Mukmin Sejati Sesudah pertemuan itu saya sering bertanya pada diri sendiri, di mana sumber sifat-sifat Bung Hatta? Itulah yang sering menjadi renungan mengenai sifat-sifat yang melekat pada pribadi Bung Hatta. Bung Hatta adalah seorang yang beriman sangat kuat dalam keagamaan. Beliau yakin benar bahwa kebenaran akan selalu menang terhadap kebatilan. Keyakinan ini yang membuat beliau tidak ragu-ragu mengatakan dan berbuat apa yang beliau anggap benar. Ketika saya diminta oleh Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70 untuk turut menulis dalam buku peringatan Bung Hatta Berusia 70 Tahun, renungan ini yang menjadi pokok pangkal pikiran saya, jauh sebelum buku Memoir Mohammad Hatta terbit pada tahun 1979. Antara lain dalam tulisan yang berbentuk karangan berirama saya mengatakan: Tidak semua orang tahu Bung, engkau seorang muslim sejati. Amalmu, akhlakmu, sikapmu Bung, cermin cerah insan imani. Bukan muslim ini dan itu Bung, hanya sejati. Bukan hanya lahiriah Bung, namun mukmin, muslim hati-nurani. Apa yang saya tulis di atas pada waktu itu sesungguhnya adalah sekedar hasil renungan. Ketika buku Memoir Mohammad Hatta terbit pada tahun 1979 yang lalu, dengan rasa gembira saya dapatkan di situ dengan jelas: Bung Hatta menceritakan tentang Syekh Arsad, Ayah Gaek (paman) Bung Hatta. Beliau menulis: “Sebagai ahli Terikat ia tahu bahwa otak anak kecil tidak boleh dibebani dengan ajaran agama yang sulit-sulit. Tetapi ia pandai menanam paham agama Islam dalam jiwaku dengan uraian yang mudah, yang melekat dalam hatiku untuk selama-lamanya. Uraian beliau dalam pertemuan kami yang tidak banyak itu berpokok pada dua tiga hal yang positif saja. Allah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, Tuhan seru sekalian alam. Allah menjadikan segala yang ada di alam dan di langit. Allah memberi kita rezeki. Sebab itu kita harus berterima kasih pada Allah. Balas kasih Allah pada kita itu dengan mengasihi orang lain. Bagikan pula rezeki yang dikaruniakan oleh Allah kepada kita itu kepada orang lain yang tak punya. Dan Allah nanti membalas pula budi kita itu dengan melimpah-limpah. Dan teori yang diajarkan itu kulihat dipraktekkannya dengan perbuatan.”
Mengenai sifat-sifat Allah, Syekh Arsad mengajar pada kemenakannya: “Kita manusia dan segala yang hidup di atas dunia adalah baru. Alam, matahari, bulan, dan bintang semuanya baru. Semuanya buatan Tuhan. Segala yang terjadi ada yang menjadikannya. Ada awal, ada akhirnya. Tuhan yang menjadikan tidak baru, ada selama-lamanya, tunggal, tidak dijadikan. Segala yang dijadikan sifatnya baru dan Tuhan tidak baru. Allah yang tunggal tidak dapat serupa atau sama dengan yang dijadikannya. Kalau serupa dan sama, itu tidak tunggal lagi. Oleh karena itu Allah adalah zat yang tidak serupa dengan yang baru. Tidak dapat digambarkan dengan rupa manusia, tidak dapat dikatakan dengan bentuk dan rupa yang ada di dunia ini. Yang kita tahu hanya Allah ada, sebab dibuktikan oleh yang dijadikan-Nya. Segala yang dijadikan Allah itu akan berakhir pada hari kiamat. Allah yang ada selama-lamanya itu, mengetahui semuanya. Allah maha besar dan maha kuasa. Dengan cinta dan tawakal kepada Allah kita dapat merasakan adanya Tuhan. Tidak ada tempat takut, hanya Allah. Orang Islam yang berjalan di atas jalan Allah tidak perlu gentar, tidak perlu takut, sekalipun berada seorang diri. Ia tak perlu merasa terpencil, tersendiri di tempat yang sunyi dan jauh sekalipun. Allah senantiasa di sisinya. Inilah pangkal kekuatan baginya. Dan sebagaimana biasa, beliau menyebutkan ayat-ayat Qur’an yang tidak tertangkap olehku, karena aku tak mengerti bahasa Arab.” Dalam tulisan yang saya kutip di atas tampak dengan jelas bahwa Bung Hatta adalah seorang muslim, lebih daripada itu seorang mukmin sejati dengan pengertian pengetahuan dan keyakinan tentang Islam yang sangat mendalam. Paham tauhid beliau seperti yang beliau dapatkan dari paman beliau, Syekh Arsad, tidak mudah kiranya dapat disempurnakan oleh ulama-ulama yang mana pun, dan merupakan pangkal kekuatan baginya. Jika kita sempat meneliti sikap beliau terutama selama pendudukan tentara Jepang, kita akan dapatkan dengan jelas bahwa pangkal kekuatan itu menjelma dalam segala sikap dan tingkah lakunya. Ketika Gunseikan, panglima tentara pendudukan Jepang menanyakan pada Bung Hatta apa beliau bersedia bekerja sama dengan Pemerintahan Militer Jepang, beliau menjawab dengan balik bertanya dengan tegas pada Gunseikan, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Gunseikan menjawab bahwa Jepang akan menolong memerdekakan Indonesia. Berdasarkan jawaban itu beliau bersedia bekerja sama hanya sebagai penasihat, tidak sebagai pegawai Pemerintah Jepang. Hamid Algadri, Pribadi Manusia Hatta, Seri 8, Yayasan Hatta, Juli 2002