Deklarasi Malino untuk Poso Menjelang magrib, dingin mulai menusuk tulang di Malino. Para perunding damai untuk Poso sudah berdatangan. JK memanggil saya. “Hamid, tunjukkan kemampuanmu membuat semacam pernyataan damai yang disetujui kedua belah pihak. Pokoknya, saya mau lihat kehebatanmu di sini. Yang penting di dalam pernyataan itu ada ketegasan bahwa kedua belah pihak setuju menghentikan konflik,” perintah JK. Beberapa jam kemudian, draf pernyataan tersebut saya buat setelah bertanya sana-sini dengan sejumlah perunding dari kedua belah pihak. Dengan perasaan bangga saya mendatangi JK dengan empat halaman draf. Satu halaman di antaranya adalah pengantar. Harapan untuk memperoleh pujian dari JK, ternyata kandas. Malah sebaliknya, JK, begitu melihat draf empat halaman dan membaca kalimat pertama, langsung menggelengkan kepala. “Hamid, yang kamu buat ini adalah novel dengan puisi. Saya mau Anda membuat satu halaman saja dan jangan lebih dari sepuluh poin. Anda ‘kan sarjana hukum. Buat kalimat yang tegas dan tidak ditafsirkan macam-macam. Sekarang Anda mencatat baik-baik,” tegas JK. “Dalam draf itu, harus ada kata yang tegas sebagai sikap pernyataan kedua belah pihak. Ada juga gambaran mengenai penderitaan rakyat selama konflik kekerasan. Substansinya, kedua belah pihak mau menghentikan konflik, penegakan hukum, menyetujui keterlibatan negara untuk menjaga keamanan, menolak adanya campur tangan pihak asing, Poso adalah bagian Intergral Negara dan semua orang berhak tinggal di sana, pengaturan tentang hak-hak kependataan mereka, soal pengungsi. Pokoknya, tunjukkan kemampuanmu di sini,” kata JK. Kali ini saya tidak langsung mengaminkan JK. “Pak, bukannya kita perlu mendiskusikannya dulu dengan pihak-pihak yang terlibat konflik ini, lalu kita buat drafnya,” kata saya. “Logika Anda terbalik, Saudara. Justru kita harus harus buat dulu draf, baru berdiskusi dengan mereka. Draf itulah jualan kita ke mereka. Lagian, draf itu yang menjadi panduan yang membingkai, biar mereka tidak ke mana-mana. Begitu cara berpikirnya,” jawab JK. “Pokoknya, susun semua poin yang saya katakan tadi. Setelah itu, ikuti perkembangan sidang dan pertemuan-pertemuan kelompok. Kalau ada yang bertambah, tinggal masukkan ke dalam draf itu. Begitu juga kalau ada yang mau mengurangi. Tapi percaya saya, Mid, semua poin yang saya katakan tadi itu adalah inti dari perjanjian damai ini. Saya mau taruhan, mereka tidak akan keluar dari situ. Bisa jadi, yang kamu buat itu, langsung kita sahkan nanti,” JK menambahkan. “Pak Ucup, apa yang saya mau taruhkan? Modal saya tidak ada untuk bertaruh dengan Bapak. Lagian, kita tidak boleh taruhan,” saya menyela. “Taruhan tidak harus selalu pakai modal, Hamid. Pokoknya, kita akan lihat, selama Anda memasukkan dengan baik poin-poin yang uraikan tadi, Insya Allah, kedua belah pihak akan setuju,” tangkis JK. “Baik, perintah Menteri wajib hukumnya dijalankan,” saya menggoda. “Memang begitu caranya jadi anak buah. Harus selalu siap menjalankan amanah,” sambung JK lagi. Semua uraian JK saya pilah-pilah malam itu. Lalu, saya susun berdasarkan tingkat urgensinya. Dan yang penting, jangan lebih satu halaman dan tidak lebih dari sepuluh poin. Sisanya, saya memiliki kebebasan untuk melakukan improvisasi. Yang lama saya susun adalah alinea pertama, alinea pengantar: Tidak boleh panjang, tetapi mencerminkan sikap dan kondisi selama konflik berlangsung. Tatkala pengantar ini selesai, semuanya mengalir lancar. Sementara saya berkontemplasi menyusun draf perdamaian di tengah malam itu, Farid Husein datang dan meminta saya menemui JK. “Hamid, Anda tidak kedinginan malam-malam begini tanpa jaket?” tanya JK. “Saya tak bawa jaket, Pak Ucup,” tanya saya. “Itu ada jaket saya, Anda pakai. Ambil dari dalam kamar,” kata JK. “Wah, jaket Bapak tidak bermerek, jadi tidak tahan lama juga menahan dingin,” lanjut saya bercanda. “Hamid, tidak ada hubungannya antara merek dengan tembus angin. Anda ini korban merek saja. Jaket saya cukup tebal meski tak bermerek. Mana yang Anda pilih, merek atau sakit?” lanjut JK bertanya. “Oke Pak, saya ambil bila saya sudah kedinginan sekali,” jawab saya. “Ingat ya, dalam satu halaman itu, sudah ada juga gambaran tentang bagaimana caranya mengimplementasikan butir-butir kesepakatan mereka kelak. Jangan hanya pertanyaan umum, tetapi sudah ada gambaran tentang apa yang hendak dilakukan setelah itu,” kata JK. “Gini Mid, cari kata yang tepat untuk menggambarkan adanya pertanyaan yang akan tegas dari mereka sepakati nanti. Tapi, jangan Anda pakai kata pertanyaan karena itu sudah umum sekali dipakai,” perintah Jk. “Bagaimana kalau kita pakai kata deklarasi, Pak,” usul saya. “Ah, iya, bagus itu,” tegas JK. “Teruji toh Pak, kemampuan saya?” celetuk saya. “Belum, Saudara. Pekerjaan Anda belum dilaksanakan, apalagi selesai,” jawab JK. Berikut ini adalah naskah Deklarasi Malino untuk Poso. DEKLARASI MALINO UNTUK POSO Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami yang mewakili masyarakat Muslim dan Kristiani Poso serta kelompok-kelompok yang ada, setelah mengalami dan menyadari bahwa konflik dan perselisihan yang berlangsung selama tiga tahun terakhir ini di Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali, telah membawa penderitaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan bagi rakyat, maka dengan hati yang lapang serta jiwa terbuka, sepakat: Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. Untuk menjaga terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan keadaan darurat sipil, serta campur tangan pihak asing. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak hidup, datang, dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati, dan menaati segala aturan yang telah disetujui, baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan lainnya. Pernyataan kesepakatan ini kami buat dengan ikhlas dan iktikad baik untuk menjalankan. Realisasi dari pertanyaan ini, akan dilaksanakan dengan agenda serta rencana sebagai berikut: I. Komisi Keamanan dan Penegakan Hukum (Lampiran I) II. Komisi Sosial Ekonomi (Lampiran II) Pemantauan pelaksanaan rencana tersebut, dilakukan oleh Tim Pemantau Nasional dan Kelompok Kerja (pokja) yang dibentuk di daerah. Dibuat di: Malino Pada tanggal: 20 Desember 2001 Penghentian konflik dan perselisihan adalah tujuan utama ikhtiar perdamaian Poso. karena itu, penghentian konflik dan perselisihan sengaja ditempatkan sebagai poin pertama dalam deklarasi damai ini. Soal penegakan hukum dan pemberian sanksi bagi yang melanggar hukum, sengaja ditempatkan di urutan kedua karena kedua pihak menyoroti tajam tentang ini. Keduanya saling mencurigai bahwa ada yang kebal hukum. Ini juga terkait dengan butir ketiga, yakni meminta aparat untuk bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. Lagi-lagi, ini soal kecurigaan berlebihan dari kedua belah pihak. Mereka bukan hanya ragu tentang ketegasan dan keadilan aparat penegak hukum, tetapi juga takut atas diri mereka jika ketegasan itu tidak ada. Ada yang bertanya, apa urgensinya memasukkan butir keenam? Butir ini sengaja dimasukkan untuk menenangkan kedua belah pihak sebab keduanya selalu saling menuding dan mencurigai, masing-masing memiliki kekuatan luar. Dan, keduanya mendesakkan keinginan bahwa pihak luar yang dimaksud itu tidak boleh menginjakkan kaki di Poso. Jalan keluarnya, Poso harus ditempatkan sebagai kawasan bebas bagi siapa saja yang mau datang, sebagaimana daerah-daerah lainnya dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, bagi para pendatang, mereka harus menghormati adat istiadat setempat. Draf deklarasi ini selesai malam itu juga. Pagi-pagi benar JK langsung meminta saya menemani beliau sarapan pagi dan bertanya tentang draf yang mengurangi jam tidur saya malam itu. JK sangat puas, meski tidak mengeluarkan kata-kata pujian. “Tugas Anda sekarang, mengikuti semua pertemuaan dan mencatat segala yang Anda dengar dan lihat. Coba sosialisasikan kepada para pihak tentang draf ini. Anda akan lihat nanti dalam sidang pleno, saya akan yakinkan bahwa satu lembar inilah yang akan merubah wajah angker Poso dan nasib serta masa depan anak-anak mereka,” kata JK meyakinkan. Ternyata memang, sepuluh butir kesepakatan yang saya tulis itu sama sekali tidak mengalami perubahan. JK dengan amat meyakinkan, membuat kedua belah pihak menyetujui semua butir yang dituangkan dalam draf tersebut. Maka, tatkala sidang pleno pada hari terakhir pertemuan, begitu JK usai membacakan naskah deklarasi tersebut, JK hanya bertanya, “Apa semua ini bisa disetujui?” Secara serempak dan menggemuruh, 25 orang wakil kelompok Muslim dan 25 orang wakil kelompok Kristen, 7 orang mediator, dan 24 orang unsur peninjau, serempak berseru lantang, “Setujuuu!” Prak, palu sidang pun diketukkan oleh JK. Berakhirlah riwayat kekerasan di Poso siang itu, tanggal 20 Desember 2001. Anak-anak kembali menyongsong masa depan mereka dalam suasana damai dan penuh persaudaraan. JK membuat semuanya itu jadi kenyataan. Poso jadi damai.