IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM OLEH: Vitri Nur Hayati (07650045) Dwi Kharisma Setya U. (07650070) Zulfa Ulin Nuha (08650066) Aprilia Dewi K. (08650120) Afif Syarifudin (09650041)
IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM Definisi ijma’ Dasar hukum ijma’ Rukun-rukun ijma’ Kekuatan ijma’ sebagai hujjah Bukti kekuatan ijma’ sebagai hujjah Kemungkinan-kemungkinan mengadakan ijma’ Terbentuknya ijma’ Macam-macam ijma’ Objek ijma’
DEFINISI IJMA’ Ijma’ menurut ulama ilmu ushul fiqih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada masa setelahnya wafatnya Rasulullah saw atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian yang belum ada ketetapannya dalam kitab dan sunnah. Dalam definisi disebutkan “Setelah wafatnya Rasulullah saw”, karena semasa hidupnya, beliau sendiri adalah sebagai rujukan hukum syara’, sehingga tidak mungkin ada perbedaan hukum syara’ juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bisa terwujud dari beberapa orang.
DASAR HUKUM IJMA’ (1) Al-Qur’an Allah swt berfirman pada Q.S.An-Nisa’:59 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu”. Perkataan amri yang terdapat pada ayat diatas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat diatas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
DASAR HUKUM IJMA’ (2) Al-Hadits Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang artinya, “umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.” (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
DASAR HUKUM IJMA’ (3) Akal Pikiran Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran islam. Karena itu, setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Jika memang sumbernya tidak ada, boleh menggunakan sumber lain misalnya qiyas, istihsan, atau yang lain asalkan tidak menyalahi Al-Qur’an dan Hadits.
RUKUN IJMA’ (1) Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu). Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma', karena ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijma'.
RUKUN IJMA’ (2) Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
KEKUATAN IJMA’ SEBAGAI HUJJAH Bila keempat unsur ijma’ diatas terpenuhi, maka hukum dari kesepakatan tersebut adalah undang-undang hukum syara’ yang wajib diikuti dan tidak boleh menyalahinya. Bagi mujtahid pada masa perikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa tersebut sebagai objek ijtihad, karena hukum yang telah ditetapkan dengan ijma’ tersebut adalah hukum yang pasti, yang tidak dibenarkan menyalahi atau merubahnya.
BUKTI KEKUATAN IJMA’ SEBAGAI HUJJAH Sebagaimana Allah swt dalam Al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, Dia juga memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri. Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya. Ada beberapa Hadits dari rasul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharanya umat (dalam kebersamaan) dari kesalahan. Ijma’ atas suatu hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula, karena mujtahid Islam memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.
TERBENTUKNYA IJMA’ Kesepakatan itu pada dasarnya adalah hukum yang dihasilkan dari musyawarah orang banyak, bukan pendapat perorangan. Diriwayatkan bahwa Abu bakar ketika menerima suatu pengaduan masalah dan tidak mendapatkan hukumnya dalam kitab Allah maupun al-sunnah, maka beliau mengumpulkan pemimpin umat serta para sahabat pilihan untuk diajak musyawarah. Bila mereka bersepakat atas satu pendapat, maka hukumnya segera dilaksanakan,
MACAM-MACAM IJMA’ (ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’) Ijma’ Qath’i yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa adanya bantahan diantara mereka. Contoh: ijma’ atas wajibnya shalat 5 waktu dan haramnya berzina. Ijma’ jenis ini tidak seorangpun yang mengingkari ketetapannya dan keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan bagi orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya. Ijma’ Dhanni yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
MACAM-MACAM IJMA’ (ditinjau dari segi cara terjadinya) Ijma’ Bayani yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas den tegas, baik berupa ucapan maupun tulisan. Ijma’ bayani disebut juga ijma’ shahih, ijma’ qauli, atau ijma’ hakiki. Ijma’ Sukuti yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, tapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup dimasanya. Ijma’ seperti ini disebut juga ijma’ ‘itibari.
MACAM-MACAM IJMA’ [ditinjau dari masa terjadinya (1)] Ijma’ Sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah saw Ijma’ Khulafaurrasyiin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi. Ijma’ Shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab
MACAM-MACAM IJMA’ [ditinjau dari masa terjadinya (2)] Ijma’ al Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’ al Madinah merupakan salah satu sumber hukum islam. Ijma’ Ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kufah sebagai salah satu sumber hukum islam.
OBJEK IJMA’ Objek ijma’ adalah semua peristiwa atau kejadian yang tdak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang behubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadah yang tidak langsung ditujukan kepada Allah swt) bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Sekian dan Terima Kasih