SUMBER HUKUM ISLAM Sumber-sumber Hukum Islam sering digolongkan berdasarkan cara pandang kepada; Sumber berupa nash dan sumber yang tidak berupa nash Sumber naqli dan sumber fikiran (ijtihad) Sumber yang disepakati dan sumber yang tidak disepakati Sumber pokok dan sumber tambahan Sumber dari syara’ dan sumber dari fikh. Dari cara pandang tersebut, Sumber hukum Islam secara keseluruhan adalah : 1) Al-Quran; 2) Sunnah/Hadits; 3) Ijma’; 4) Qiyas; 6) Istihsan; 7) Maslalahah musralah; 8) Istishhab; 9) Saddud-dzariah; 10) Urf; 11) Pendapat/Mazhab sahabat dan 12) Syara’ umat seblumnya. Dan dari 12 sumber hukum di atas diklasifikasi menjadi: Sumber nash, pokok, dan syara’ adalah A-Quran dan Sunnah/Hadits Sumber yang tidak nash, pikiran (ijtihad), tambahan dan fikh adalah: Ijma’; 4) Qiyas; 6) Istihsan; 7) Maslalahah musralah; 8) Istishhab; 9) Saddud-dzariah; 10) Urf; 11) Pendapat/Mazhab sahabat dan 12) Syara’ umat seblumnya Dan sebagian penulis mengklasifikasi menjadi: Sumber naqli adalah A-Quran dan Sunnah/Hadits. Ijma’ dan Syara’ umat seblumnya Sumber yang tidak naqli adalah: Qiyas; Istihsan; Maslahah musralah; Istishhab; Saddud-dzariah; Urf; Pendapat/Mazhab sahabat .
Al-Quran Pengertian: Kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantaraan Malaikat Jibril yang berbahasa Arab dan tertulis dalam suatu mushhaf dann menjadi ibadah bagi yang membacanya. Al-Quran turun kepada nabi Muhammad sebagai wahyu, di dalam kalimatnya berbahasa Arab, lafadh dan maknanya dari Allah Swt, membacanya adalah ibadah. (QS. Al-Hijr: 9; QS. An-Nahl:103; QS. Asy-Syu’ara’:193-195 dan 7; QS. Yusuf:3; QS. Taha:113; QS. Fusshilat: 3; QS. Az-Zuhruf:3; QS. Ahqaf:12; QS. Az-Zumar: 28) Kehujjaan Al-Quran: Bukti bahwa Al-Quran menjadi hujjah atas manusia, hukum-hukumnya menjadi aturan yang wajib bagi manusia untuk diikuti, karena Al-Quran datang dari Allah disampaikan kepada manusia melalui nabi Muhammad saw dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan keautentisitas dan kebenarannya. Kedinamisan Al-Quran: Al-Quran sebagai sumber pokok bagi semua hukum Islam maka al-Quran sebagai kitab suci yang jami’ dan kulli. Dalam menjelaskan dasar-dasar hukum, al-Quran hanya menjelaskan secara terperinci bidang keimanan/kepercayaan. Namun untuk bidang ibadah dan muamalah Al-Quran mejelaskan dengan cara global dan kulli, guna menjaga keutamaan tujuan-tujuan Al-Quran. Penjelasannya terhadap masalah ibadah dan lain sebagainya dijelaskan secara global dan Sunnah/Hadits yang kemudian menjelaskan lebih terperinci. Demikian halnya dengan perjanian dan jaul beli dan hal yang berkaitan dengan urusan manusia dengan sesama manusia (muamalah).
Al-Quran diturunkan secara berangsur: Memberi motivasi terhadap nabi Muhammad dan menguatkan jiwanya dalam menerima wahyu tersebut dan dalam menghadapi refleksi dari sikap dan tindakan orang quraisy di sekitarnya. Memudahkan kepada para umat Islam/sahabat dalam menghafal dan mendokumentasikan, khususnya mereka umumnya dikenal sebagai buta huruf (tidak tau tulis menulis dan membaca). Menjada adaanya keberangsuran dalam menentukan hukum, khususnya yang berkaitan dengan persoalan halal-haram. Menjadi sarana untuk proses perobahan seruan al-Quran dari ajakan keimanan menjadi ketentuan hukum yang mengatur masalah kehidupan perorangan dan bermasyarakat dsb. Beberapa Aspek Hukum Al-Quran: Paling tidak ada lima pokok aspek hukum yang terkandung dalam al-Quran: Hukum-hukum Al-Quran yang berhubungan dengan masalah akidah/keimanan أحكام شرعية اعتقادية Hukum-hukum Al-Quran yang berhubungan dengan masalah akhlak/etika/mooral أحكام شرعية خلقية Hukum-hukum Al-Quran yang berhubungan dengan masalah tingkah laku dan perbuatan manusia dewasa (mukallaf) أحكام شرعية عملية Hukum-hukum Al-Quran yang berhubungan dengan semua ciptaan Allah/alam semesta أحكام طبيعية/كونية Hukum-hukum Al-Quran yang berhubungan dengan sejarah/hal-hal kemasyarakatan أحكام تاريخية/اجتماعية
Hukum-hukum Al-Quran yang berhubungan dengan masalah tingkah laku dan perbuatan manusia dewasa (mukallaf) yaitu ahkam syar’iyah ‘amaliyah yang lazim juga disebut sebagai ahkam syar’iyah ‘amaliyah tafshiliyah merupakan bagian dari Al-Quran yang paling banyak mendapat perhatian dan menyita pemikiran para ulama Islam. Hal tersebut paling tidak dipengaruhi oleh tiga faktor: Paling banyak bersinggungan dengan aktifitas keseharian manusia. Kandungan ayat-ayatnya ada yang qath’iy dan zhanny. Terbukanya peluang berijtihad bagi ulama yang telah memenuhi kriteria atas hal itu. Al-Quran –sesuai dengan pembidangan dan ppembahasan hukum modern, sementara ahli membagi hukum mu’amalat dalam al-Quran sbb: Hukum keluarga (ahkam al-akhwal al-syakhshiyah) jumlah ayatnya kurang lebih 70 ayat. (contoh: QS. Al-Baqarah:228; QS. Ar-Rum:21; QS. Al-isra’:23-24; QS. An-Nisa:19) Hukum perdata (al-ahkam al-madaniyah) jumlah ayatnya kurang lebih 70 ayat (contoh: QS. Al-Baqarah:280; QS. An-Nisa: 29; QS. Al-Baqarah: 282; QS. Al-Baqarah:283: QS. Al-Maidah: 1; QS. Al-Isra: 34; QS. An-Nisa:29; QS. Al-Baqarah: 275; QS. Al-Baqarah: 279) Hukum pidata (al-ahkam al-jinaiyah) jumlah ayatnya kurang lebih 30 ayat (contoh: QS. Al-Baqarah:174; QS. Al-Baqarah: 179; QS. Al-Baqarah:194: QS. Al-A’raf: 199; QS. An-Nisa:58; QS. An-Nisa:59; QS. Al-Baqarah: 286; QS. Al-An’am: 164; QS. An-Najm: 29,40; QS. At-Thalaq:7; QS. Al-Baqarah:181; QS. Al-Maidah:8; QS. Al-Furqan:72) Hukum acara perdatadan pidana (al-ahkam al-murafa’at) jumlah ayatnya kurang lebih 17 ayat Hukum tata negara dan perundang-undangan (al-ahkam al-dusturiyah) jumlah ayatnya kurang lebih 10 ayat (contoh: QS. Asy-Sura: 38; QS. An-Nisa: 59; QS. Ali-Imran:159; QS. Al-Hadid:25; QS. An-Nahl:90; QS. An-Nisa:58) Hukum internasional/antar bangsa (al-ahkam al-dauliyah) jumlah ayatnya kurang lebih 35 ayat (contoh: QS. Al-Baqarah:216; QS. Al-Mumtahinah:8&9; QS. Al-Anfal:60; QS. Al-Isra:70; QS. Al-Hujarat:13; QS. Al-Baqarah:194; QS. An-Nahl:91) Hukum ekonomi dan keuangan (al-ahkam al-iqtishadiyah wa al-maliyah) jumlah ayatnya kurang lebih 10 ayat (contoh: QS. Al-Anfal:41; QS. Al-Baqarah: 177; QS. At-Taubah: 103; QS. Al-Baqarah:284; QS. Al-Baqarah:107; QS. An-Nahl:53; QS. Al-Isra:29; QS. Hud:116; QS. Al-Isra:16; QS. Al-Qashash:77; QS. Al-Jum’ah:10; QS. An-Nisa:5)
As-Sunnah/Hadits Pengertian: Bahasa: sistem/cara atau lawan dari bid’ah قال صلى الله عليه وسلم: عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي. (اخرجه أبو داود في سننه: وقال: الحديث حسن صحيح) Istilah: Apa yang diperoleh dari Nabi Muhammad Saw berupa ucapan, perbuatan, atau penetapan. Menurut Definisi, Sunnah Nabi ada tiga macam: Sunnah qauly: Hadits yang diperoleh dari ucapan-ucapan atau perkataan Nabi Saw Sunnah fi’ly: Hadits yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan Nabi Saw; Sunnah taqriry: Hadits yang diperoleh dari ketetapan atau persetujuan Nabi Saw. Sunnah/Hadits merupakan Sumber Hukum ke dua setelah Al-Quran seperti yang disebutkan dalaam Al-Quran: Qs. An-Nisa: 59: QS. An-Nisa: 80: QS. Ali-imran: 32: QS. Al-Ahzab: 36 QS. Al-Hasyr: 7: Kedudukan As-sunnah terhadap Al-Quran: Sebagai penetap dan engguat terhadap penjelasan Al-Quran (contoh: مؤكدة لما جاء في القرآن: قال صلى الله عايه وسلم: لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب من نفسه مؤكدة لقوله تعالى: ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل (البقرة: 188) Sebagai pembatas terhadap hal-hal yang mutlak; Sebagai pejelas dan penerang terhadap hal-hal yang masih memerlukan penjelasan (contoh: - مفسرة لمجمل القرآن: قوله صلى الله عليه وسلم: صلوا كما رأيتموني أصلي قال الله تعالى: أقيموا الصلاة - مقيدة لمطلق القرآن: في قوله تعالى: والسرق والسارقة فاقطعوا أيديهما (المائدة: 28) السنة تبين مقدار القطع بالرسغ من اليد. - مخصصة لعموم القرآن: في قوله تعالى: كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين (البقرة: 180) فخصصته السنة: لا وصية لوارث Sebagai penyusul terhadap persoalan yang belum disebutkan dalam Al-Quran تحريم الجمع بين المرأة وعمتها وبين المرأة وخالتها، هذا لم يرد في قوله تعالى: حرمت عليكم أمهاتكم وبناتكم وأخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الأخ وبنات الأخت .... (النساء:23) ولا في قوله صلى الله عليه وسلم: يحرم من الرضاع ما يخرم من النسب، فلم يرد ما يحرم لغير الأمهات والأخوات من الرضاعة.
Sunnah/Hadits yang dikategorikan sebagai nash syari’ adalah: Riwayat yang mengandung unsur tablig dan risalah dari Allah Swt, Sunnah tersebut dikategorikan sebagai hukum tasyri’ umum. Riwayat yang dari Nabi, dimana beliau dalaam posisi sebagai hakim/qadhi’ Riwayat yang dari Nabi, dimana beliau sebagai imam/pemimpin Pembagian Sunnah menurut cara pemberitaan/perwinya: Hadits Mutawatir: Hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak memungkinkan untuk sepakat berdusta, kemudian diterima oleh orang banyak yang memiliki sifat yang sama; 2) Hadits Masyhur: Hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan dari Nabi Saw kemudian masa berikutnya diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak memungkinkan sepakat untuk berdusta. Hadits Ahad: Hadits yang diriwayatkan dari Nabi oleh orang perorangan dan kemudian diterima oleh generasi selanjutnya dengan cara yang sama. Catatan: Penggolongan di atas mempunyai akibat dalam kegunaannya dalam menetapkan hukum: Hadits Mutawatir mesti menimbulkan keyakinan akan kebenaran isinya. Hadits Masyhur menimbulkan dugaan kebenaran lebih kuat tentang kebenaran isinya. Hadits Ahad hanya menimbulkan dugaan akan kebenaran isinya, sehingga sebahagian besar ulama memberi persyaratan dalam penerimaan hadits tersebut.
Ijma’ Pengertian: Bahasa: “al-ittifaq” kesepakatan (antara kelompok) “al-azm wa at-tashmim” (antara kelompok atau individu) فأجمعوا أمركم أو شركائكم (يونس: 17) Istilah: Kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah Saw meninggal dunia. Eksistensi Ijma’: - “ghair mutashawwir” (unimaginaable) terjadinya, disebabkan ulama terpisah-pisah dan jumlah mereka banyak; - “mutashawwir (imaginable); - ulama telah sepakat akan wajibnya shalat dan rukum Islam lainnya. - telah ada kesepakatan ulama, sehingga secara image dapat terwujud. - mereka sepakat mengenai hal-hal kebutuhan duniawinya (makan, minum) lebih-lebih akan sepakat tentang urusan keagamaannya. - secara pemikiran akal,, tidak mustahil terjadinya ijma’. Dasar hukum Ijma’: - Al-Quran: قال الله تعالى: يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم (النساء :59) artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amr (penguasa) diantara kamu (An-Nisa: 59). قال تعالى: واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا (آل عمران:103) artinya: Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada agama Allah dan janganlah bercerai berai (Ali-Imran:103) وقال تعالى: ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع سبيل غير المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا (النساء: 115) artinya: Barang siapa yang menentang Rasul setelah kebenaran menjadi jelas baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang beriman. Kami biarkan ia beerkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuassainya itu, dan kami masukkan ke neraka jahannan, dimana merupakan seburuk-buruknya tempat kembali (An-Nisa: 115).
- As-sunnah: قال صلى الله عليه وسلم: لا تجتمع أمتي على خطأ (اخرجه أبو داود والترمذي) Artinya: Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan (HR. Abu Daud dan Turmuzi). Pembagian Ijma’: Menurut ulama hukum Ijma’ dibagi dua: Ijma’ qauly: Para mujtahidin sepakat menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas baik berupa ucapan atau tulisan, Ijma’ ini idsebut juga sebagai Ijma’ bayani atau sharih. Ijma’ sukuti: para mujtahidin tidak menyatakan kesepakatannya dengan jelas atau tegas, tetapi mereka diam diri atau absen dan tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahidin lain yang hidup di masanya, ijma’ ini disebut juga Ijma’ I’tibari Obyek Ijma’ adalah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya baik dalam al-Quran ataupun Hadits Nabi, peristiwa atau kejadian tersebut tidak berkaitan dengan masalah ibadah mahdhah, tapi masalah mu’amalah dan persoalan kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berkaitan dengan urusan duniawi.
Qiyas Pengertian: Bahasa: “at-taswiyah (menyamakan), “at-taqdir” (mengukur) Istilah: Menetapkan suatu hukum suatu kejadikan atau peristiwa yang belum ada kedudukan hukumnya dengan suatu kejadian atau peristiwa yang ada kedudukan/ketentuan hukumnya dari nash al-Quran dan Hadits, karena adaanya segi-segi persamaan antara keduanya yang disebut ‘illat”. Dasar Hukum Qiyas: قال الله تعالى: يا ايها آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكمن فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر، ذلك خير واحسن تأويلا (النساء: 59) Artinya: Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan para pemimpin (ulil amr) dari kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah daan hari akhirat, demikian itu lebih baik bagimu dan lebbih baik akibatnya. (QS. An-Nisa:59). وقال تعالى: هو الذي أخرج الذين كفروا.... فاعتبروا يا أولى الأبصار (الخشر: 2) Artinya: Dialah (Allah) yang mengeluarkan orang-orang kafir…. Maka ambillah tamtsil/ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang mempunyai pandangan yang tajam (QS. Al-Khasyr: 2). إن امرأة من جهينة قالت: إن أمي نذرت أن تحج فلم تحج حتى ماتت أفأحج عنها؟ قال: نعم حجى عنها، أرأيت لو كان على أمك دين أكنت قاضية؟ اقضوا الله فالله أحق بالوفاء (أخرجه البخاري والنسائي) Artinya: Seorang perempuan dari qabilah Juhainah menhadap kepada Rasulullag dan berkata: bahwa Ibuku pernah bernadzar akan melakukan haji pada waktu hidupnya, namun meninggal sebelum sempat melakukan haji, apakah aku berkewajiban untuk menghajikannya? Rasulullah menjawab: Laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan melunasinya? Maka bayarlah hutangnya kepada Allah karena Allah lebih berhak untuk dibayar (HR. Bukhari dan Nasai).
Rukun Qiyas: Ashal: yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya dalam nash (al-Quran dan Hadits), ashal disebut juga “maqis ‘alaih” . Fara’: yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ada ketetapan hukumnya karena tidak ada nash (al-Quran dan Hadits) yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, fara’ disebut juga “maqis” Hukum al-ashal (hukum asal) yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasrkan nash (al-Quran dan Hadits) dan hukum itu jugalah yyang dtetapkan apabila ada kesamaan illatnya. Illat: yaitu: suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat tersebut yang dicari di fara’. Seandainya sifat yang di ashal ada kesamaannya pada fara’ maka kesamaan sifat tersebut menjadi dasar dalam penetapan hukum. Pembagian Qiyas: Qiyas ada tiga macam: Qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara’, karena keduanya memiliki kesamaan illat. Qiyas ini terbagi dua: - qiyas jali: qiyas yang illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain illat tersebut (umpatan terhadap ibu kandung yang menjadi dasar tidak boleh ada pemukulan kepada orang tua). - qiyas khafi: qiyas yaang illatnya dapat dijadikan sebagai illat dan mungkin pula unuk tidak dijadikan illat (contoh: sisa minuman burung buas diqiyaskan/dianalogikan kepada sisa minuman binatang buas, keduanya sama-sama minum sehingga air liur keduanya dapat bercampur dengan sisa air yang diminumnya. Namun mulut keduanya berbeda: burung dari unsur tulang atau zat tanduk (suci) sementara binatang dari daging, daging binatang buas haram. Qiyas dalalah: qiyas yang illatnya tidak disebut, namun merupakan petunjuk yang dapat memberi indikasi adanya illat untuk menetapkan suatu hukum (contoh: harta anak-anak kecil yang belum balig, apakah wajib dizakati atau tidak. Harta tersebut dapat diqiyaskan kepada harta orang dewasa yang wajib dizakati, karena kedua harta terebut dapat bertambah dan berkembang). Qiyas syibh: qiyas yang fara’ daapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, akan tetapi diambil ashal yang lebih banyyak persamaannya. (contoh dalam masalah perbudakan: hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka. Tapi dapat juga diqiyaskan kepada merusak harta benda, karena budak dapat juga dikategorikan sebagai harta benda, namun budak diqiyaskan ke harta benda karena lebih banyak persamaannya, dibanding dengan orang merdeka).
1. Istihsan Secara harfiah : menjadikan sesuatu baik Istilah : Meninggalkan ketentuan hukum yang umum berlaku mengenai suatu kasus dengan mengambil ketentuan hukum lain karena adanya alasan hukum untuk melakukan hal demikian. Contoh : Aturan umum dalam hukum Islam harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan (hadits: sedekahkanlah pokoknya, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan, akan tetapi diinfakkan hasilnya). Namun jika terjadi pemubaziran pada harta wakaf kalau tidak dijual, maka boleh dijual karena agama juga melarang tindakan pemubaziran.
Jadi pembolehan melakukan penjualan harta wakaf dalam kasus ini didasarkan pada Istihsan, yaitu tindakan mengambil kebijaksanaan hukum berdasarkan suatu alasan hukum (dalil) yang menghendaki hal tersebut dilakukan. Maka Istihsan adalah suatu kebijakan hukum atau pengecualian hukum, yang mengalihkan aturan umum mengenai suatu kasus kepada hukum lain karena adanya alasan hukum yang mengharuskan diambilnya kebijasanaan tersebut.
2. Mashlahah Mursalah Pengertian Mashlahah: Mashlahah secara harfiah berasal dari kata “ash shalah” berarti kebaikan atau manfaat, kebalikan dari kerusakan atau mafsadah . Mafsadah berasal dari kata “al fasad” berarti “at talaf” (kebinasaan atau kemudlaratan). Jadi al mashlahah adalah sesuatu yang dapat membawa kebaikan dan menolak kemudlaratan, sementara al mafsadah adalah sesuatu yang dapat membawa kebinasaan atau kemudlaratan. Sementara arti dari “Mursalah” adalah netral. Jadi arti dari Mashlahah mursalah adalah segala kepentingan yang bermanfaat dan baik, namun tidak ada nash dari al Quran dan Sunnah yang mendukung secara langsung ataupun melarangnya.
Pada prinsipnya, mashlahah dapat mencakup semua persoalan yang berkaitan dengan kepentingan manusia, baik hal yang primer (dlaruriyat); sekunder (hajiyat) dan pelengkap (tahsiniyat). Mashlahah dibagi menjadi: - Mashlah mu’tabarah yaitu: suatu kepentingan yang baik yang mendapat penegasan secara langsung dari al-Quran dan Sunnah. - Mashlahah mulghah: suatu kepentingan (yang menurut anggapan kita) baik, namun mendapat pelarangan secara langsung dari al-Quran dan Sunnah - Mashlahah mursalah adalah suatu kepentingan yang baik yang tidak mendapat larangan dari al- Quran dan Sunnah dan juga tidak mendapat penegasan langsung dari kedua sumber tersebut. Contoh: kewajiban melakukan pencatatan nikah
3. Istishhab Pengertian Istishhab: Secara harfiyah Istishhab berasal dari kata “mushahabah” berarti kebersamaan atau keberlangsungan Secara istilah adalah keberlangsungan status hukum suatu hal di masa lalu pada masa kini dan masa depan, sejauh belum ada perubahan terhadap status hukum tersebut. Contoh: status hukum orang yang hilang yang tidak diketahui rimbahnya. Istishhab ada tiga macam: - keberlangsungan kebolehan umum: segala sesuatu (di luar masalah ritual ibadah) dasar umumnya adalah kebolehan umum sampai ada dalil yang menunjukkan lain. - keberlangsungan kebebasan asli (al baraah al ashliyah atau baraat adz dzimmah) artinya bebas dari tanggung jawab hukum. - kelangsungan hukum: status hukum yang sudah ada di masa lampau terus berlaku hingga ada dalil yang menentukan lain. Kaidahnya: (Al ashlu baqa’u ma kana ‘ala makan)
4. Sadd Adz Dzari’ah Pengertian: Secara harfiyah “Sadd” berarti: menutup dan “Adz dzari’ah” : Jalan yang menghantarkan untuk sampai kepada sesuatu. Jadi “sadd adz dzari’ah: menutup jalan. Istilah: sebagai pencegahan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan kerugian yang muktabar meskipun awalnya perbuatan-perbuatan tersebut mengandung mashlahat. Jadi Sadd Adz Dzari’ah adalah merupakan tindakan preventif dengan melarang suatu perbuatan yang menurut hukum syara’ sebenarnya dibolehkan, namun –dengan ijtihad- perbuatan tersebut dialarang karena karena dapat membawa kepada suatu yang dilarang atau yang menimbulkan mudlarat. Contoh: saling berpandangan, dilarang karena dapat mengantar ke perzinahan. Pembagian Dzari’ah ada tiga: - dzari’ah yang secara pasti membawa kerusakan: (menggali sumur -dibelakang pintu rumah- dengan zhalim; perzinahan yang menyebabkan tercampunya keturunan anak manusia). - dzari’ah secara praduga yang kuat membawa kerusakan: (penjualan senjata di waktu komplik; penjualan anggur sebagai bahan baku minuman keras). - dzari’ah yang biasanya membawa kerusakan: (merokok, jual salam, larangan berduaan di tempat tertutup dsb) - dzari’ah yang kemungkinan kecil dapat membawa kerusakan, namun jarang terjadi : penggalian sumur di tempat yang aman, pandangan seseorang terhadap tunangannya).
5. ‘Urf (adat Istiadat) Pengertian: Secara harfiyah ‘Urf berarti terkenal (diketahui secara umum) Istilah: suatu hal yang diakui keberadaannya dan diikuti oleh umum dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat, baik berupa perkatan, maupun perbuatan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan nash-nash syari’ah atau ijma’. Syarat-syarat adat istiadat untuk dapat menjadi sumber hukum al: Adat tersebut tidak bertentangan dengan nash al-Quran dan Hadis) atau Ima. Adat tersebut konstan dan berlaku umum di dalam masyarakat. Pembagian ‘Urf: ‘Urf Shahih: sesuatu yang konstan dan berlaku umum tidak bertentangan dengan nash. (akad istishna’) ‘Urf Fasid: sesuatu yang konstan dan berlaku umum tapi bertentangan dengan nash. (minuman keras, perjudian dsb) Kaidah fiqhiyah: - Adat menjadi sumebr penetapan hukum (al ‘adah muhakkamah) - Praktik masyarakat adalah hujjah yang wajib diamalkan (Isti’malun nasi hujjatun yajibul ‘amalu biha)
6. Qaul Sahabi (Fatwa sahabat) Sahabat Nabi adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi Saw dan pernah bertemu dengan beliau walaupun sebentar. Qaul Sahabi: pendirian seorang sahabat mengenai suatu masalah hukum ijtihad baik yang tercermin dalam fatwanya maupun dalam keputusannya yang menyangkut penegasan dalam al Quran. Apabila Qaul Sahabat bukan merupakan ijtihad murni, melainkan merupakan suatu yang diketahui oleh Rasulullah maka hal tersebut dapat dijadikan sumber hukum. Demikian halnya apabila para sahabat sepakat mengenai suatu masalah maka hal tersebut merupakan ijma’.
7. Syar’u Man Qablana (Hukum Agama Terdahulu) Yang dimaksud “Hukum Agama Samawi Terdahulu adalah ketentuan hukum yang dibawa oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw seprti Nabi Isa AS, Nabi Ibrahim, Nabi Musa. Apabila hukum agama tersebut tidak mendapat konfirmasi dalam hukum Islam maka tidak menjadi sumber hukum. Yang menjadi pembicaraan dalam hal ini adalah aturan-aturan hukum agama terdahulu yang disebutkan di dalam al Quran atau Hadis sebagi suatu cerita mengenai nabi-nabi terdahulu. Hukum Agama Samawi Terdahulu ada dua; - hukum yang tidak dijelaskan dalam al Quran, maka tidak menjadi ketentuan secara sepakat. - hukum yang diceritakan dalam al Quran, dalam hal ini ada tiga: 1. disebutkan dalam al Quran atau Hadis bahwa hal tersebut menjadi ketentuan: (Hadis: Halal bagiku rampasan, sekalipun tidak halal bagi nabi-nabi sebelumku). 2. disebutkan dalam al Quran atau Hadis dan diseritakan kalau hal tersebut menjadi kewajiban bagi umat sebelumnya, seperti puasa (kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum) dan berkurban (dlahu fa innaha sunnatu abikum Ibrahimu As)