Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M. REVIEW PASAL 9, 10 DAN 11 UU NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M. Disampaikan pada Rapat Persiapan Penyusunan tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional di Hotel Mercure Surabaya, 28-30 Juli 2016
POHON ILMU HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL Perjanjian internasional dibuat oleh negara-negara dan berlaku bagi negara-negara yang mengikatkan diri pada perjanjian internasional tersebut Pengikatan diri negara pada perjanjian internasional dapat dilakukan dalam beberapa cara: Tandatangan Ratifikasi Aksesi Tukar menukar dokumen Makna ratifikasi/aksesi dalam Konvensi Wina 1969 tindakan internasional dari negara untuk terikat perjanjian internasional di level internasional Tujuan ratifikasi/aksesi membuat perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara berlaku (entry into force) di level internasional Konsekuensi dari negara-negara pihak melaksanakan kewajiban internasional yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut
INTEGRASI PERJANJIAN INTERNASONAL KE DALAM SISTEM HUKUM NEGARA Apakah semua perjanjian internasional yang akan diratifikasi oleh negara-negara selalu dibawa pulang terlebih dahulu seperti yang dipraktikkan oleh Indonesia dan Amerika Serikat? TIDAK!!! Sistem pemisahan kekuasaan secara murni, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Kanada, Australia, Perancis dan Belanda Pemisahan kekuasaan secara tegas antara Lembaga Eksekutif dengan Lembaga Legislatif Ratifikasi perjanjian internasional tidak memerlukan persetujuan dari Lembaga Legislatif terlebih dahulu, dan ini berbeda dengan praktik yang ada di Indonesia dan Amerika Serikat
KANADA DAN AUSTRALIA (DUALISME) Pemisahan kekuasaan secara tegas antara Eksekutif dan Legislatif, di mana Eksekutif dapat membuat, menandatangani dan meratifikasi perjanjian internasional secara langsung tanpa persetujuan dari Legislatif Apa konsekuensi dari ratifikasi? Ratifikasi sebatas mengikat negara Ratifikasi bertujuan untuk membuat perjanjian internasional berlaku (entry into force) Ratifikasi tidak mempengaruhi kondisi hukum di level nasional
PERANCIS DAN BELANDA (MONISME) Kedua negara ini sama dengan Kanada dan Australia, yaitu pemisahan kekuasaan secara murni, dengan memberikan batas yang tegas antara Eksekutif dan Legislatif Konsekuensi ratifikasi adalah sama dengan yang dipraktikkan di Kanada dan Australia Ratifikasi sama sekali tidak memiliki konsekuensi di level nasional (hanya mengikat negara sebagai pihak yang berjanji)
IMPLEMENTASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI LEVEL NASIONAL Kapan perjanjian internasional yang telah diratifikasi dapat diterapkan di level nasional? Di sinilah tugas utama dari Lembaga Legislatif, yaitu memfilter (menyetujui atau menolak atau menyetujui dengan syarat) perjanjian internasional yang telah dibuat dan diratifikasi oleh Lembaga Eksekutif Kanada dan Australia Jika Lembaga Legislatif menyetujui, maka dilanjutkan dengan membuat UU transformasi agar dapat berlaku di pengadilan. Sebaliknya, jika menolak maka Lembaga Legislatif tidak membuat UU transformasi, sehingga perjanjian internasional tersebut hanya berlaku bagi negara. Perancis dan Belanda perjanjian yang telah diratifikasi oleh Lembaga Eksekutif dan disetujui oleh Lembaga Legislatif akan dimasukkan di lembaran negara perjanjian internasional (tractatenblad), sedangkan yang tidak disetujui maka tidak dimasukkan ke dalam lembaran negara tersebut, sehingga masyarakat dan pengadilan tidak dapat merujuk secara langsung
INTEGRASI DAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT Presiden membuat dan menandatangani perjanjian internasional Presiden membawa pulang untuk mendapat persetujuan dari DPR (amanat Pasal 11 UUDNRI 1945) Bentuk persetujuan DPR berupa UU pengesahan PI Oleh MK telah diputus bahwa UU pengesahan ini merupakan bentuk persetujuan formal dari DPR kepada Presiden yang ingin meratifikasi PI, bukan untuk membuat PI berlaku di Indonesia (baca: pengadilan) Presiden membuat dan menandatangani perjanjian internasional Presiden membawa pulang untuk mendapat persetujuan dari Senat Senat dapat menyetujui, menolak atau menyetujui dengan syarat Persetujuan Senat memiliki konsekuensi di level nasional, yaitu berlakuny PI di pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh Senat
IMPLEMENTASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA MK telah memutus bahwa UU pengesahan PI hanyalah persetujuan formal DPR kepada Presiden, bukan membuat PI berlaku di Indonesia (baca: pengadilan) Pertanyaan muncul, kapan PI berlaku di pengadilan nasional Indonesia? PI yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tidak dapat berlaku secara langsung karena PI membutuhkan UU transformasi untuk dapat dijadikan dasar hukum bagi masyarakat dan pengadilan di persidangan Kewenangan untuk membuat UU transformasi ini ada pada DPR melalui Pasal 20 UUDNRI 1945
UU NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Siapa yang terikat oleh UU Indonesia? setiap orang yang berada di wilayah teritorial dan ekstrateritorial Indonesia, kecuali ditetapkan lain oleh UU (Pasal 9 KUHP) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, untuk siapa?: Para pemangku kepentingan (Lembaga Eksekutif dan Legislatif) dalam membuat perjanjian internasional di Indonesia dengan memperhatikan Pasal 11 dan 20 UUDNRI 1945 Masyarakat akademik untuk belajar bagaimana perjanjian internasional berintegrasi ke dalam sistem hukum di Indonesia dan selanjutnya diimplementasikan di pengadilan
BAB III: PENGESAHAN PI Saya berharap bahwa istilah “ratifikasi” tidak diubah dengan “pengesahan” (HTN) karena ini menambah kekisruhan dalam pemahaman bagi mahasiswa hukum di Indonesia Pasal 9 Ayat 1: “pengesahan PI oleh Pemri dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh PI tersebut” Kalimat ini membingungkan karena keinginan pembuat UU ini tampaknya ingin mengatakan bahwa “pengikatan diri pada PI oleh Pemri dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh PI tersebut”. Kebanyakan PI mensyaratkan “subject to ratification” sehingga makna tandatangan adalah setuju dengan isi perjanjian internasional, istilahnya “signature ad referendum”
LANJUTAN... Pasal 9 Ayat 2: “Pengesahan PI sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan UU atau keppres.” Jika dikaitkan dengan ayat (1) kalimat ini tidak “nyambung” Pasal 9 Ayat 1 berbicara tentang “pengikatan diri negara terhadap PI”, maka Pasal 9 Ayat 2 seharusnya mengatur tentang “persetujuan DPR kepada Presiden yang kemudian memunculkan UU persetujuan PI” Pasal 9 Ayat 2 seharusnya berbunyi: “pengikatan diri Pemri terhadap PI harus mendapat persetujuan dari DPR” Pasal 9 Ayat 3: “Bentuk persetujuan DPR kepada Presiden untuk mengikatkan diri pada PI adalah UU persetujuan PI” Jika demikian, maka Pasal 10 dan 11 tidak perlu ada
IUS CONSTITUENDUM (BAB III: PENGIKATAN DIRI PADA PI) Pasal 9 Ayat 1: “Pengikatan diri Pemri pada PI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh PI” Pasal 9 Ayat 2: “Pengikatan diri Pemri pada PI harus mendapatkan persetujuan dari DPR” Pasal 9 Ayat 3: “Bentuk persetujuan DPR atas keterikatan Pemri pada PI adalah UU persetujuan PI”
MENGAPA PASAL 10 DAN 11 ADA? Ini karena di benak pemangku kepentingan pada saat itu memberikan pembedaan antara perjanjian internasional (treaty) dan persetujuan internasional (agreement), dan mereka menganggap bahwa treaty lebih penting daripada agreement Pertanyaan: mana yang lebih penting “treaty” (perjanjian internasional) atau “agreement” (persetujuan internasional)? Semua akan mengatakan bahwa “treaty” yang lebih penting sehingga “agreement” tidak perlu mendapat persetujuan dari DPR Contoh: Agreement between the Govt. of the RI and the Govt. of the Czech Rep. on cooperation activities in the field of defence, disahkan dengan menggunakan Perpres Nomor 8 Tahun 2013 Agreement between the Govt. of the RI and the Govt. of Russian Federation on Military Technical Cooperation, disahkan dengan Perpres Nomor 46 Taun 2012 Pasal 10 huruf a berbunyi: “pengesahan PI dilakukan dengan UU apabila berkenaan dengan: masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara” Mengapa menggunakan perpres, tidak UU???
LANJUTAN... AS menyebut dengan “executive agreements”, meskipun sifatnya temporer tetapi memiliki konsekuensi hukum secara langsung daripada treaty Hasil penelitian saya membahas tentang treaty dan executive agreements di AS: Mengapa treaty hanya memerlukan persetujuan Senat, sedangkan executive agreements harus mendapat persetujuan dari Kongres, yang terdiri dari Senat dan House? Tidak ada kewajiban untuk ratifikasi, pun jika diratifikasi masih dapat direservasi atau dideklarasi Singapura meratifikasi Konvensi Palermo 2000 tetapi mendeklarasikan Pasal 16 tentang Ekstradisi dengan menyatakan bahwa “Konvensi Palermo bukan sebagai dasar dalam pemberian ekstradisi, tetapi bilateral agreement.” Kesimpulan saya adalah agreement (persetujuan teknis menurut UU Nomor 24 Tahun 2000) sebenarnya memiliki kedudukan yang lebih penting dari treaty.
LANJUTAN... Kritik untuk Pasal 11 Ayat 2: “Pemri menyampaikan salinan setiap keppres yang mengesahkan suatu PI kepada DPR untuk dievaluasi” Contoh: Jika DPR tidak menerima Perpres Nomor 8 Tahun 2013 tentang Agreement antara Pemri dan Rep. Czech atau Perpres Nomor 46 Tahun 2012 antara Pemri dan Pemerintah Rusia, dengan alasan melanggar Pasal 10 huruf a, apakah kemudian persetujuan itu bisa dibatalkan sepihak? Seharusnya sebelum agreement itu dibuat minta persetujuan dulu dari DPR, itulah yang disebut dengan checks and balances
KESIMPULAN Pasal 9 harus diubah total, baik judul bab maupun isinya Pasal 10 dan 11 tidak perlu ada, jika kita melaksanakan sistem checks and balances secara konsekuen Perpres tidak boleh menjadi dasar persetujuan negara untuk meratifikasi treaty atau agreement karena kewenangan tersebut mutlak menjadi milik Lembaga Legislatif Pemahaman penting dan tidak penting (HTN) harus dihilangkan dalam pengajaran hukum perjanjian internasional di Indonesia Pada kenyataannya, agreement jauh lebih penting daripada treaty dalam mengikat negara
TERIMAKASIH www.ubaya.academia.edu/WisnuDewanto