Karakteristik Bahasa Hukum Ari Wibowo, SHI., SH., MH
Karakteristik Bahasa Hukum Kejelasan makna Kepaduan pikiran Kelugasan Keresmian
1. Kejelasan Makna Gagasan dan ungkapan yang disampaikan menuntut kejelasan dalam pemilihan kata maupun kalimat, sehigga tidak menimbulkan multitafsir. Sebagai jabaran dari asas legalitas, dalam hukum pidana dikenal prinsip “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” yang artinya “tidak ada perbuatan pidana, tanpa UU yang jelas.” Prinsip ini mengandung konsekuensi bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas, sehingga tidak mengandung multitafsir. Penyusunan kalimat tentang bahasa hukum harus cermat, sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh si penerima.
Contoh Pasal 1 UU No. 11/PnPs/1963: “Dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi: Barang-siapa melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau haluan negara.” Klausul “memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara” dalam Pasal tersebut tidak jelas maknanya, sehingga menimbulkan multitafsir.
2. Kepaduan Pikiran Bahasa hukum sebagai bahasa ilmiah harusnya disusun secara cermat dan tepat, sehingga mempunyai kesatuan makna yang jelas atau tidak bertentangan satu sama lain, misalnya dalam putusan pengadilan, antara pertimbangan (motivering) dan putusan harus bersesuaian.
Contoh: Putusan Pengadilan Tipikor, Jakarta no. 54/Pid. B/Tpk/2012/PN Contoh: Putusan Pengadilan Tipikor, Jakarta no. 54/Pid.B/Tpk/2012/PN.Jkt.Pst Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas dapat diperoleh fakta bahwa Terdakwa telah menerima hadiah atau janji berupa uang untuk pemenuhan 5% dari nilai proyek, di mana janji tersebut diberikan oleh Permai Group/Mindo Rosalina Manullang kepada Terdakwa, dan berdasarkan fakta-fakta sebagaimana diuraikan di atas ternyata dapat dibuktikan atas janji tersebut dilakukan penyerahan sejumlah uang adalah sebanyak 4 (empat) kali dengan jumlah sebesar Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) dan sebesar US $. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu Dollar Amerika Serikat), di mana merupakan realisasi janji yang diberikan oleh Permai Group melalui saksi Mindo Rosalina Manulang kepada Terdakwa, meskipun dalam penyerahan hadiah berupa mata uang rupiah maupun mata uang dollar Amerika diterima secara tidak langsung oleh Terdakwa, yaitu melalui orang lain, kurir atau orang kepercayaan Terdakwa, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian hadiah atau janji tersebut adalah dalam hubungannya dengan usulan atau pembahasan proyek di Kemendiknas.
Menyatakan Terdakwa ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERLANJUT” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 Undang- Undang R.I. Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang R.I. Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH, dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan
3. Kelugasan Kelugasan adalah apa adanya, kesahajaan atau kesederhanaan. Satu kata atau kalimat dalam bahasa hukum harus memiliki satu makna. Disusun dengan kalimat yang padat dan jelas, tidak terlalu panjang. Kelugasan dalam bahasa hukum memerlukan tiga pendekatan: dari sudut bahasa, yaitu harus dipahami kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar, sehingga setiap kata dan kalimat mempunyai pengertian yang jelas, runtut dan mudah dipahami; dari sudut hukum, yaitu memahami dengan sesungguhnya pokok substansi hukum; dari segi psikologi massa, yaitu perlu diketahui dengan siapa hukum itu dibicarakan atau dengan kata lain harus dilihat dan dinilai apakah orang yang menerima komunikasi tersebut memahami apa yang dibicarakan.
Contoh 1 Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan ...” Bahasa dalam Pasal 2 tersebut memenuhi aspek kelugasan karena dirumuskan secara padat, jelas dan tidak terlalu panjang.
Contoh 2 Pasal 6 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.” Rumusan pasal di atas tidak mencerminkan aspek kelugasan karena terlalu panjang dan tidak jelas, misalnya istilah “suasana teror” dan “rasa takut terhadap orang secara meluas” sesungguhnya memiliki makna yang sama. Adanya duplikasi tersebut membuka peluang aparat penegak hukum untuk menfasirkan “suasana teror” sesuai seleranya, sehingga membuka peluang adanya otoritaroianisme.
4. Keresmian Bahasa hukum yang digunakan seharusnya menggunakan bahasa resmi yang kata-kata dan susunan kalimatnya merupakan bahasa Indonesia yang baku.