Mengapa Bisa Damai (3) Di perundingan Malino sendiri, taktik berjenjang JK masih dipakai. Masing-masing kelompok memaparkan daftar kemarahan dan keinginannya di depan JK, tanpa dihadiri oleh pihak lawan. “Ini saya lakukan agar mereka sudah mengeluarkan semua daftar kemarahannya sebelum bertemu lawan mereka. Mereka saya biarkan apa saja, selama itu hanya bertemu saya, bukan pada saat bertemu lawan mereka,” papar JK tentang taktik pertemuan yang didesainnya itu. JK amat benar. Segalanya telah tumpah pada saat pertemuan awal secara terpisah antara JK dan masing-masing pihak. Maka, pada saat mereka sudah saling berhadapan, kemarahan tinggal sedikit yang tersisa. Malah, JK dengan mudah mengatakan kepada mereka, “Segala aspirasi dan kemauan Anda tentang kelompok lain, saya sudah terima dan amankan. Saya akan langsung bicarakan dan menanganinya. Tidak perlu lagi Anda semua yang mengemukakannya,” begitu JK berkata dan meyakinkan. KEENAM, sejalan dengan taktik pertemuan berjenjang ini, JK juga amat akurat dalam menemukan format pertemuan, yakni langsung antara pihak-pihak yang bertikai. Tidak ada kata yang ditafsirkan dan tak ada rasa yang diraba. Semuanya dilaksanakan dengan cara saling bertatap, berkomunikasi langsung. Tidak ada perantara yang menyampaikan keinginan yang bisa dipoles demi kepentingan situasional atau dipermak demi alasan kesantunan. Semuanya transparan dan aspirasi serta keinginan langsung ditujukan kepada pihak yang diinginkan untuk menerima pesan tersebut. Risiko dengan pendekatan seperti ini, memang selalu ada. Pertemuan yang dimaksudkan untuk mencari jalan dan titik damai, bisa saja menjadi ajang konflik baru yang terbuka. Pasalnya, bisa jadi masing-masing pihak lepas kendali dan emosi meluap sana melimpah sini dan tabrakan satu dengan lainnya. Kekhawatiran ini jauh dari kejadian karena JK sebagai mediator sangat berwibawa di antara dua pihak yang bertikai. Dalam banyak hal, kedua pihak, baik konflik Poso maupun konflik Ambon, menyerahkan segalanya kepada JK. “Apa kata Pak Jusuf, demi perdamaian, kami ikut saja karena kami percaya Pak Jusuf tulus menyelesaikan ini untuk kami semua,” ungkap seorang juru bicara kelompok Islam Ambon. “Ya, dengan kami hadir di sini Pak Menteri, berarti kami percayakan nasib kami semua pada Bapak. Kami ikut segala arahan dan keinginan Bapak karena kami tahu dari dulu Bapak ikhlas untuk menyelesaikan soal ini,” balas pimpinan kelompok Nasrani. Pertemuan langsung ini tidak menimbulkan soal baru, karena, ya itu tadi, taktik pertemuan berjenjang telah dilaksanakan sebelum pertemuan puncak di Malino. Jadi memang, ini adalah sebuah desain matang yang dipersiapkan JK. Kalkulasinya sangat tajam dalam mengatur siasat bentuk pertemuan. Malah, pertemuan berjenjang tersebut sudah ia petakan dan patok, harus lebih dari tiga kali untuk mencapai titik temu. Suatu saat, ia menunjukkan kepada saya coretan tangannya mengenai jadwal pertemuan, mulai dari tahap perintisan hingga pertemuan puncak. Kalkulasi JK sangat detail dengan penjelasan yang komprehensif. Misalnya saja, ia sudah mencanangkan bahwa pertemuan awal itu adalah pertemuan caci maki. Itu hak yang wajar sebab semuanya menyimpan bara dendam yang hendak dilampiaskan. Pertemuan kedua, barulah pertemuan yang mau mendengar keinginan pihak lain. Namun, di sini, keinginan menerima aspirasi kelompok lain belum bisa diwujudkan sebab sisa-sisa kemarahan masih ada. Pada pertemuan ketigalah akan terjadi pintu keterbukaan menerima dan menawarkan sesuatu kepada pihak lain. Begitulah seterusnya. Pola ini tetap dipakai dan menjadi panduan wajib saya dalam menyelesaikan Aceh. Semua langkah dan jenjang telah dipatok dan kami tiba pada penandatanganan perjanjian damai Aceh, persis seperti jadwal dan tahapan yang telah dipatok oleh JK. Kami berunding sebanyak lima kali putaran dan menandatangani perjanjian pada Agustus 2005. Semuanya seolah sudah menjadi takdir yang telah dicetak biru oleh JK. Determinasi JK dalam hal tahapan dan jadwal ini, barulah saya bisa pahami belakangan. “Saya susun itu semua bukan tanpa alasan kita harus berunding dari tahap rintisan hingga penandatanganan, tidak boleh ada masa jeda yang terlampau lama, sebab emosi baru bisa muncul dengan kejadian yang muncul di antara itu, dan kita tidak pernah siapkan jawabannya. Maknanya adalah, banyak variabel baru yang dapat muncul di tengah, dan bisa membuyarkan komitmen yang telah dibuat sebelumnya. Karena itu, sekali kita memasuki tahapan pembicaraan, kita tidak boleh meninjau lagi, apalagi membatalkan pertemuan berikutnya. Tempalah besi mumpung masih panas,” begitu kata dan tamsil yang selalu JK berikan kepada saya. KETUJUH, Poso damai, Ambon tenang, itu terjadi karena kemampuan JK dalam bergerak cepat dan memobilisasi pihak-pihak yang terlibat pertikaian. JK dengan mudah menemukan siapa sebenarnya tokoh kunci di masing-masing pihak, mulai level yang terendah hingga yang tertinggi dalam garis komando. Juga, pemimpin informal dari pihak yang bertikai, dengan mudah ditemukan oleh JK. Karena itu, JK dengan mudah bergerak kian kemari, menemukan alur penyelesaian. Kemudahan JK ini tidak terlepas dari saham masa lalu yang secara tidak sengaja ditanam oleh JK. Selama ini, kediaman JK di Makassar adalah tempat persinggahan siapa saja dari mana pun ia berasal. Sebagai aktivis HMI dan ‘66, JK banyak kawan. Nah, banyak di antara tokoh kunci pertikaian Poso dan Ambon, baik dari komunitas Islam maupun komunitas Nasrani, pernah bersentuhan dengan JK di masa lalu. Dalam buku rapor JK, sejak dari dulu, rumahnya memang adalah tempat mempertemukan berbagai pertikaian, mulai pertikaian mahasiswa, organisasi kepemudaan, hingga organisasi aliran. Thamrin Ely, misalnya, aktivis PAN dan salah seorang tokoh kunci komunitas Islam Ambon, pernah hidup sepenanggungan dengan JK di asrama KAMI di Makassar pada saat mereka jadi aktivis ‘66. Thamrin Ely hingga sekarang tetap menuakan JK sebab JK adalah ketua KAMI di Sulsel saat Thamrin jadi aktivis dan mahasiswa di Makassar. Thamrin tetap menyapa JK dengan sapaan “Daeng Ucup” (Bang Jusuf). Malah, Kiai Wahab, tokoh kharismatis komunitas Islam Ambon, kepada saya mengakui, ia sering kali tinggal di rumah orang tua JK di Makassar di masa lalu. Rumah orang tua JK di Makassar memang dikenal juga sebagai tempat penampungan para aktivis mahasiswa. Bahkan, tiap selesai salat Jumat, Ibunda JK, Haji Athirah, selalu menjadikan rumahnya sebagai tempat makan siang bagi siapa saja. Di situlah Kiai Wahab mulai berinteraksi dengan keluarga JK. “Saya tidak ragukan keikhlasan JK dalam menyelesaikan urusan Ambon sebab orang tuanya saja sangat peduli dengan hal-hal seperti ini. Saya selalu makan di rumah JK waktu saya dulu di Makassar. Setelah tinggal di Ambon pun, setiap saya ke Makassar, saya masih selalu ke rumah orang tua JK,” kata Kiai Wahab kepada saya di Malino, saat pertemuan dilakukan. Dari komunitas Nasrani, JK juga memiliki banyak teman. Pendeta Lambe misalnya, sangat akrab dengan JK, sejak dari dulu. Rumah JK juga adalah tempat bagi kaum Nasrani, baik yang datang dari Jakarta, maupun yang tinggal di wilayah timur. Investasi inilah yang membuat JK lincah bergerak kian kemari. Secara kebetulan lagi, sejumlah tokoh kunci dari komunitas Islam di Poso dan Ambon, berasal dari Sulawesi Selatan, yang secara otomatis mengenal baik keluarga JK. Sementara sejumlah tokoh kunci dari komunitas Nasrani di Poso dan Ambon, ada juga yang berasal dari Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. Unsur ini kian memudahkan JK untuk melakukan manuver karena mereka itu menganggap kehadiran JK dalam menengahi konflik mereka, adalah kehadiran tokoh badan sendiri. Hasilnya, JK dengan mudah memperoleh mandat rohani dari masing-masing pihak untuk menengahi masalah mereka sebab mereka sudah menaruh trust pada JK sejak dari awal. Selain faktor-faktor tersebut, di kedua wilayah konflik Poso dan Ambon, adalah wilayah jelajah bisnis JK sejak dari dulu. JK memiliki kantor perwakilan di kedua wilayah itu. Artinya, JK sudah memiliki kepercayaan yang bisa dimintai informasi tentang perkembangan masing-masing daerah dan siapa yang harus dihubungi. JK memiliki kontribusi dan donasi sosial di kedua wilayah itu. Dan itu disalurkan kepada kedua komunitas, dari dulu hingga kini. Sekali lagi, ini adalah soal inventasi, yang hasilnya tampak sekali ketika JK tampil mediasi konflik di kedua wilayah tersebut. Lepas dari hal-hal di atas, banyak sekali orang Bugis-Makassar-Mandar dan Toraja tersebar di kedua wilayah konflik tersebut. Orang-orang Bugis-Makassar-Toraja dan Mandar, terhimpun dalam organisasi KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan), sebuah organisasi kekeluargaan dan kekerabatan yang berstruktur rapi dengan tali komando yang jelas, disiplin, dan solid. Organisasi ini memiliki pengurus pusat di Jakarta.