perkotaan dan Pedesaan masih berlaku hingga 31 Desember 2013 sepanjang belum ada Peraturan Daerah yang mengaturnya
SUBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (1) ORANG ATAU BADAN Memperoleh manfaat atas bangunan Memperoleh manfaat atas bumi Memiliki, menguasai bangunan Mempunyai suatu hak atas bumi Pasal 4 ayat (2) SUBJEK PAJAK Dikenakan kewajiban membayar pajak WAJIB PAJAK
SUBJEK PAJAK Objek Pajak yang belum jelas Wajib Pajaknya Pasal 4 ayat (3) Objek Pajak yang belum jelas Wajib Pajaknya Dirjen Pajak menetapkan Subjek Pajak