PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN PERTEMUAN - 08
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Berdasarkan hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian dibagi dalam tiga macam (Pasal 1234 KUHPerdata), yaitu : Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu barang. Contoh : Jual beli, tukar menukar, hibah, sewa menyewa, pinjam pakai, dsb.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu. Contoh : Perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat garasi, dsb. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Contoh : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan milik orang lain, dsb. Adapun hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan "prestasi".
Persoalannya : apakah jika si berhutang atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu? Artinya : apakah si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian?
Jika hal tersebut dimungkinkan, maka dikatakan bahwa perjanjian tadi dapat dieksekusikan secara riil. Meskipun selalu ada kemungkinan untuk mendapat suatu ganti rugi, tetapi apabila seseorang mendapatkan apa yang dijanjikan, maka itu adalah yang paling memuaskan. Suatu ganti rugi seolah-olah hanyalah suatu “pengarem- arem” saja. Maka, apa yang dijanjikan itu dinamakan "prestasi primair", sedangkan ganti rugi dinamakan “prestasi subsidair”. Barang yang subsidair adalah barang yang menjadi ganti rugi suatu barang lain yang lebih berharga.
Dalam hal ini KUHPerdata hanya memberikan petunjuk untuk menjawab persoalan tersebut. Apakah perjanjian tersebut dapat dilaksanakan secara riil? Pasal 1240 tentang perjanjian tidak untuk berbuat sesuatu; dan pasal 1241 KUHPerdata tentang perjanjian untuk berbuat sesuatu.
Pasal 1240 KUHPerdata Kreditur berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang (debitur), dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga, jika ada alasan untuk itu. (perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu)
Apabila perjanjian dilanggar, dapat secara mudah hasil dari perbuatan yang melanggar perjanjian itu dihapuskan atau ditiadakan. Misal : Tembok yang didirikan secara melanggar perjanjian, dapat dirobohkan. Perusahaan yang dibuka atau didirikan melanggar perjanjian, dapat ditutup.
Pihak yang berkepentingan (kreditur) tentunya juga dapat meminta kepada Pengadilan, supaya ditetapkan sejumlah "uang paksa" untuk mendorong si debitur supaya ia meniadakan lagi apa yang sudah diperbuat itu. Dan juga ia dapat meminta supaya orang yang melanggar perjanjian itu dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti-rugi, tetapi sudah barang tentu tiada sesuatu yang lebih memuaskan baginya dari pada penghukuman si pelanggar perjanjian itu untuk meniadakan segala apa yang telah diperbuat itu.
Pasal 1241 KUHPerdata Apabila perjanjian tidak dilaksanakan (debitur tidak menepati janjinya), maka kreditur boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah yang mengusahakan pelaksanaannya atas biaya debitur. (perjanjian untuk berbuat sesuatu) Tidak mudah dilaksanakan secara riil jika sifatnya sangat pribadi.
Misalnya : Membuat sebuah garasi, yang dengan mudah dapat dilakukan oleh orang lain. Kalau yang harus dibuat itu sebuah lukisan, sudah barang tentu perbuatan itu tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain pelukis yang menjanjikan membuat lukisan itu. Karena itu perjanjian untuk melakukan suatu perbuatan yang bersifat sangat pribadi, tidak dapat dilaksanakan secara riil, apabila pihak yang menyanggupi melakukan perbuatan tersebut tidak menetapi janjinya.
Jika KUHPerdata memberikan petunjuk bagi perjanjian untuk berbuat sesuatu dan perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, maka perjanjian untuk memberikan/menyerahkan sesuatu tidak terdapat petunjuk dalam KUHPerdata. Barang yang sudah tertentu (barang yang sudah disetujui atau dipilih), menurut para ahli hukum dan yurisprudensi, dapat dilaksanakan secara riil. Misal : jual beli suatu barang bergerak yang tertentu.
Barang tidak bergerak, menurut yurisprudensi pada waktu sekarang, eksekusi secara riil tidak mungkin dilakukan, dengan alasan : Untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak diperlukan suatu akte transport (akta peralihan: jual beli, hibah, dll) yang merupakan suatu akte bilateral, yang haras diselenggarakan oleh dua pihak dan karena itu tidak mungkin diganti dengan suatu vonis atau putusan hakim.
Ada alasan a contrario, yaitu dalam pasal 1171 ayat (3) KUHPerdata, ditetapkan (mengenai hipotik), bahwa barangsiapa yang berdasarkan undang-undang atau perjanjian diwajibkan memberikan hipotik, dapat dipaksa untuk itu dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan yang sama, seolah-olah ia telah memberikan persetujuannya untuk hipotik itu, dan yang dengan terang akan menunjuk benda-benda atas mana akan dilakukan pembukuan. Dikatakan, bahwa oleh karena untuk hipotik ada peraturan yang memungkinkan eksekusi riil terhadap seseorang yang wajib memberikan hipotik tetapi bercidera-janji, sedangkan dalam hal seseorang yang wajib menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak tidak ada aturannya, bahwa untuk yang terakhir ini tiada suatu kemungkinan untuk melaksanakan suatu eksekusi riil.
PENAFSIRAN PERJANJIAN Penafsiran Perjanjian adalah apa-apa yang dimaksud oleh kedua belah pihak itu tidak mencapai kejelasan. Di dalam hukum perdata, penafsiran perjanjian sifatnya terbuka. Menafsirkan suatu persetujuan, berarti menentukan isi persetujuan dan mengakui akibat-akibat dari persetujuan. Dasar hukum : Pasal 1342 s/d 1351 KUHPerdata
Langkah-langkah penafsiran perjanjian : Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. (Pasal 1342 KUHPer) “Jelas” artinya kata-kata yang sedikit sekali memberikan kemungkinan untuk terjadinya penafsiran yang berbeda. Jika kata-kata suatu persetujuan tidak jelas, kita harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat persetujuan. Menafsirkan maksud para pihak harus memperhatikan itikad baik.
Ketentuan Penafsiran Perjanjian Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberi berbagai penafsiran, maka perjanjian harus diberikan penafsiran yang paling sesuai dengan maksud para pihak, sekalipun harus menyimpang dari kata-kata perjanjian (Pasal 1343 KUH Perdata). Contoh: Ada suatu Jual beli dengan angsuran, tanggal 25 Juli. Penjual memohon supaya membayar uang muka, maksud penjual 1 agustus sudah mulai angsuran pertama, namun pembeli menafsirkan lain.
Jika suatu janji mengandung macam-macam pengertian, maka pengertian yang dipilih adalah yang paling memungkinkan janji itu dilaksanakan. (Pasal 1344 KUH Perdata). Contoh : kerugian harus dilaporkan sesegera mungkin (1x24 jam). Kalau ternyata keadaan tersebut baru diketahui 2 minggu setelah kejadian, maka arti “segera” adalah segera setelah diketahui, tidak mungkin kita dipaksa langsung tahu saat kejadian.
Jika kata-kata mengandung 2 macam pengertian, harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat persetujuan. (Pasal 1345 KUH Perdata). Contoh : transaksi harus dibayar dengan visa. Yang dimaksud dengan visa adalah jenis credit card, dan bukan visa dalam arti surat izin ke luar negeri
Jika ada yang meragukan, harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana persetujuan telah dibuat. (Pasal 1346 KUH Perdata). Contoh : untuk daerah di mana jual beli tidak biasa dilakukan dengan credit card, harus ditafsirkan bahwa perjualan baru jadi, misalnya jika orangnya sudah menerima uang muka (jual beli secara fisik).
Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. (Pasal 1347 KUH Perdata). Contoh : dalam polis tidak dicantumkan tentang utmost good faith (itikad baik), namun prinsip ini menjadi rules yang selamanya harus ada dalam kontrak asuransi.
Semua janji yang dibuat dalam suatu persetujuan, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka persetujuan seluruhnya. (Pasal 1348 KUH Perdata). Contoh : kalau di pasal 1 telah diatur mengenai objek pertanggungan adalah building, machinery dan stock, maka bila pada pasal lain disebutkan objek pertanggungan, maka harus diartikan seperti di pasal 1.
Jika ada keragu-raguan, maka suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya suatu hal dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu. (Pasal 1349 KUH Perdata). Contoh : tertanggung ingin menghapuskan suatu exclusion (pengecualian), maka bila terjadi keraguan, harus diartikan atas kerugian tertanggung, seakan-akan tertanggung yang menyusun draft perjanjian itu.
Meskipun kata-kata dalam persetujuan mempunyai arti yang luas, namun persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang nyata dimaksud oleh para pihak sewaktu membuat persetujuan. Jika seseorang dalam persetujuan menyatakan sesuatu hal untuk menjelaskan perikatan, ia tidak dapat dianggap hendak mengurangi atau membatasi kekuatan persetujuan menurut hukum dalam hal-hal yang tidak dinyatakan.