HUKUM PERIKATAN pertemuan ke 14 TUTIEK RETNOWATI, SH.,MH FH. UNNAR SBY.
6.Pembebasan Utang Apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan - yaitu hubungan utang-piutang -hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan sesuatu utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara suka rela oleh si berpiutang kepada si berutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung menanggung. Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai atau sebagai tanggungan tidaklah cukup dijadikan persaingkaan tentang dibebaskannya utang. Ini sebetulnya tidak perlu diterangkan, sebab perjanjian gadai (pand) adalah suatu perjanjian accessoir yang artinya suatu buntut belaka dari perjanjiannya pokok, yaitu perjanjian pinjam uang.
7. Musnahnya Barang Yang Terutang Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), iapun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut toh juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.
Apabila si berutang, dengan terjadinya peristiwa-peristiwa seperti di atas telah dibebaskan dari perikatannya terhadap kreditumya, maka ia diwajibkan menyerahkan kepada kreditur itu segala hak yang mungkin dapat dilakukannya terhadap orang-orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau hilang itu.
8. Kebatalan / Pembatalan Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak hapus. Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah pembatalan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar atau voidable) sebagaimana yang sudah kita lihat pada waktu kita membicarakan tentang syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (pasal 1320).
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.
9. Berlakunya Suatu Syarat Batal Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua, suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.
Dalam hukum perjanjian pada azasnya syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah : suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, demikianlah pasal 1265 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
10. Lewatnya Waktu/Daluwarsa Pasal 1946 KUH Perd, yang dinamakan '.'daluwarsa" atau "lewat waktu" ialah : suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa "acquisitip“ sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa "extinctip". Daluwarsa yang pertama tadi sebaiknya dibicarakan berhubungan dengan hukum benda. Daluwarsa dari macam yang kedua dapat sekedarnya dibicarakan di sini meskipun masalah daluwarsa itu suatu masalah yang memerlukan pembicaraan tersendiri.
Menurut pasal 1967 maka segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang rnenunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.
Dengan lewatnya waktu tersebut di atas hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah pada suatu "perikatan bebas" (natuurlijke verbintenis) artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut dimuka hakim. Debitur jika ditagih utangnya atau dituntut di muka pengadilan dapat memajukan tangkisan (eksepsi) tentang kedaluwarsaannya piutang dan dengan demikian mengelakkan atau menangkis setiap tuntutan.
Semoga Sukses