DEWI NURUL MUSJTARI FAKULTAS HUKUM UMY SEJARAH HUKUM PERDATA DEWI NURUL MUSJTARI FAKULTAS HUKUM UMY
Berlakunya Hukum Perdata di Indonesia : KUH Perdata berasal dari kata Burgerlijk Wetboek (BW),yakni suatu Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang dibuat oleh pemerintah Belanda untuk bangsa Belanda sendiri yang kemudian berdasarkan asas konkordansi serta dengan penyesuaian seperlunya dengan keadaan di Hindia Belanda diberlakukan di Hindia Belanda.
Berlakunya Hukum Perdata: Berlakunya hukum perdata di Indonesia tidak satu ragam, artinya tidak ada satu macam hukum yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia. Hukum perdata di Indonesia sampai saat ini bersifat pluralistis.
Maksud Pluralistis, yaitu: Bahwa di Indonesia terdapat lebih dari dua macam hukum perdata materiil yang berlaku, yaitu hukum perdata adat, hukum perdata Islam dan hukum perdata barat, seperti KUHPdt dan KUHD. Keadaan tersebut berlaku sejak jaman Hindia Belanda hingga sekarang.
Berdasarkan Pasal 163 IS: Keaneka ragaman hukum tersebut membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3 golongan, yaitu: 1. Golongan Eropah. 2. Golongan Bumiputera. 3. Golongan Timur Asing.
Berdasarkan Stb.1847 No. 23 BW hanya berlaku terhadap : a. Orang-orang Eropa : Orang Belanda,Orang yang berasal dari Eropa, Orang Jepang, Orang Amerika Serikat,Kanada, afrika Selatan dan australia berikut anak-anak mereka; b. Orang-orang yang dipersamakana dengan Orang Eropa,yakni : mereka yg pada saat Bwberlaku memeluk agama Kristen; c.Orang-orang Bumiputera turunan Eropa.
Menurut Pasal 131 IS: Bagi golongan Eropah berlaku hukum perdata barat, yaitu sebagaimana yang diatur dalam KUHPdt (B.W.) dan KUHD (W.V.K). Bagi golongan Bumiputera berlaku hukum adat, yaitu keseluruhan aturan hukum yang tidak tertulis.
Menurut Pasal 131 IS ...(Ljt.): Bagi golongan Timur Asing berlaku sebagian KUHPdt dan KUHD berdasarkan S. 1855 No. 79 yaitu bagian-bagian yang mengenai hukum harta kekayaan dan hukum waris yang dengan surat wasiat. Untuk bagian hukum lainnya tetap tunduk pada hukum adatnya sendiri.
Menurut Pasal 131 IS...(Ljt): Untuk warga negara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku hukum perdata yang ditetapkan dalam S. 1917 No. 129. Bagi golongan Bumi Putera dan Timur Asing mereka dapat menundukkan diri dengan sukarela terhadap hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa.
Penundukan diri itu ada empat macam sebagaimana yang diatur dalam S Penundukan diri itu ada empat macam sebagaimana yang diatur dalam S. 1917 No. 12,yaitu: 1. Penundukan diri seluruhnya, yaitu penundukan diri pada seluruh hukum perdata barat, sehingga KUHPdt dan KUHD dapat diberlakukan terhadapnya. 2. Penundukan diri sebagian, yaitu penundukan diri pada sebagian hukum perdata barat.
Penundukan Diri...(Ljt.): 3. Penundukan diri mengenai suatu perbuatan hukum tertentu. 4. Penundukan diri secara diam-diam (anggapan). Bila golongan bumi putera melakukan perbuatan hukum yang tidak dikenal dalam hukumnya sendiri, tetapi diatur dalam hukum perdata barat, maka ia dianggap secara diam-diam menundukkan diri pada hukum perdata barat. Misalnya; menandatangani wessel.
Berlakunya HukumPerdata di Indonesia (ljt) : Pada umumnya selain terhadap tiga golongan itu BW tidak berlaku tetapi berdasarkan Pasal 131 IS dan keputusan Raja Belanda 15 September 1916, Stb. 1917 no. 12 jo. 528 yang mulai diberlakukan sejak 1 Oktober 1917, kepada golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing dengan sukarela dapat menundukkan dirinya kepada BW dan Wvk baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya.
Dasar Berlakunya Hukum Perdata: Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945; Pasal 192 ayat (1) Konstitusi RIS Th. 1949; Pasal 142 Ketentuan Peralihan UUD S 1950;
Berdasarkan Pasal II AP UUD 1945, diteruskan berlakunya: Khusus mengenai berlakunya ketentuan Pasal 131 dan 163 IS, perlu diperhatikan ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara”.
Berdasarkan Pasal II AP UUD 1945, diteruskan berlakunya: Selanjutnya Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dengan demikian menurut UUD 1945 tidak mengenal adanya golongan-golongan warga negara sebagaimana dalam Pasal 131 dan 163 IS.
Selanjutnya pada tanggal 27-12-1966 keluar Instruksi Presiden No Selanjutnya pada tanggal 27-12-1966 keluar Instruksi Presiden No. 31/UI/IN/12/1966 yang isinya antara lain menentukan: 1. Sambil menunggu dikeluarkannya Catatan Sipil yang bersifat nasional, janganlah menggunakan penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 131 dan 163 IS. 2. Selanjutnya Kantor Catatan Sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia, dan hanya boleh dibedakan antara warga negara Indonesia dan orang asing. Berdasarkan Instruksi Presiden tersebut jelas memerintahkan penghapusan perbedaan golongan penduduk Indonesia.