KBI 321 HUKUM EKONOMI SYARIAH ERNAWATI , SHI. MH. FAKULTAS HUKUM
KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu memahami dan menerangkan Perikatan Islam
Perikatan Islam
Hukum Perikatan Islam adalah bagian dari hukum Islam bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonominya
Ahmad Azhar Basyir, memberikan definisi akad sebagai berikut, akad adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syariah yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya
Dengan adanya ijab kabul yang didasarkan pada ketentuan syariah, maka suatu akad akan menimbulkan akibat hukum pada objek perikatan, yaitu terjadinya perpindahan kepemilikan atau pengalihan kemanfaatan dan seterusnya.
Asas-asas akad sebagai berikut : Asas ilahiyyah; Asas al-hurriyyah (asas kebebasan); Asas al-musawah (persamaan/kesetaraan Asas al-adalah (keadilan); Asas al-ridha (kerelaan); Asas ash-shidq (kejujuran); Asas al-kitabah (tertulis);
Perbandingan Antara Perikatan Umum Dan Perikatan Syariah
1. Adanya Kecakapan dalam membuat kontrak Setiap orang dan badan hukum (legal entity) adalah subjek hukum, namun KUHPerdata membatasi subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam kontrak/perjanjian. Berikut adalah pihak-pihak yang tidak cakap secara hukum untuk membuat kontrak, sebagai berikut: Orang yang belum dewasa Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan Semua pihak yang menurut undang-undang yang berlaku tidak cakap atau dibatasi kecakapannya untuk membuat perjanjian
Dalam hukum Islam, kecakapan itu dibedakan menjadi dua, yaitu kecakapan menerima hak dan kewajiban (ahliyyah al-wujub) dan kecakapan berbuat (ahliyyah al-ada’). Dalam konteks pembicaraan ini yang dimaksud dengan kecakapan adalah kecakapan berbuat(ahliyyah al-ada’). Menurut Syamsul Anwar ahliyyah al-ada’ adalah kepatutan seseorang untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut syara’, baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Dasar dari kepatutan itu ialah “berakal” dan karenanya kecakapan ini ada yang tidak sempurna dan ada yang sempurna. Dengan demikian, kandungan pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata Indonesia selaras dengan prinsip hukum Islam.
2. Adanya kata sepakat bagi kedua belah pihak Baik dalam KUH Perdata maupun Hukum Islam, kesepakatan merupakan faktor esensial yang menjiwai terbentuknya kontrak/perjanjian, kesepakatan biasanya diekspresikan dengan kata “setuju” atau ”ijab-kabul” (dalam hukum islam), disertai pembubuhan tanda tangan sebagai bukti persetujuan atas segala hal yang tercantum dalam kontrak/Perjanjian (KUHPdt). Dalam KUH Perdata dan Hukum Islam suatu kesepakatan dinyatakan tidak sah, apabila kesepakatan yang dicapai tersebut terjadi karena kekhilafan atau dibuat dengan suatu tindakan pemaksaan atau penipuan.
3. Adanya obyek hukum dalam melaksanakan sebuah kontrak Hukum Islam dan KUH Perdata mewajibkan setiap kontrak/perjanjian harus mengenai sesuatu hal sebagai objek hukum, misalnya tanah sebagai objek perjanjian jual beli. Dalam hukum Islam, obyek hukum dalam kontrak tidak dijelaskan secara rinci. Hanya saja obyek hukum dibahasakan dengan obyek akad dan secara teknis dilanjutkan dengan serah terima akad.
4. Adanya kausa yang halal Perjanjian menuntut adanya itikad baik dari para pihak dalam membuat kontrak/perjanjian, oleh karena itu kontrak/perjanjian yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak halal, misalnya karena paksaaan atau tipu muslihat tidak memenuhi syarat, baik dalam KUH Perdata maupun Hukum Islam.Pasal 1320 KUH Perdata Indonesia menyebut “sesuatu sebab yang halal” sebagai salah satu syarat sahnya perikatan. Sementara kausa perjanjian menurut hukum Islam ialah tujuan pokok yang dikehendaki oleh perjanjian untuk dilaksanakan, bukan isi yang dikehendaki oleh para pihak di balik perjanjiannya.
5. Konsep Kebebasan dalam berkontrak menurut KUH Perdata dan Hukum Islam Perspektif Hukum Perdata Dalam Undang-undang Dasar 1945 dan KUH Perdata Indonesia dan perundang-undangan lainnya tidak ada ketentuan yang secara tegas menentukan tentang berlakunya asas kebebasan berkontrak bagi perjanjian-perjanjian yang dibuat menurut hukum Indonesia. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUH Perdata.
Perspektif Hukum Islam Dalam hukum Islam setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukan klausul apa saja kedalam akad yang dibuatnya, sesuai dengan kepentingannya selama tidak berakibat tidak memakan harta sesama dengan jalan batil. Hanya saja kebebasan membuat akad dalam hukum Islam tidak mutlak, melainkan dibatasi. Pembatasan tersebut dikaitkan dengan ”larangan makan harta sesama dengan jalan batil”.
Terimakasih