Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn HUKUM ACARA PERDATA : P E M B U K T I A N Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn A R T I “Membuktikan” mengandung beberapa pengertian : Dalam arti logis memberi kepastian yg bersifat mutlak, krn berlaku bagi setiap orang & tdk memungkinkan adanya bukti lawan. Dalam arti konvensionil memberi kepastian yg bersifat nisbi/relatif, baik berdasarkan perasaan belaka maupun pertimbangan akal. Dalam hukum acara perdata mempunyai arti yuridis memberi dasar-dasar yg cukup kpd hakim yg memeriksa perkara guna memberi kepastian ttg kebenaran peristiwa yg diajukan hanya berlaku bagi pihak-pihak yg berperkara atau yg memperoleh hak dari mereka tdk menuju kpd kebenaran mutlak mrpk pembuktian historis Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn T U J U A N Pada dasarnya pembuktian (yang diperintahkan oleh hakim) adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak yang berperkara. Dengan bahasa lain dapat disampaikan bahwa pembuktian dimaksudkan untuk mencapai suatu kebenaran yang sesungguhnya dan didasarkan pada bukti-bukti. Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
Dalam hukum acara pidana : Adapun pembuktian dalam perkara perdata akan berbeda dengan pembuktian dalam perkara pidana. Perbedaan ini terjadi akibat adanya ciriciri khusus dalam beracara perdata dan pidana, sebagai berikut: Dalam hukum acara perdata, yang dicari adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran berdasarkan anggapan dari para pihak yang berperkara. Hakim bersifat pasif, yaitu memutuskan perkara semata-mata berdasarkan halhal yang dianggap benar oleh para pihak didasarkan pada bukti-bukti yang dibawa di pengadilan. Alat buktinya berupa: surat, saksi, sangkaan, pengakuan dan sumpah Dalam hukum acara pidana : yang dicari adalah kebenaran material, yaitu kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Hakim bersifat aktif, dimana hakim berkewajiban untuk memperoleh bukti yang cukup mampu membuktikan apa yang dituduhkan kepada tertuduh. Alat buktinya: saksi, surat-surat, pengakuan, tanda-tanda/penunjukan.
Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn BEBAN PEMBUKTIAN Hakim membebani para pihak dengan pembuktian (bewijs last, burden of proof) Asas pembagian beban pembuktian “barang siapa yg mengaku mempunyai hak atau yg mendasarkan pada suatu peristiwa u/ menguatkan haknya itu atau u/ menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu” Ps. 163 HIR (Ps. 283 Rbg, Ps. 1865 BW) artinya : baik penggugat maupun tergugat dpt dibebani dgn pembuktian, terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yg diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn ALAT – ALAT BUKTI Paton alat bukti dapat bersifat oral, documentary atau material. Macam-macam alat bukti dalam hukum acara perdata (Ps. 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW), a.l. : Alat Bukti Tertulis Saksi-saksi Persangkaan Pengakuan (Bekentenis Confession) Sumpah Alat bukti lain : Pemeriksaan setempat (descente) Keterangan Ahli (Expertise) Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
ALAT BUKTI TERTULIS
Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn Alat Bukti Tertulis Dasar hukum : Ps. 138, 165, 167 HIR; Ps. 164, 285 – 305 Rbg; S 1867 no. 29; Ps. 1867 – 1894 KUHPerdata; Ps. 138 – 147 Rv. Alat bukti tertulis surat SURAT AKTA BUKAN AKTA DIBAWAH TANGAN AKTA OTENTIK Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
Alat Bukti Tertulis, terdiri dr : Akta Otentik, adalah surat yang dibuat oleh dan/atau di hadapan pejabat umum yang ditentukan undangundang, misalnya akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses verbal pensitaan, surat perkawinan, akta kelahiran dan surat kematian 165 HIR, 1868 BW, dan 285 Rbg; Akta di bawah tangan, yaitu akta yang dibuat dan ditandatangani pembuat dengan maksud agar surat itu dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian, misalnya surat pernyataan, tanda terima, dan kwitansi yang dibuat tanpa perantaraan pejabat umum (yaitu: Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, dan Pejabat Catatan Sipil) ; Surat bukan akta, yaitu surat-surat yang sengaja dibuat oleh seseorang yang tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari, contoh: surat korespondensi dan laporan; dan Salinan, yaitu duplikat, ikhtisar, kutipan atau fotokopi dari sebuah akta.
Fungsi Akta Akta mempunyai dua fungsi : fungsi formil (formalitas causa). Formalitas Causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Dalam konteks ini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum fungsi alat bukti (probationis causa). Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.
Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei. Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata. Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.
Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang sempurna & mengikat, shg kebenaran dari hal-hal tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim sehingga isinya dianggap benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Keunggulan dari akta ini adalah dalam pembuktiannya tidak memerlukan Tambahan alat pembuktian lainnya.
Tiga Macam Kekuatan Akta Otentik : Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte tadi (kekuatan pembuktian formil); Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan disitu telah terjadi (kekuatan pembuktian materiel atau yang dinamakan kekuatan pembuktian mengikat); Membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akte ke dua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pejabat yg berwenang (notaris/PPAT/dll) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut. Kekuatan yang kedua tersebut itu sebagaimana sudah diuraikan di atas , dinamakan kekuatan mengikat yang pada hakekatnya bertujuan menetapkan kedudukan antara para pihak satu sama lain pada kedudukan yang teruraikan dalam akte. Kekuatan poin ini dinamakan kekuatan pembuktian keluar (artinya ialah terhadap pihak ke-tiga)
Akta Otentik dibedakan menjadi 2 macam : Akta Pejabat / Ambtenaar Acta, akta yg inisiatif pembuatan & isinya ditentukan oleh pejabat, misal : AJB, akta perkawinan, akta kelahiran. Akta para pihak/Partij Acta, akta yg inisiatif pembuatan & isinya ditentukan oleh para pihak, misal : akta Berita Acara RUPS.
Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah tangan akan menjadi alat bukti yang sempurna apabila ada pengakuan dari pembuatnya di hadapan hakim. Oleh karena itu, kekuatan pembuktiannya relatif, tergantung dari pengakuan pembuatnya atau perlu dukungan alat bukti lainnya. Akta di bawah tangan yang diakui isi dan tandatangannya, dalam kekuatan pembuktian hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar, yang tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan.
Lanjutan … Kekuatan pembuktian alat bukti tertulis lainnya Surat bukan akta Surat-surat lain selain akta mempunyai nilai pembuktian sebagai bukti bebas.Kekuatan surat bukan akta tidaklah sekuat akta karena surat ini bukan ditujukan sebagai alat bukti. Oleh karena itu, surat bukan akta dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian. Artinya adalah bahwa surat tersebut dapat diajukan ke pengadilan sebagai petunjuk yang dapat menambah keyakinan hakim yang memeriksa perkara. Salinan Kekuatan pembuktian alat bukti tertulis dalam bentuk salinan terletak pada dokumen aslinya. Artinya adalah bahwa penggunaan salinan di pengadilan harus pula dengan menunjukkan naskah aslinya. Sementara itu, jika salinan tersebut memperoleh tanda legalisasi (seperti pada ijazah), maka di pengadilan pihak yang memberikan (menandatangani) legalisasi harus memberikan pengakuan atas pernyataan legalisasi yang dimaksud di muka hakim.
SAKSI - SAKSI
Dasar Hukum : Ps. 139-152, 168-172 HIR; Ps. 165-179, 306-309 Rbg; Ps Dasar Hukum : Ps. 139-152, 168-172 HIR; Ps. 165-179, 306-309 Rbg; Ps. 1895, 1902-1912 BW Kesaksian adalah kepastian yg diberikan kpd hakim di persidangan tentang peristiwa yg disengketakan dgn jalan pemberitahuan secara lisan & pribadi o/ orang yg bukan salah 1 pihak dlm perkara, yg dipanggil di persidangan Kewajiban seorang saksi : menghadap, bersumpah, memberi keterangan yg benar. 3 hal yg dikemukan saksi : apa yg dilihat, didengar, dirasakan sendiri. “testomonium de auditu” Ps. 139 HIR, 165 Rbg, 1909 BW setiap orang yg bukan salah 1 pihak dapat bertindak sbg saksi, kecuali : I. segolongan orang yg dianggap tdk mampu bertindak sbg saksi : a. tidak mampu secara mutlak (absolut) : tdk dpt jd saksi, tdk dpt memberikan keterangan. 1. keluarga sedarah & keluarga semenda menurut keturunan yg lurus dr salah 1 pihak Ps. 145 (1) sub 1 HIR, 172 (1) Sub 1 Rbg, 1910 alinea 1 BW 2. suami/istri salah 1 pihak, meski sudah cerai Ps. 145 (1) sub 2 HIR, 172 (1) Sub 3 Rbg, 1910 alinea 1 BW b. tidak mampu secara nisbi (relatif) : keterangan tdk dpt dipertanggungjawabkan, tdk dpt jd saksi, boleh dimintai ket. u/ membantu hakim dlm mencari kejelasan, dgn syarat ia tdk disumpah. 1. anak-anak dibawah 15 th Ps. 145 (1) sub 3 jo. (4) HIR, 172 (1) Sub 4 jo. 173 Rbg, 1912 BW 2. orang gila Ps. 145 (1) sub 4 HIR, 172 (1) Sub 5 Rbg, 1912 BW II. Segolongan orang yg a/ permintaan mereka sendiri dibebaskan memberi kesaksian hak ingkar (verschoningsrecht) Ps. 146 HIR, 174 Rbg, 1909 alinea 2 BW : a. saudara pa & pi serta ipar pa & pi dr salah 1 pihak; b. keluarga sedarah menurut keturunan yg lurus & saudara pa & pi dr suami/istri salah 1 pihak; c. semua orang yg krn martabat, jabatan/hubungan kerja yg sah wajib mempunyai rahasia sehubungan dgn martabat, jabatan/hubungan kerja yg sah itu. Ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW azas “unus testis nullus testis” satu saksi bukan saksi Kekuatan pembuktian kesaksian sbg alat bukti : bebas/tidak memaksa, hakim tdk wajib percaya Pedoman penilaian : Ps. 172 HIR : kecocokan antara saksi satu dengan saksi yg lain.
PERSANGKAAN
Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn Persangkaan Dasar Hukum : Ps. 164, 173 HIR; Ps. 284, 310 Rbg; Ps. 1866, 1915 - 1922 KUHPerdata. Pasal 1915 KUHPerdata Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Pada hakekatnya yang dimaksud persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Ada dua persangkaan, yaitu : persangkaan yang berdasarkan undang-undang (Pasal 1916 KUHPerdata ) , ada 2 : Praesumptiones Yuris Tantum = persangkaan UU yg dpt diajukan bukti lawan, contoh : Ps. 250, 633, 668, 662 KUHPerdata Praesumptiones Yuris Tantum = persangkaan UU yg tdk bs diajukan bukti lawan, contoh : Ps. 184, 911 KUHPerdata Persangkaan UU, pembuktiannya terbalik, Kekuatan pembuktiannya bersifat memaksa, artinya apa yg disebutkan dlm UU harus dianggap benar sebelum dibuktikan sebaliknya. Menurut PITLO, persangkaan yg memungkinkan bukti lawan, pd hakekatnya bukanlah persangkaan. persangkaan hakim (Ps. 173 HIR; Ps. 310 Rbg) kekuatan pembuktian : bebas, terserah pd hakim contoh : apabila dlm perkara di pengadilan, slh 1 pihak yg membawa pembukuan diperintah o/ hakim u/ membawa pembukuan ke sidang, tp pd saat sidang tdk dibawa, mk hakim bs melakukan persangkaan bahwa ada yg tdk beres dgn pembukuan tsb. Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
PENGAKUAN
Pengakuan (Bekentenis Confession) Dasar hukum : HIR (Ps. 174, 175, 176), Rbg (Ps. 311, 312, 313), BW (Ps. 1923 – 1928). Pengakuan mrpk keterangan yg membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yg diajukan o/ lawan. Ps. 1923 BW = pengakuan ada 2 hal : pengakuan yg diberikan di muka hakim di persidangan (Ps. 174 HIR, 311 Rbg, 1925 & 1926 BW) Bs lisan /tertulis, apabila tertulis tdk bs disamakan dgn alat bukti surat Kekuatan pembuktian : sempurna & mengikat pengakuan yg diberikan di luar persidangan (Ps. 175 HIR, 312 Rbg, 1927 & 1928 BW). Bs lisan/tertulis, apabila lisan bukan mrpk alat bukti & harus dibuktikan, misal dgn saksi, apabila tertulis mk termasuk alat bukti surat Kekuatan pembuktian : bebas Ilmu pengetahuan membagi pengakuan mjd 3 : Pengakuan murni (aveu pur et-simple), ialah pengakuan yg sifatnya sederhana & sesuai sepenuhnya dgn tuntutan pihak lawan. Pengakuan dgn kualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie), ialah pengakuan yg disertai dgn sangkalan thd sebagian dr tuntutan. Pengakuan dgn klausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complexe), ialah suatu pengakuan yg disertai dgn keterangan tambahan yg bersifat membebaskan. Pengakuan dgn kualifikasi maupun dgn klausula harus diterima dgn bulat & tdk boleh dipisah-pisahkan dr keterangan tambahannya onsplitsbare aveu. Ps. 176 HIR, Ps. 313 Rbg, Ps. 1924 BW pengakuan tdk boleh dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu). Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
SUMPAH
Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn Sumpah Dasar hukum : HIR (Ps. 155-158, 177), Rbg (Ps.182-185, 314), BW (Ps. 1929 -1945) HIR mengenal 3 macam sumpah sebagai alat bukti : Sumpah penambah/pelengkap (suppletoir) Sumpah penaksiran (aestimatoir, schattingseed) Sumpah pemutus (decisoir) Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
Lanjutan … Sumpah : Sumpah penambah/pelengkap (suppletoir) Dasar hukum : Ps. 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW Sumpah penambah/pelengkap (suppletoir) adalah sumpah yg diperintahkan o/ hakim krn jabatannya kpd salah 1 pihak u/ melengkapi pembuktian peristiwa yg menjadi sengketa sbg dasar putusannya Syarat : harus ada pembuktian permulaan yg lengkap terlebih dahulu Kekuatan pembuktian : bersifat sempurna & masih memungkinkan pembuktian lawan Tujuan : u/ menyelesaikan perkara, sehingga dgn telah dilakukannya sumpah, maka pemeriksaan perkara dianggap selesai & hakim tinggal menjatuhkan putusannya Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
Lanjutan … Sumpah : Sumpah penaksiran (aestimatoir, schattingseed) Dasar hukum : Ps. 155 HIR, Ps. 182 Rbg, Ps. 1940 BW Sumpah penaksiran (aestimatoir, schattingseed) adalah sumpah yg diperintahkan o/ hakim karena jabatannya kpd penggugat u/ menentukan jumlah uang ganti kerugian, demikian apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya a/ ganti kerugian itu serta jumlahnya masih belum pasti & tdk ada cara lain u/ menentukan jumlah ganti kerugian tsb kecuali dgn taksiran Kekuatan pembuktian : bersifat sempurna & masih memungkinkan pembuktian lawan Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
Lanjutan … Sumpah : Sumpah pemutus (decisoir) Dasar hukum : Ps. 156 HIR, Ps. 183 Rbg, Ps. 1930 BW Sumpah pemutus (decisoir) adalah sumpah yg dibebankan atas permintaan salah 1 pihak kpd lawannya u/ memutuskan persoalan, menentukan siapa yg harus dikalahkan & siapa yg harus dimenangkan Tidak memerlukan pembuktian permulaan terlebih dahulu, sehingga dapat dilakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan Tujuan : u/ menyelesaikan perkara, sehingga dgn telah dilakukannya sumpah, maka pemeriksaan perkara dianggap selesai & hakim tinggal menjatuhkan putusannya Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
PEMERIKSAAN SETEMPAT (DESCENTE)
Pemeriksaan setempat (descente) Pemeriksaan setempat (descente) adalah pemeriksaan mengenai perkara o/ hakim karena jabatannya yg dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yg memberi kepastian ttg peristiwa yg menjadi sengketa. Yang diperiksa adalah barang tetap, karena tidak bisa dibawa/diajukan di persidangan yg berlangsung di gedung pengadilan, misal : pemeriksaan letak gedung, batas tanah Dasar hukum : Ps. 153 HIR Kekuatan pembuktian : bebas, diserahkan kpd pertimbangan hakim. Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
KETERANGAN AHLI (EXPERTISE)
Keterangan Ahli (Expertise) Keterangan ahli adalah keterangan pihak ke 3 yg obyektif dan bertujuan u/ membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Dasar hukum : Ps. 154 HIR (Ps. 181 Rbg, 215 Rv) Ps. 154 HIR tdk menegaskan apa & siapa ahli itu, inisiatif mendengarkan ahli, dpt berasal dr pr pihak, dpt pula dr hakim. Ahli diangkat o/ hakim selama pemeriksaan berlangsung. Ahli wajib disumpah u/ menjamin obyektivitas keterangannya. Ahli dapat menunjuk ahli lain sbg gantinya atau hakim dapat mengangkat seorang ahli secara ex officio Ps. 222 Rv Seorang ahli yg telah disumpah u/ memberikan pendapatnya kmd tdk memenuhi kewajibannya dapat dihukum u/ mengganti kerugian Ps. 225 Rv Antara saksi dan ahli tidak boleh dr 1 orang, krn fungsinya beda. Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn
Lanjutan … Keterangan Ahli (Expertise) Perbedaan antara saksi dengan ahli : S A K S I A H L I Menjelaskan peristiwa yg dipersengketakan Membantu hakim menilai suatu peristiwa Kedudukannya tidak dapat diganti dgn saksi lain Kedudukannya dapat diganti dgn ahli lain Satu saksi bukan saksi Satu ahli cukup u/ didengar mengenai satu peristiwa Tidak diperlukan mempunyai keahlian Mempunyai keahlian ttt yg berhubungan dgn peristiwa yg disengketakan Saksi memberi keterangan yg dialaminya sendiri sebelum terjadi proses Ahli memberi pendapat/kesimpulan ttg peristiwa yg disengketakan selama terjadinya proses Saksi harus memberikan keterangan secara lisan, keterangan saksi yg tertulis mrpk alat bukti yg tertulis Keterangan ahli yg tertulis tidak termasuk dalam alat bukti tertulis Hakim terikat u/ mendengarkan keterangan saksi Hakim bebas u/ mendengar atau tidak Disajikan oleh Amelia Sri Kusuma Dewi, S.H., M.Kn