Objek Kajian Fiqh, Ushul Fiqh, Tujuan, dan Kegunaan Materi 2 Objek Kajian Fiqh, Ushul Fiqh, Tujuan, dan Kegunaan
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian ilmu fiqh pada pembahasan sebelumnya, di mana ilmu fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang ajaran Islam atau syari’ah yang bersifat ‘amali (praktis) yang diambil dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci) atau sistematis, maka jelas bahwa pembahasan ilmu fiqh adalah berkisar pada ketentuan hukum yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf.
Dengan demikian, pembahasan ilmu fiqh tidak mencakup persoalan yang berkaitan dengan masalah akidah atau keimanan, karena masalah ini masuk dalam pembahasan ilmu kalam
Wahbah al-Zuhaily, membagi objek kajian ilmu fiqh menjadi dua bidang. Pertama; bidang ibadah, yaitu yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, seperti bersuci, shalat, puasa, haji, zakat, nazar, sumpah, dan lain-lainnya
Kedua; bidang mu‘amalah, yaitu yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, seperti perjanjian jual beli, pidana, sewa-menyewa, hutang-piutang, perkawinan, harta waris, hibah, dan lain-lain
Pada bagian yang kedua, yaitu bidang mu’amalah, al-Zuhaily membaginya lagi menjadi delapan bagian, antara lain:
1. Hukum al-ahwal al-Syakhshiyah (hukum keluarga), yaitu hukum yang mengatur kehidupan keluarga mulai dari kehidupan sampai wafatnya, baik yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, waris, dan aturan yang berhubungan dengan persoalan suami isteri, sampai dengan kekerabatan antara satu dengan lainnya.
2. Hukum al-Madaniyah, (hukum mu’amalah) yaitu hukum yang berhubungan antara manusia yang satu dengan lainnya, khusunya dalam hal pertukaran, baik dalam masalah jual beli, sewa-menyewa, gadai, koperasi, dan lain-lainnya, termasuk peraturan yang berhubungan dengannya.
3. Hukum al-jina’iyah, (hukum pidana), yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang menyangkut masalah pidana, hukuman, pemeliharaan jiwa, harta benda, kehormatan, dan hak-hak manusia.
4. Hukum al-murafa‘at (hukum peradilan), yaitu hukum yang berhubungan dengan penetapan pengadilan, baik menyangkut masalah dakwaan, persaksian, sumpah, dan lain-lainnya.
5. Hukum al-dusturiyah (hukum ketatanegaraan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara rakyat dan pemerintah. Termasuk hubungan antara hakim dan terdakwa, ketetapan individu dan masyarakat mengenai hak-haknya, dan apa-apa yang merupakan kewajiban bagi mereka.
6. Hukum al-dawliyah (hukum internasional), yaitu hukum yang mengatur hubungan antar negara Islam dan lainnya, baik negara itu dalam kekuasaan Islam atau tidak. Termasuk pula hubungan dengan non muslim dalam satu negara. Disamping itu, juga dibahas persoalan jihad, dan hubungan kerjasama antar Negara.
7. Hukum al-Iqtishadiyah wa al-maliyah, (hukum ekonomi), yaitu hukum yang berhubungan dengan hak-hak privat dalam perolehan harta benda dan penggunaannya sesuai dengan perundangan, hak negara dalam membelanjakan uang negara, aturan yang berhubungan dengan harta benda antara si kaya dan si miskin, termasuk pula adalah pembahasan hukum privat dan publik.
8. Al-akhlaq aw al-adab (hukum etika atau akhlak), yaitu hukum yang berhubungan dengan peningkatan kualitas norma dan etika pergaulan manusia, termasuk keutamaan dan membangun hubungan silaturrahim antar manusia
Musthafa Ahmad Zarqa, membagi hukum-hukum praktis (‘amaliyah) yang lahir dari perbuatan, perkataan, dan tindakan para mukallaf itu menjadi enam bagian, antara lain:
1. Hukum yang berkaitan dengan bidang ‘ubudiyah, yang selanjutnya di namakan dengan fiqh ibadah. Misalnya, shalat, puasa, dan haji.
2. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, nafkah, dan ketentuan nashab. Bentuk hukum inilah yang selanjutnya disebut dengan al-ahwal al-syakhshiyah.
3. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia (hubungan sosial) khususnya yang menyangkut masalah ekonomi dan jasa. Misalnya, jual beli, sewa menyewa, gadai, dan lain sebagainya. Hukum ini selanjutnya disebut dengan fiqh mu‘amalah.
4. Hukum yang yang berkaitan dengan sangsi terhadap pelaku tindak pidana (kejahatan kriminal). Seperti qishas, diyat, hudud, dan sejenisnya. Hukum ini kemudian dinamakan dengan fiqh jinayah.
5.Hukum yang berkaitan dengan masalah yang mengatur hubungan antara warga Negara dengan pemerintah, dan antara satu Negara dengan lainnya. Inilah yang kemudian dinamakan dengan fiqh al-siyasi.
6. Hukum yang mengatur etika pergaulan antarsesama manusia dalam tatanan kehidupan sosial. Dalam bidang ini hukum tersebut dinamakan dengan al-ahkam al-khuluqiyah.
OBJEK USHUL FIQH Berdasarkan pengertian ushul fiqh sebagaimana dikemukakan ulama jumhur pada pertemuan yang lalu, yaitu himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya, maka objeknya dapat dipetakan sebagai berikut;
Secara garis besar ada 3 bahasan Sumber hukum dengan semua seluk-beluknya Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya Persyaratan orang yang berwenang melakukan istimbath dengan permasalahannya
Pendapat lain Dalil-dalil hukum Islam Kalimat yang tertulis dalam dalil-dalil hukum Islam Penerapan kaidah bahasa dan kaidah syara’ untuk mengeluarkan maksud dan hukum dalil-dalil syara’ Solusi bagi dalil-dalil yang terkesan bertentangan Pembahasan tentang berbagai metode ijtihad dan hukum Islam
TUJUAN ILMU FIQH Tujuan ilmu fiqh pada dasarnya adalah untuk mencapai ridla Allah swt. karena ilmu fiqh merupakan kumpulan hukum yang dihasilkan melalui penalaran yang serius oleh para ulama’ dari nilai-nilai syari’at.
Oleh karena itu menjalankan fiqh berarti kita menjalankan syari’at-Nya Oleh karena itu menjalankan fiqh berarti kita menjalankan syari’at-Nya. Harus diakui bahwa Ilmu fiqh hadir untuk memberikan pencerahan dalam mengatasi problem kehidupan yang kita hadapi. Kemajuan teknologi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan jelas akan menjadi tantangan tersendiri, karena itu ilmu fiqh sangat berperan dalam memecahkan problem yang di hadapi manusia akibat kemajuan tersebut
Karena fiqh itu adalah produk dari penggalian hukum syari’ah, maka sudah berangtentu tujuannya adalah selaras dengan tujuan syari’ah.
Imam al-Syathibi, mengemukakan bahwa tujuan pokok di syari’atkannya hukum Islam adalah untuk kemaslahatan umat (mashalih al-ummah), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan itu akan terwujud dengan cara terpeliharanya kebutuhan manusia.
Kebutuhan manusia itu dapat di golongkan menjadi tiga yaitu, dlaruriyat (kebutuhan mendesak/primer), hajiyyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyyat (kebutuhan mewah/lux). Ketiga hal inilah yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum Islam (maqashid al-syari‘ah).
Adapun pada dimensi kebutuhan pokok (dlaruriyat) manusia tersimpul pada lima sendi utama, yaitu agama, (din), jiwa (nafs), keturunan (nashl), harta benda (mal), dan akal pikiran (aql).
Maka, dalam mengopersionalkan fiqh harus melihat kebutuhan itu berdasarkan skala prioritas. Dengan demikian, untuk persoalan yang tergolong pada kebutuhan pokok harus di dahulukan dengan yang lain
Inilah yang oleh Imam al-Ghazali di katakan sebagai inti pokok dari apa yang di sebut dengan maslahat. Dengan kata lain, maslahat itu adalah segala bentuk perbuatan yang mengedepankan pada nilai manfa’at dan menolak pada kemadlaratan, sehingga pada gilirannya akan terpeliharanya lima kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia.
Tujuan lain ilmu fiqh: 1.Membimbing manusia dalam setiap kehidupan untuk dapat menjaga nilai-nilai ajaran sesuai dengan maqashid al-syari’ah, baik yang menyangkut persoalan agama (al-din), jiwa (al-nafs), harta (al-mal), keturunan (nasl), maupun akal (al-‘aql),
2. Mengontrol kehidupan masyarakat dengan aturan-aturan dalil secara terperinci yang telah di gariskan oleh al-Qur’an dan Hadits, atau hasil ijtihad para ulama’ dan cendekiawan muslim.
3. Membimbing kepada manusia untuk dapat bersikap i’tidal (adil), tawazun (seimbang), tasamuh{ (toleransi).
Kegunaan mempelajari Ilmu Fiqh Setidaknya ada beberapa kegunaan mempelajari ilmu fiqh, antara lain: 1.Berguna untuk memahami berbagai macam aturan yang ditetapkan oleh Syari’ dalam kehidupan di dunia ini secara mendalam.
2. Berguna untuk mengetahui secara rinci bagaimana aturan yang ditetapkan oleh Allah mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hak dan kewajiban manusia, baik yang bersifat individu, keluarga, maupun kemasyarakatan dan kenegaraan, serta dapat mengetahui tatacara ibadah, mu’amalah, jinayah, dan lain sebagainya. Seperti shalat, puasa, zakat, haji, jual beli, pembagian warisan, hibah, wakaf, sampai pada ketentuan peraturan di pengadilan dan hubungan antar negara.
3. Berguna untuk menentukan sikap kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Apa yang mesti di laksanakan dan yang di tinggalkan, mana yang wajib di laksanakan, mana yang haram, sunnah, mubah, makruh, dan lain sebagainya. Dengan demikian, maka mempelajari ilmu fiqh pada dasarnya adalah mengantarkan kita pada keridlaan Allah swt. karena melaksanakan syari’atNya.
Kegunaan Ushul Fiqh Mengetahui hukum-hukum syariat dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan dhan (dugaan) untuk menghindari taqlid. Mengeluarkan ketentuan atau ketetapan hukum dari sumber Islam, melalui penerapan kaidah ushul yang berlaku.
Kegunaan lainnya: 1. Memberikan pengertian dasar tentang kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara cepat. Memelihara agama dari penyimpangan dalil dengan tetap memedomani pada kaidah ushul fiqh Menyusun kaidah umum yang dapat dipakai untuk menetapkan persoalan sosial.
Wallahu A’lam