MENGUJI VALIDITAS ALAT BUKTI DALAM PROSES PERADILAN DI INDONESIA ? [Sebuah Usulan Program oleh SUGENG TEGUH SANTOSO, Wakil Ketua Umum PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI), disampaikan dalam Konas I AIFI 18 Oktober 2010, di Makassar]
Proses peradilan (penegakan hukum) bertujuan: Pengungkapan kebenaranmateriil/formil. (b) Distribusi keadilan bagi korban atau pencari keadilan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan penegakan hukum (a) Pembuktian harus dilakukan secara profesional. Secara profesional identik dengan pembuktian secara ilmiah (berdasarkan ilmu pengetahuan dan menurut Undang-Undang). (b) Pembuktian harus dilakukan berdasarkan alat bukti yang sah (valid). Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang ditemukan/diperoleh dan teruji sehingga dapat dipercaya (dapat berbicara dengan sendirinya).
Pembuktian secara profesional dan berdasarkan alat bukti yang sah dalam proses peradilan di Indonesia Bukti yang sah yaitu: KUHAP Pasal 184 ayat 1 UU Tipikor Pasal 26 A RUU Kuhap Pasal 175 keterangan saksi, a. keterangan ahli, c. surat, d. petunjuk, dan e. keterangan terdakwa. Disamping yang terdapat dalam KUHAP juga berupa: a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi a.Barang Bukti b.Surat-surat c.Bukti elektronik d.Keterangan seorang ahli e.Keterangan seorang saksi f. Keterangan terdakwa g.Pengalaman hakim
Lanjutan Sistem pembuktian yang dianut yaitu : ( negatief wettelijke stelsel) system pembuktian menurut undang-undang secara negatif dimana Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan juga Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang (Pasal 183 KUHAP, Pasal 175 RUU KUHAP, Pasal 26 UU Tipikor yang mengatur bahwa acara pemeriksaan diatur dalam KUHAP)
Lanjutan Contoh Kasus: Di Indonesia pembuktian secara profesional dan berdasarkan alat bukti yang sah belum diterapkan sebagaimana mestinya, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah penegakan hukum berdasarkan pembuktian minimalis, rekayasa, opini/tekanan pihak tertentu, intervensi kekuasaan yang tentu tidak didukung dengan alat-alat bukti yang teruji validitasnya (keabsahannya). Contoh Kasus: Perkara Pidana Peledakan Bom di Bursa Efek Jakarta pada Tahun 2001. Dimana barang bukti berupa serbuk TNT dan Peluru Senjata Api baru ditemukan di rumah salah seorang tersangka setelah polisi melakukan tindakan penggedahan untuk kesekian kalinya ditempat yang sama.Hasil pemeriksaan terhadap barang bukti tersebut kemudian dituangkan secara tertulis dan diterangkan oleh seorang ahli dari Laboratorium Forensik Mabes Polri yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan utama bagi hakim atas kesalahan terdakwa dalam Vonis Pengadilan Jakarta Negeri Selatan. Perkara Pidana Pembunuhan Berencana pada tahun 2009 terhadap A. A. Bagus Narendra Prabangsa (Jurnalis Radar Bali) yang disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar. Dimana barang bukti yang dihadirkan di dalam persidangan oleh JPU dari hasil tindakan penggeledahan/penyitaan oleh penyidik, diantaranya potongan kayu yang diduga sebagai alat terdakwa untuk membunuh dan sampel darah korban, diperoleh pada tempat terbuka (halaman/kebun) yang dianggap sebagai tempat kejadian perkara (crime scene) setelah berselang waktu cukup lama terhitung sejak waktu diduga terjadinya pembunuhan dengan kondisi cuaca yang telah berubah-ubah (hujan-panas selih berganti sehingga paling tidak patut diduga telah tercemar). Barang-barang bukti tersebutlah, dari hasil pemeriksannya dituangkan secara tertulis, diperkuat dengan Berita Acara Rekonstruksi Kejadian (yang dibuat berdasarkan pengakuan para terdakwa yang diperoleh dengan cara penyiksaan) dan diterangkan oleh ahli/saksi verbalisan, menjadi pertimbangan utama bagi hakim menjatuhkan vonis bagi para terdakwa. Alat-alat bukti dan barang bukti tersebutlah yang menimbulkan keyakinan utama bagi hakim bahwasanya benar telah terjadi pembunuhan di tempat (rumah) salah seorang terdakwa sehingga yang bersangkutan bersama rekan-rekannya yang diduga turut serta/membantu dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana. Dalam rangka penyelidikan/penyidikan perkara yang diduga terkait dengan terorisme (peledakan bom, penyerangan objek tertentu, dll), secara terbuka diperlontonkan melalui pemberitaan media massa tentang pengelolaan tempat kejadian perkara (crime scene) yang ternyata juga dapat dimasuki oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan, misal jurnalis, pimpinan atau aparat kepolisian yang sama sekali tidak berperan dalam rangka mencari barang-barang bukt, dan pihak-pihak lain yang tidak berkompeten untuk itu, padahal tindakan penemuan/pengumpulan/perolehan barang bukti sedang/masih berlangsung. Perlakuan seperti ini tentu akan merusak atau mencemari barang-barang bukti/tempat kejadian perkara sehingga validitasnya patut diragukan.
Kendala/Kebutuhan Sehubungan dengan upaya untuk menguji validitas alat bukti sehingga tujuan penegakan hukum dapat lebih dipastikan, kendala terbesar yang dihadapi adalah: Belum ada/belum memadainya hukum yang secara khusus (kodifikasi) mengatur tentang mekanisme penemuan/perolehan/pengujian barang/alat bukti secara profesional (sesuai standar lmiah) yang dapat dijadikan rujukan utama menguji validitasnya dalam proses peradilan.
Inisiatif AIFI ? Dalam rangka mengatasi kendala dan memenuhi kebutuhan guna menguji validitas alat bukti guna proses peradilan di Indonesia, AIFI dapat mengambil inisiatif untuk mendorong para pihak yang berkepentingan dalam proses peradilan untuk segera melahirkan ketentuan-ketentuan (standar) hukum berkaitan dengan hal tersebut. Kegiatan Utama Kampanye (Sosialisasi) Studi perbandingan di Indonesia dan Luar Negeri Perumusan naskah akademis/rancangan peraturan hukum (legal drafting).
Sasaran Diadakannya atau paling tidak terbentuk opini tentang pentingnya hukum yang memuat standar ilmiah guna menguji validitas alat bukti. Lebih jauh, mendorong gagasan tentang perlu adanya sebuah lembaga negara independen yang menjalankan kerja atau fungsi pengumpulan, penemuan, perolehan dan pengujian secara ilmiah alat bukti (melibatkan multi disiplin ilmu forensik) guna proses peradilan di Indonesia, khususnya namun tidak terbatas untuk perkara-perkara yang pembuktiannya tergolong serius/rumit.
Potensi Kerjasama Berpotensi untuk dikerjasamakan AIFI dengan mengundang keterlibatan pihak/institusi terkait atau yang berkepentingan dalam proses peradilan di Indonesia, antara lain namun tidak terbatas: Departemen Hukum dan HAM RI, DPR RI, otoritas penegak hukum (Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, PERADI), komunitas forensik, kalangan akademisi, kelompok swadaya masyarakat dll.
Terimakasih