Syari’ah Bab 6 Pertemuan ke 9
Syari’ah merupakan bagian dari kerangka dasar ajaran Islam yang tidak bisa dipisahkan dari aqidah. Syari’at adalah jalan ke sumber (mata) air. Perkataan syari’at (syari’ah) (dalam bahasa Arab itu) berasal dari kata syari’, secara harfiah berarti jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim.
Pengertian Etimologi Syariat berasal dari kata syara’ yang berarti menjelaskan dan menyatakan sesuatu atau dari kata Asy-Syir dan Asy Syari’atu yang berarti suatu tempat yang dapat menghubungkan sesuatu untuk sampai pada sumber air yang tak ada habis-habisnya sehingga orang membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk mengambilnya.
Terminologi Syariah berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Ruang Lingkup Syari’ah Syari’ah Islam mencakup dua persoalan pokok yaitu : a. Ibadah Khusus (Ibadah Mahdlah). artinya: Ibadah yang dalam pelaksanaannya telah dicontohkan langsung Nabi Muhammad saw, seperti shalat, puasa, zakat, hajji. Dalam ibadah seperti ini seorang muslim tidak boleh mengurangi atau menambah-nambah dari apa saja yang telah diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Oleh karena itu, melaksanakan peribadatan yang bersifat khusus ini harus mengikuti contoh rasul yang diperbolehkan melalui ketentuan yang dimuat dalam hadits-hadits shahih. Satu kaidah yang amat penting dalam pelaksanaan ibadah ini adalah: “semua haram, kecuali yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah.” Pekerjaan-pekerjaan di luar ketentuan-ketentuan itu dianggap tidak sah atau batal atau dikenal dengan istilah bid’ah.
Ibadah umum (ibadah mu’amalah). Yaitu bentuk peribadatan yang bersifat umum dan pelaksanaannya tidak seluruhnya diberikan contoh langsung dari Nabi saw. Beliau hanya meletakkan prinsip-prinsip dasar, sedangkan pengembangannya diserahkan kepada kemampuan dan daya jangkau pikiran umat.
“Semua boleh dilakukan, kecuali yang dilarang Allah dan Rasul-Nya.” Kaidah umum menyebutkan “Semua boleh dilakukan, kecuali yang dilarang Allah dan Rasul-Nya.” Ibadah umum mencakup aturan-aturan keperdataan, seperti hubungan yang menyangkut ekonomi, bisnis, jual-beli, utang-piutang, perbankan, perkawinan, pewarisan, dan sebagainya. Juga aturan publik, seperti pidana, tata negara, dan lain-lain.
Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syariah Islam. Syariah Islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang saleh.
Terkait dengan susunan tertib Syariat, Al'quran surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain.
Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dilihat dari segi ilmu hukum, syari’at adalah norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang muslim, baik dalam berhubungan dengan Allah maupun dalam berhubungan dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.
Azas Syara’ Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam di mana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia di manapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.
Furu’ Syara’ Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al'quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterimaUlil Amri setempat menerima sebagai peraturan/perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Fungsi dan Peran Syari’ah Syari’ah Islam berfungsi membimbing manusia dalam rangka mendapatkan ridha Allah dalam bentuk kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Prinsip Syari’ah a. Memudahkan Dalam pembebanan (taklifi) Islam tidak terdapat hal yang menyulitkan dan memberatkan. Syari’at tidak memberi kesulitan pada manusia dan tidak menyesakkan dada mereka. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah (2) ayat 185: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu”.
Dan dalam surat An Nisak (4) ayat 28 : “Allah hendak memberi keringanan padamu”. Dan Surat Al Maidah (5) ayat 6: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu”. Berdasarkan ayat di atas jelaslah bahwa Allah tidak akan menyulitkan hambanya. Misalnya sholat dikerjakan berdiri, tidak bisa berdiri dikerjakan dengan duduk, tidak bisa duduk dikerjakan dengan berbaring dan seterusnya.
b. Kemashlahatan (kebaikan) Syari’at diturunkan Allah untuk kemashlahatan atau kebaikan umat manusia. Bilamana orang menjalankan syari’at Islam maka dia akan merasakan manfaatnya. Misalnya puasa menjadikan orang sehat, diharamkan babi karena merusak kesehatan, diwajibkan zakat untuk membantu fakir miskin dan lain-lain.
Ilmu yang mempelajari syari’at disebut ilmu fikih Ilmu yang mempelajari syari’at disebut ilmu fikih. Orang yang paham tentang ilmu fikih disebut fakih atau fukaha (jamak). Artinya, ahli hukum (fikih) Islam.
Fikih (Fiqh) Etimologi Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Terminologi fikih merupakan ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil diAl-Qur’an dan Sunnah.
Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah. Jadi fikih artinya paham atau pengertian. Fikih adalah ilmu yang bertugas memahami dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad.
Selain itu fikih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar’iyyah (bersifat syari'at) dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam mu’amalah. Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak literatur, bahwa fiqh adalah "al-ilmu bil-ahkam asy-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha at-tafshiliyyah", ilmu tentang hukum-hukum syari'ah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci".
Dari uraian tersebut di atas bahwa di Indonesia ada dua istilah yang dipergunakan untuk menentukan hukum Islam yakni (1) syari’at Islam dan (2) fikih Islam. DI dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, Syari’at Islam disebut Islamic Law, sedang fikih Islam Islamic Jurisprudence, Syari’at adalah landasan fikih, fikih adalah pemahaman tentang syari’at. Kedua istilah itu terdapat di dalam al-Quran; syari’at, misalnya, dalam surat al-Jatsiyah (45): 18 dan fikih dalam surat At-Taubah (9): 122.
Sejarah Fikih Masa Nabi Muhammad saw Masa ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fikih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah.
Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan. Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap.
Ayat-ayat yang diwahyukan (di Madinah) ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Masa Khulafaur Rasyidin Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fikih pada periode ini didasari pada al Qur’an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash al Qur’an maupun Hadits. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam
Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadits maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Masa Awal Pertumbuhan Fikih Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu’awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang menghasilkan ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.
Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fikih, karena akan muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.
Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas’ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas’ud kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khatab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas’ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.
Perbedaan antara syari’at dan fikih Syariat terdapat dalam al-Quran dan kitab-kitab Hadis, Fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Syari’at bersifat fundamental, Fikih bersifat instrumental. Syari’at adalah ketepatan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi. Fikih adalah karya manusia yang dapat berubah atau diubah dari masa ke masa.
Syari’at hanya satu, sedang fikih bisa lebih dari satu. Syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragamannya