PROSES LEGISLATIF INDONESIA Tatap Muka #4 KONSTITUSI DAN PEMILU Oleh: Ahmad Mustanir SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (STISIP) MUHAMMADIYAH RAPPANG 2016 Unggul Profesional Islami
Konstitusi Secara etimologi konstitusi berasal dari kata constituere (bahasa latin), yang berarti menetapkan atau menentukan. Hal ini karena pada zaman Yunani Kuno, raja adalah satu- satunya penguasa yang memerintah maka lahirlah istilah Legibus solutus est, salus publica supreme lex, yang artinya rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi negara sehingga dialah pembuat undang-undang
.............Konstitusi Pengertian konstitusi suatu negara antara lain sbb: Hasil produk sejarah dan proses perjuangan suatu bangsa Rumusan filsafat, cita-cita, kehendak dan visi serta misi suatu bangsa Cermin, jiwa, jalan pikiran, mentalitas, dan kebudayaan suatu bangsa
Pemilihan Umum dan Sistemnya Bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut Sistem Distrik) Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem Proporsional).
.........Pemilihan Umum dan Sistemnya Disamping itu ada beberapa varian seperti Block Vote (BV), Alternative Vote (AV), sistem Dua Putaran atau Two-Round System (TRS), yang ketiga ini lebih dekat ke sistem distrik. Ada juga varian Sistem Paralel, Limited Vote (LV), Single Non-Transferable Vote (SNTV), Mixed Member Proportional (MMP), dan Single Transverable Vote (STV), yang ini lebih dekat ke sistem proporsional.
KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN SISTEM DISTRIK DAN SISTEM PROPORSIONAL Partai-partai terdorong untuk berintegrasi dan bekerjasama karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama, sekurang-kurangnya menjelang pemilu, antara lain melalui stembus acoord. Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung; malahan sistem ini bisa mendorong kearah penyederhanaan partai secara alami tanpa paksaan.
Sistem Distrik KEUNTUNGAN: Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan distriknya. Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melalui distorsion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai pemenang sedikit banyak dapat mengendalikan parlemen.
Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan. Sistem Distrik KEUNTUNGAN: Lebih mudah suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. Hal ini mendukung stabilitas nasional. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
Sistem Distrik KELEMAHAN: Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan- partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golonan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil terhadap partai dan golongan yang dirugikan
Sistem Distrik KELEMAHAN: Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prsyarat bagi suksesnya sistem ini. Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, dari pada kepentingan nasional
Sistem Proporsional KEUNTUNGAN: Dianggap representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilihan umum Dianggap lebih demokratis dalam arti lebih egalitarian karena praktis tanpa ada distrosi, yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted. Akibatnya, semua golongan dalam masyarakat, termasuk yang kecil pun, memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen. Rasa keadilan masyarakat sedikit banyak terpenuhi
Sistem Proporsional KELEMAHAN: Sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau bekerjasama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tetapi sebaliknya, cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan. Sistem ini umumnya dianggap berakibat menambah jumlah partai. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai, anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi partai baru itu untuk memperoleh beberapa kursi dalam parlemen melalui pemilu. Jadi kurang menggalang kekompakan dalam tubuh partai. Memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui sistem daftar karena pimpinan partai menentukan daftar calon
Sistem Proporsional KELEMAHAN: Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan konstituennya. Pertama, karena wilayahnya lebih besar (bisa sebesar provinsi), sehingga sukar untuk dikenal orang banyak. Kedua, karena peran partai dalam meraih kemenangan lebih besar ketimbang kepribadian seseorang. Dengan demikian si wakil akan lebih terdorong untuk memerhatikan kepentingan partai serta masalah-masalah umum ketimbang kepentingan distrik serta warganya.
Sistem Proporsional KELEMAHAN: Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi suatu partai untuk meraih mayoritas (50% + 1) dalam parlemen, yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan. Partai yang terbesar terpaksa berkoalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas. Koalisi semacam ini jika diselenggarakan dalam sistem parlementer sering tidak lama umurnya, dan hal ini tidak membina stabilitas politik. Dalam sistem presidensial perubahan dalam komposisi di parlemen tidak terlalu mempengaruhi masa jabatan eksekutif. Di Amerika bisa saja Congress mengalami perubahan dalam komposisinya, sehingga misalnya badan itu dikuasai oleh Partai Demokrat, tetapi presiden serta kabinetnya dari Partai Republik tetap bertahan selama empat tahun
GABUNGAN SISTEM DISTRIK DAN SISTEM PROPORSIONAL Beberapa negara mencoba menggabungkan sistem ini. Singapura misalnya pada pemilu 1991 menentukan bahwa sejumlah distrik akan diwakili oleh 4 wakil (block vote) di antaranya harus ada yang mewakili golongan minoritas, agar mereka diberi peluang mewakili golongannya dalam parlemen. Contoh lain Jerman. Setengah dari parlemen dipilih dengan sistem distrik dan setengah lagi dengan sistem proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara. Pemilih memilih calon atas dasar sistem distrik (sebagai suara pertama) dan pemilih itu memilih partai atas dasar sistem proporsional (sebagai suara kedua). Dengan penggabungan ini diharapkan distorsi tidak terlalu besar efeknya.
............Gabungan Sistem Distrik Dan Sistem Proporsional Di Jerman dan dibeberapa negara dengan banyak partai ada usaha untuk mengurangi jumlah partai yang akan memperoleh kursi dalam parlemen melalui kebijakan electoral threshold. Konsep ini menentukan jumlah suara minimal yang diperlukan oleh suara partai untuk memperoleh kursi dalam parlemen, misalnya 5%.
............Gabungan Sistem Distrik Dan Sistem Proporsional Di Jerman electoral threshold dilaksanakan melalui kebijakan memberlakukan rumus lima- tiga. Berdasarkan rumusan ini sebuah partai memperoleh kursi dalam parlemen jika meraih minimal 5% dari jumlah suara secara nasional atau memenangkan sekurang-kurangnya 3% distrik pemilihan, ini yang dinamakan electoral threshold. Ternyata kebanyakan partai kecil cenderung memanfaatkan ketentuan suara minimal 5%, sebab memenangkan distrik lebih sulit.
............Gabungan Sistem Distrik Dan Sistem Proporsional Negara-negara lain yang menentukan electoral threshold adalah Swedia, Italia 4% dan Indonesia (mulai 2004) untuk pemilihan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR dan untuk Pilpres 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5 % dari perolehan suara sah secara nasional.
SISTEM PEMILU DI INDONESIA Sejak kemerdekaan hingga tahun 2014 Indonesia telah menyelenggarakan sebelas kali pemilu, yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014. Dari pemilu tersebut dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilu yang cocok untuk Indonesia.
Pemilu 1955 Menggunakan sistem proporsional. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakili 1 anggota DPR. Menggunakan Stelsel Daftar Mengikat dan Stelsel Daftar Bebas. Pemilih dapat memberikan suaranya kepada calon yang ada di dalam daftar (ini merupakan ciri dari sistem distrik) dan bisa juga diberikan kepada partai. Suara yang diberikan kepada calon akan diperhitungkan sebagai perolehan suara calon yang bersangkutan, sedangkan yang diberikan kepada partai, oleh partai akan diberikan kepada calon sesuai nomor urut. Seseorang secara perorangan, tanpa melalui partai, juga dapat menjadi peserta pemilu
Pemilu 1955 Calon yang terpilih adalah yang memperoleh suara sesuai BPPD (Bilangan Pembagi Pemilih Daftar). Apabila tidak ada calon yang memperoleh suara sesuai BPPD, suara yang diberikan kepada partai akan menentukan. Calon dengan nomor urut teratas akan diberi oleh suara partai, namun prioritas diberikan kepada calon yang memperoleh suara melampaui setengah BPPD. Kursi yang tidak habis dalam pembagian di daerah pemilihan akan dibagi di tingkat pusat dengan menjumlahkan sisa-sisa suara dari daerah-daerah pemilihan yang tidak terkonversi menjadi kursi.
Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dan 1999 Menggunakan sistem proporsional dengan Stelsel Daftar Tertutup. Pemilih memberikan suara hanya kepada partai, dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas sudah kebagian suara cukup untuk kuota 1 kursi. Untuk pemilihan umum anggot DPR Daerah, pemilihannya adalah wilayah provinsi; sedangkan DPRD I, daerah pemilihannya adalah satu provinsi yang bersangkutan; dan untuk DPRD II daerah pemilihannya wilayah Dati II yang bersangkutan.
Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dan 1999 Namun ada sedikit warna Sistem Distrik didalamnya, karena setiap kabupaten diberi jatah 1 kursi anggota DPR untuk mewakili daerah tersebut. Pada pemilu tahun tahun ini setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk
Pemilu 2004 Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatif, yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk pemilu anggota DPD digunakan Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak (4 kursi untuk setiap provinsi). Daerah pemilihannya adalah wilayah provinsi. Pesertanya adalah individu. Karena setiap provinsi atau daerah pemilihan mempunyai jatah 4 kursi dan suara dari kontestan yang kalah tidak bisa dipindahkan atau dialihkan maka sistem yang digunakan di sini dapat disebut Sistem Distrik dengan wakil banyak (block vote).
Pemilu 2004 Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD di gunakan sistem proporsional dengan Stelsel Daftar Terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Dalam hal ini pemilih memberikan suaranya kepada partai, calon yang berada pada urutan teratas mempunyai peluang besar untuk terpilih karena suara pemilih yang diberikan kepada artai menjadi hak calon yang berada di urutan teratas. Jadi, ada kemiripan sistem yang digunakan dalam pemilu 2004 dgn pemilu 1955. Bedanya, pada pemilu 1955 ada prioritas untuk memberikan suara partai kepada calon yang memperoleh suara lebih dari setengah BPPD.
Pemilu 2004 Ada warna Sistem Distrik dalam penghitungan perolehan kursi DPR dan DPRD yaitu suara perolehan suatu partai di sebuah daerah pemilihan yang tidak cukup untuk satu BPP tidak bisa ditambahkan ke perolehan partai di daerah pemilihan lain, misalnya untuk ditambahkan agar cukup untuk satu kursi. Ini adalah ciri sistem distrik, bukan proporsional.
Pemilu 2004 Dari sudut gender, pemilu 2004 secara tegas memberi peluang lebih besar secara afirmatif bagi peran perempuan. Pasal 65 UU No.12/2003 menyatakan bahwa setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% untuk setiap daerah pemilihan. Ini adalah sebuah kemajuan yang lain lagi yang ada pada pemilu 2004.
Pemilu 2004 Juga ada upaya untuk kembali menyederhanakan atau mengurangi jumlah partai melalui cara yang bukan paksaan. Hal ini tampak pada prosedur seleksi partai- partai yang akan menjadi peserta pemilu. Ada sejumlah syarat, baik administratif maupun substansial, yang harus dipenuhi oleh setiap partai untuk bisa menjadi peserta pemilu, antara lain di tentukannya electoral threshold dengan memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi anggota badan legislatif pusat, memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi di DPRD provinsi yang tersebar tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi di seluruh Indonesia;
Pemilu 2004 atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yanag tersebar di setengah jumlah kabupaten/kota Indonesia. Untuk pemilihan presiden dan wapres, memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional.
Terima kasih CP : 0812 4163 143 WA : 0812 4163 143 Line :0812 4163 143 BBM: 542E137D FB: Ahmad Mustanir tweeter: @ahmadmustanir line id: ahmadmustanir Path: Ahmad Mustanir email: ahmadmustanir74@gmail.com ahmadmustanir74@yahoo.co.id