RAHN Teori, Landasan dan Aplikasi dalam perbankan Oleh Fitra Rizal 20100730072 ilmu hukum perbankan Ekonomi dan perbankan islam universitas muhamadiyah yogyakarta
PENDAHULUAN Sistem ekonomi kapitalis dianggap telah gagal menyelesaikan persoalan kemanusiaan, social ekonomi Dalam situasi seperti ini Bank konvensional akan menghadapi pesaing baru dengan hadirnya lembaga keuangan syariah khususnya perbankan islam. Fenomena ini ditandai dengan pertumbuhan lembaga keuangan syariah khususnya dalam perbankan islam dengan dikeluarkan produk Rahn ( gadai syariah )
DEFINISI Rahn secara etimologis berarti tsubut (tetap) dan dawam (kekal, terus menerus). Adapun Rahn secara terminologis adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang agar hutang itu dilunasi ( dikembalikan) atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengemballikannya. Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 madhab hal 174
HUKUM SYAR’I DAN DASARNYA 1. Dasar dari al Qu’an : وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَة “ Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang.” (Al- baqarah : 283 ) 2. Dasar dari hadits : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم اشترى من يهودي طعاما و رهنه درعه “ sesungguhnya Rasulullah SAW membeli makanan dari orang yahudi dan beliau menggadaikan baju besinya kepadanya.” ( HR. Bukharindan Muslim )
3. Dasar ijma’ kaum muslimin sepakat di bolehkannya rahn secara syari’at ketika berpergian dan ketika dirumah 4. Landasan hukum positif : A. Dalam pasal 19 ayat (1) huruf q Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah disebutkan bahwa kegiatan usaha bank umum syariah antara lain melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang social sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
B. Sejak tahun 2002 atas dasar Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002, Tertanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa pinjaman dengan menggunakan barang sebagai jaminan dalam bentuk Gadai Syariah (Rahn) diperbolehkan, yaitu suatu bentuk penyerahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Rahn dikembangkan melalui Bank Syariah dan lembaga keuangan bukan bank yaitu Pegadaian Syariah.
C. Dalam UU No. 10 tahun 1998 terdapat pada Pasal 8 dan penjelasanya, Pasal 8 ayat (1) serta Pasal 12 A ayat (1) . “...Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan” (Pasal 8 Ayat (1))
Lanjutan … “Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.(Pasal 12 A Ayat (1))
D. Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/7/PBI/2003. Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/7/PBI/2003 tentang kaualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syari’ah Pasal 2 (ayat 1) dan penjelasannya, dan pada PAPSI (Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia) tahun 2003 Bank Indonesia: Penanaman dana Bank Syariah pada Aktiva Produktif wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian. (Pasal 2 (ayat 1))
Lanjutan … “Pada prinsipnya dalam pembiaayaan mudharabah tidak dipersyaratkan adanya jaminan, namun agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan oleh pengelola dana, pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad” (PAPSI 2003, hal. 58)
E. Dalam KUH Perdata Pasal 1131 dan Pasal 1132 berikut ini: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.” (Pasal 1131)
Lanjutan … Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. (Pasal 1132)
RUKUN – RUKUN RAH Maayoritas ulama berpendapat ada empat sebagai berikut : 1. Barang yang digadaikan 2. Modal hasil gadaian 3. Shighoh ( ijab qabul) 4. ‘aqidain Hanafiyyah berpendapat bahwa rukun rahn (gadai) hanya satu, yaitu : shighah ( karena ia sebagai hakikat transaksi) . Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 madhab hal 175
SYARAT –SYARAT RAHN Syarat-syarat rahn ( gadai ) adalah sebagai berikut : 1. Masing- masing dari al- ‘aqidain termasuk orang yang boleh membelanjakan harta. Yaitu baliq, berakal sehat, dan pandai ( dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk ). 2. Gadaian dilakukan dengan hutang yang wajib. 3. Barang yang digadaikan dapat dinilai dengan uang sehingga dapat digunakan untuk membayar hutang atau dapat dijual untuk membayar hutangnya jika ia tidak dapat membayar. 4. Barang yang digadaikan milik penggadai atau ia mendapat izin menggadaikannya.
MANFAAT RAHN Pemilik gadai berhak mengambil manfaat dan pengembangannya karena barang itu miliknya. Orang lain tidak boleh mengambil manfaatnya tanpa seizinnya. Kalangan Hanabilah berpendapat, jika barang gadai berupa kendaraan atau hewan perahan, maka pemegang gadai boleh mengendarainya dan memerahnya sesuai dengan biaya perawatan yang dikeluarkan tanpa izin pegadai Adapun mayoritas fuqoha’ dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa pemegang gadai tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian karena manfaatnya tetap menjadi hak penggadai Menurut Imam Ahmad pemegang gadai boleh memanfaatkan sesuatu yang digadaikan dengan dikendarai atau diperah sesuai dengan biaya perawatan yang dikeluarkan Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 madhab hal 179
BARANG TERGADAI YANG RUSAK Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kekuasaan orang yang menerima gadai adalah kekuasaan kepercayaan sehingga ia tidak menaggung kerusakan barang gadai kecuali disebabkan oleh kesalahannya. Hanafiyyah berpendapat bahwa kekuasaan pemegang gadai adalah kekuasaan menanggung sehingga ia menanggung barang gadai yang rusak Kalangan Malikiyyah membedakan antara barang yang dapat disembunyikan, seperti perhiasan, dan barang yang tidak dapat disembunyikan, seperti hewan dan pekarangan. Pemegang gadai menaggung pada barang pertama dan tidak menanggung pada barang kedua kecuali karena ketelodorannya. Pendapat yang rojih ( valid )adalah barang gadai merupakan amanat di tangan pemegang gadai, Maksudnya, penggadai mempunyai hak manfaat atau hasil barang yang ia gadaikan. Dan ia juga menaggung kerugian dan kerusakannya. Penggadai telah rela menyerahkan amanah kepada pemegang gadai sehingga ia seperti orang yang menitipkan barang.
HAK MENJUAL BARANG GADAI Barang gadai adalah hak pegadai dan masih menjadi miliknya Jika penggadai tidak mau menjual barangnya maka hakim menahannya dan memaksa untuk menjual barangnya. Jika ia tetap tidak melaksanakan maka hakim yang menjual dan membayarkan hutangnya, demikian ini pendapat Syafi’iyah, dan Hanabilah. Malikiyyah berpendapat bahwa hakim menjual barang yang digadaikan, membayarkan hutang penggadai, tatapi tidak menahannya Hanafiyyah berpendapat bahwa pemegang gadai berhak menuntut penggadai untuk melunasi hutangnya, dan meminta hakim menahannya jika jelas-jelas menunda membayar hutangnya. Hakim tidak boleh menjual barang gadaian karena terkena hajr ( ditahan membelanjakan hartanya ), akan tetapi ia ditahan sampai menjualnya karena mengantisipasi adanya kezhaliman
Pendapat yang valid adalah hakim boleh menjual barang gadai dan menggunakannya untuk membayar hutang penggadai tanpa menahannya karena tujuannya adalah untuk melunasi hutang. Jika harga barang dapat menutupi jumlah hutangnya maka telah selesai urusan hutang piutang. Jika tidak cukup maka penggadai harus melunasi kekurangannya.
Aplikasi dalam perbankan kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal sebagai berikut : 1. Sebagai produk pelengkap Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahann( jaminan/ collateral ) terhadap prodak lain seperti dalam pembiayaan bai’ al murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut. 2. Sebagai produk tersendiri Di beberapa Negara seperti Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternative dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa adalah nasabah tidak dikenakan bunga, yang di pungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran. Perbedaan utama adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan dimuka. Muhammad syafi’I Antonio, Bank Islam Dari Teori Ke Praktik, hal : 130
TEKNIS PERBANKAN 1. Melalui bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan tidak merusak barang yang digadai. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab. 2. Apabila nasabah wanptestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. 3. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kelebihan tersebut menjadi milik nasah. 4. Bila hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah wajib menutupi kekuranganya. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Hal 80
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip ar- rahn adalah sebagai berikut : 1. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank. 2. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang ( marhun ) yang dipegang oleh bank. 3. Jika rahn ditetapkan dalam sistem pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah. Muhammad syafi’I Antonio, Bank Islam Dari Teori Ke Praktik, hal : 130
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah : 1. Risiko tak terbayarnya hutang nasabah ( wanprestasi ) 2. Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak. Muhammad syafi’I Antonio, Bank Islam Dari Teori Ke Praktik, hal : 131
(2) Permohonan Pembiayaan Marhun Bih ( Pembiayaan ) Secara umum, penerapan gadai yang dikombinasikan dengan pembiayaan di perbankan syariah, dapat digambarkan sebagai berikut : (2) Permohonan Pembiayaan Marhun Bih ( Pembiayaan ) Rahin ( Nasabah ) (3) Akad Pembiayaan Murtahin ( Bank ) (4)Utang + Mark up Marhun ( Jaminan ) (1)Titipan/ Gadai pembiayaan
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:26/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn Emas. 1). Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn (lihat Fatwa DSN nomor: 25/DSN-MUI/ III/2002 tentang Rahn). 2). Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin). 3). Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin). 4). Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah. Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, BI (Internet )
Kesimpulan Rahn termasuk dalam salah satu jenis akad pelengkap, sedangkan dalam kontek perusahaan umum pegadaian rahn merupakan produk utama. Perbedaan rahn dengan pegadaian biasa adalah nasabah tidak dikenakan bunga, yang di pungut dari nasabah hanyalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran. Perbedaan utama adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan dimuka.
Daftar Pustaka : Antonio, Muhammad Safi’I, 2007, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta. Ath- Thayyar, Abdullah bin Muhammad., Al- Muthlaq, Abdullah bin Muhammad dan Muhammad bin Ibrahim, 2009, Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 madzhab, Maktabah Al Hanif, Jakarta. Anshari, Abdul Ghofur, 2009, Perbankan syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sudarsono, Heri, 2008, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta. Zuhdi, Masjfuk, 1997, Masail Fiqhiyah, Toko Gunung Agung, Jakarta