Perihal Putusan Yang Dapat Dilaksanakan Terlebih Dahulu
Putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu Putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu diatur dalam Pasal 180 (1) H.I.R dan Pasal 191 (1) R.B.g yang mengatur persoalan yang sama. Untuk mudahnya akan dibahas pasal 180 (1) H.I.R dan untuk mendapat gambaran yang lebih jelas dari pasal tersebut, akan diperbandingkan dengan pasal 54 dan pasal 55 R.V yang mengatur lembaga tersebut secara mendalam.
Ketentuan pasal 54 R.V. Berbunyi sebagai berikut: Apabila putusan didasarkan atas akta otentik; Apabila putusan didasarkan atas akta di bawah tangan yang diakui oleh pihak terhadap siapa akta tersebut dipergunakan, atau secara sah dianggap diakui, juga dianggap diakui apabila perkara diputuskan dengan prestek; Apa bila telah ada penghukuman dengan suatu putusan, yang tidak dapat dilawan atau dibanding lagi.
Sedangkan pasal 55 R.V berbunyi: pelaksanaan terlebih dahulu dari putusan-putusan, meskipun ada banding atau perlawanan dapat diperintahkan dengan atau tanpa jaminan dalam hal, antara lain: Segala sesuatu yang dikabulkan dengan putusan sementara; Hak milik. Dengan memperbandingkan antara pasal 180 (1) H.I.R dan Pasal-pasal dari R.V tersebut diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa adalah lebih aman untuk menjatuhkan putusan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu dan melaksanakan putusan tersebut, walaupun pihak yang dikalahkan itu mengajukan permohonan banding atau perlawanan, apabila salah satu syarat yang termuat dalam pasal 54 R.V. terpenuhi.
Sedangkan apabila hanya terdapat syarat sebagaimana yang termuat dalam pasal 55 R.V., sama seperti yang terdapat dalam Pasal 180 (1) H.I.R hendaknya hakim harus berhati-hati dan harap dipikirkan sekali lagi sebelum putusan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu dijatuhkan. Dari perbandingan pasal-pasal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa meskipun maksudnya sama, namun pasal 54 R.V isinya lebih jelas daripada Pasal 180 (1) H.I.R.,
Dan selanjutnya perlu diperhatikan pula terhadap perkataan “didasarkan” yang terdapat dalam pasal 54 R.V di bawah angka (1) dan (2); apabila putusan didasarkan.......... jadi “dasar” putusan adalah akta otentik atau akta di bawah tangan yang diakui. Sebagai contohnya dalam hal utang piutang antara A, anak almarhum B, yang menggugat C, agar membayar utangnya kepada almarhum ayahnya, kepada A (yang merupakan anak sah dari almarhum B), di mana dalam persidangan untuk membuktikan kedudukan A tersebut (akta otentik).
Yang dimaksud dengan “dasar” putusan adalah “dasar putusan pokok perkara”. Pokok perkara tersebut diatas adalah adanya utang-piutang antara almarhum B dan C. Apabila utang-piutang dapat dibuktikan dengan akta otentik atau dalam hal ada sebuah akta di bawah tangan (misalnya kwitansi tanda penerima uang) yang tidak disangkal isi tandatangannya oleh C atau salah satu syarat lain yang termuat dalam pasal 180 (1) H.I.R terpenuhi, putusan dapat dijatuhkan dengan ketentuan uitvoerbaar bij voorraad. Putusan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu dijatuhkan, justru, karena adanya surat bukti yang ampuh itu. Dalam hal ada putusan provisioneel, karena putusan selalu ada yang demikian itu selalu ada uitvoerbaar bij voorraad, maka putusan terakhir dapat diberikan dengan ketentuan itu pula.
Yang sering kali menimbulkan persoalan dan menyebabkan penafsiran yang berbeda-beda adalah dasar terakhir yang tercantum dalam pasal 180 (1) H.I.R. Apabila putusan telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan lebih dahulu apakah pelaksanaannya dapat ditunda? Surat Edaran Mahkamah Agung No. 03 tahun 1971, tertanggal 17 mei 1971 mengemukakan bahwa: 1. Surat-surat edaran tanggal 10 juli 1964 No. 13/1964 dan tanggal 2 juni 1969 no. 5 tahun 1969 pada pokoknya bermaksud, agar sedapat mungkin Pengadilan tingkat pertama jangan menjatuhkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, walaupun diajukan perlawanan atau banding (Uitvoerbarr bij voprraad) dan apabila sungguh-sungguh dipandang perlu menjatukan putusan serupa itu, maka pelaksanaannya harus diminta persetujuan terlebih dahulu .
Surat-surat edaran tersebut di atas di keluarkan berdasarkan kenyataan bahwa sementara hakim-hakim pada Pengadilan Negeri tidak atau kurang memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang mengenai lembaga “Uitvoerbaar bij voorraad ” sebagaimana diuraikan dalam pasal 180 H.I.R. Selanjutnya Mahkamah Agung meminta perhatian kepada segenap ketua dan hakim pada Pengadilan negeri untuk sungguh-sungguh mengindahkan syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat menyatakan agar putusan dapat dijalankan terlebih dahulu. Adapun syarat-syarat yang dimaksud di atas adalah, sebagai berikut:
Ada surat otentik atau tulisan tangan (handschrift) yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti; Ada keputusan yang sudah memperoleh kekuatan yang pasti (in kracht van gewijsde) sebelumnya yang menguntungkan pihak penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan; Ada gugatan provisionil yang dikabulkan; Dalam sengketa mengenai bezitsrecht.
4. Dengan sendirinya harus dimengerti, bahwa apabila ada kekeliruan yang mencolok, Mahkamah Agung berdasarkan kekuasaan yang ada padanya untuk mengawasi jalannya peradilan yang baik dan begitu pula Pengadilan Tinggi berdasarkan pelimpahan wewenang tersebut selalu dapat memerintahkan penundaan pelaksanaan putusan Pengadilan Negeri. Dalam menyusun Hukum Acara Perdata Nasional kita, hendaknya masalah-masalah khusus yang dalam praktek mendatangkan banyak kesulitan seperti masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas diperhatikan dengan seksama dan pasal-pasal yang bersangkutan hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga kemungkinan untuk membuat kesalahan karena tafsiran yang keliru, dapat diperkecil.
Thank’s