Budaya Pelajar Budaya Pengajar Budaya Institusi
Jepang memiliki 23,633 SD, 11,134 SMP, 5,450 SMA, 995 SLB, 702 universitas, 525 akademi, dan 14,174 TK(May 2003). School attendance rate for the nine years of compulsory education is 99.98%. Jumlah pelajar 20.7 Juta, mulai dari TK hingga universitas Usia masuk sekolah mulai dari 6 tahun. 70% guru mengajar semua mata pelajaran % anak SD ikut Juku (bimbel).
Kurikulum SD ; Bahasa Jepang, ilmu sosial, matematika, ilmu pengetahuan alam, musik, seni dan kerajinan tangan, pendidikan olah raga dan rumah tangga. Pada saat ini penekanan lebih kepada musik, seni dan olah raga. Seminggu sekali ada kelas pendidikan moral sebagai bagian dari program pembangunan manusia seutuhnya. Hal ini dimulai sejak SD. Pendidikan moral lebih efektif dibawa melalui interaksi sehari-hari yang rutin di sekolah seperti saat bersih-bersih kelas dan makan siang. Untuk sekolah menengah, kurikulumnya meliputi Bahasa Jepang, matematika, IPS, IPA, Bahasa Inggris, musik, seni, olah raga, studi tour, klub ekskul, dan waktu kunjungan guru ke rumah. Sekolah menengah atas memiliki kurikulum yang beragam, sesuai dengan tipe sekolah tsb.
Elite academic high schools yang menyeleksi siswa terbaik dari seluruh Jepang dan kebanyakan mengirim mereka ke universitas top di Jepang. Non-elite academic high schools menyiapkan siswanya ke universitas yang tidak terlalu TOP atau ke akademi, tapi realiatnya mereka banyak mengirim siswanya ke sekolah spesialis privat (senshuugakko) yang mengajari mereka pelajaran seperti administrasi, bahasa, program komputer. Namun tipe sekolah ini yang paling mainstream di Jepang. Sekolah Menengah Kejuruan yang menawarkan kursus di bidang komersial, teknik, agrikultur, iptek rumahan, perikanan dan perawat. 60% lulusannya menjadi pekerja full-time Sekolah Menengah Korespondensi adalah sekolah menengah yang bentuknya fleksibel, ada sekitar 1.68% untuk siswa yang melewatkan SMA karena alasan-alasan khusus. Sekolah Malam untuk anak-anak miskin tapi ambisius, dimana siang mereka bekerja.
Mengutamakan usaha dari pada kemampuan Ganbarism Sistem Kolaborasi – Masyarakat kelompok Pengembangan “manusia seutuhnya”/”whole person” development
Yang saat ini adalah meniru Amerika, sejak pasca PD II. SD 6 thn, SMP 3 thn, SMA 3 thn, Akademi/Universitas Sekolah dimulai di bulan April dan selesai di Maret tahun berikutnya.
Kontrol atas-bawah, otoritas guru dan lingkungan yang kompetitif (hal ini yang membawa masalah seperti malasnya anak-anak untuk datang ke sekolah) Konsep “whole person” development ; pendidikan kognitif, sosial, emosional melalui bimbingan cara hidup. Proses lebih penting daripada hasil bibit dari ganbarism
Proses pembelajaran kolaboratif Kelas besar, siswa Guru tidak hanya mengajar /menginstruksi tapi juga monitoring dan mendukung interaksi kelompok, sehingga kadang waktu pengajaran lama. Monitoring yang dilakukan guru bahkan selepas jam sekolah seperti kegiatan baito siswa dsbnya
Konsep ini lebih banyak teraplikasikan di ekskul Berupa konsep Shido ; mendidik anak agar mereka siap memasuki dunia dewasa seperti belajar tanggun jawab, menghargai sesama, perencanaan matang dsbnya. Oleh karena itu, peran guru dalam proses monitoring hingga di luar waktu sekolah
Guru ikut mengajarkan hal-hal basic sbg seperti memakai sepatu yang tepat (indoor, outdoor, olahraga), membawa apa yang dibutuhkan ; buku tulis, buku teks, seragam olahraga, alat tulis dll, makan siang dengan baik, membersihkan kelas, bertanggung jawab, mengisi buku laporan sekolah yang dibawa pulang ke rumah dll.
Metode pengajaran lain adalah membentuk kelompok yang disebut “han”, terdiri dari 4-6 siswa dengan karakter yang beragam. Kelompok ini untuk semua hal, olahraga, matematika, bersih-bersih kelas, diskusi kelompk dll. Han bertahan sampai SMA
Guru-guru di Jepang mengacu kepada semangat Kizuna (hubungan intim berpusat pada empati, berbagi kepercayaan dan tanpa inklusifitas antara guru dan murid) Guru tidak menegaskan otoritasnya tapi otoritas tsb dibangun/muncul dalam aktivitas & interaksi rutin
Variasi regional ; warna lokal yang kuat pada budaya sekolah di suatu daerah. Mis; komunitas dengan banyak kalangan Buraku dan etnis Korea banyak aktivitas HAM Di daerah rural ; “Nerdy” vs “yankee” Tokyo Model Osaka Model
Adalah kebijakan pemerintah Tokyo, melakukan percobaan dengan mendesign SMA – elite academic high school yang dilengkapi dengan les privat untuk persiapan masuk universitas. Hal ini untuk bersaing dengan sekolah swasta. Efeknya adalah jumlah pelamar meningkat.
Membebaskan anak dari peran orang tua dalam pemilihan sekolah Alasannya adalah karena orang tua tidak memiliki info / pengetahuan cukup tentang apa yang terbaik bagi pendidikan si anak, ornang tua tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada anak Info tentang sekolah datang dari komunal
Tokyo Model -Sekolah melayani komunitas Osaka Model Komunitas mempromosikan pendidikan Hasil Survey di sekolah-sekolah di 15 kota besar di Jepang, 9 memilih Osaka Model, 4 mengadopsi sistem Tokyo Model