Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

PENUNTUTAN Dr. SETYO UTOMO,SH., M.Hum.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "PENUNTUTAN Dr. SETYO UTOMO,SH., M.Hum."— Transcript presentasi:

1 PENUNTUTAN Dr. SETYO UTOMO,SH., M.Hum

2 TEKNIK PENYUSUNAN PENDAPAT PENUNTUT UMUM KEBERATAN PENASEHAT HUKUM
( 6 ) TEKNIK PENYUSUNAN PENDAPAT PENUNTUT UMUM ATAS KEBERATAN PENASEHAT HUKUM

3 PENDAPAT JPU ATAS KEBERATAN PENASEHAT HUKUM DAN PERLAWANAN
A. KEWENANGAN MENGADILI Kewenangan Mengadili Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri berwenang mengadili semua perkara pidana yang terjadi atau dilakukan di dalam daerah hukumnya. Setiap kabupaten/ Kota dibentuk suatu pengadilan negeri, Kejaksaan Negeri dan resort Kepolisian Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya : Terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan / ditangkap atau ditahan; dan Sebagian besar saksi yang dipanggil ke sidang pengadilan, tempat tinggalnya lebih dekat pada pengadilan negeri tersebut dari pada tempat pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya tindak pidana itu dilakukan. Maka Pengadilan Negeri dimana terdakwa bertempat tinggal atau ditahan tadi berwenang mengadili

4 Seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana di dalam daerah hukum pengadilan yang berbeda-beda, tapi ada hubungannya satu sama lainnya, terbuka kemungkinan penggabungan perkara-perkara tersebut dan diadili oleh salah satu dari PN yang berwenang. Dalam hal suatu pengadilan negeri tidak memungkinkan mengadili suatu perkara (karena bencan alam, huru-hara, faktor keamanan dll) maka atas usul Ketua PN atau KAJARI setempat MA mengusulkan kepada MENKEH dan HAM untuk menetapkan PN lain selain dari PN yang berwenang mengadili perkara itu. Dalam hal seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili dengan hukum Republik Indonesia, maka PN Jakarta Pusat berwenang mengadili.

5 Kewenangan Mengadili Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi berwenang mengadili semua perkara yang diputus oleh PN dalam daerah hukumnya yang diminta banding. Jadi Pengadilan Tinggi hanya berwenang mengadili terhadap : Perkara pidana yang telah diputus oleh PN PN tersebut berada dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi tersebut Atas permintaan terdakwa dan / atau Penuntut Umum Catatan : Daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi sama dengan wilayah Propinsi / Daerah Tingkat I 3. Kewenangan mengadili Mahkamah Agung R.I Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara (pidana) yang diminta kasasi Daerah hukum MA sama dengan wilayah Republik Indonesia MA memeriksa ditingkat Kasasi, terhadap perkara pidana yang telah diputus PT, kecuali terhadap perkara tertentu atau putusan tertentu.

6 ALASAN KEBERATAN TERDAKWA / PENASEHAT HUKUM.
b.1 Keberatan Tidak Berwenang Mengadili. PN tidak berwenang mengadili terhadap perkara yang diajukan JPU karena yuridiksi, seperti UU No. 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditentukan ada 4 macam yuridiksi pengadilan, yaitu :Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara., Pengadilan Tipikor. Contoh : Seorang anggota TNI bernama A diperiksa dan diadili oleh Peradilan Militer, setelah pembacaan surat dakwaan, terdakwa / penasehat hukumnya mengajukan keberatan bahwa Peradilan Militer yang sedang memeriksa perkara itu sama sekali tidak berwenang karena saat melakukan tindak pidana A masih belum menjadi/berstatus anggota TNI dan yang berhak mengadili adalah Peradilan Umum sq. Pengadilan Negeri (Putusan MARI No. 01/SKMP/Pid/1989 tanggal 30 Juni 1990. Keberatan yang menyangkut kompetensi dapat berupa ketidakwenangan mengadili secara absolute maupun kompetensi reltive. Mengenai kompetensi sudah diatur dalam pasal 84 KUHAP, antara lain : PN berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya. PN yang di dalam daerah hukumnya terdakwa terakhir tinggal , ditempat ia ditahan, hanya berwenang mengadili apabila kebanyakn saksi … Seorang melakukan tindak pidana di beberapa tempat, masing-masing PN berwenang Beberapa perkara pidana di berbagai wilayah hukum PN; dimungkinkan untuk digabungkan.

7 b.2 Keberatan Dakwaan Tidak Dapat Diterima.
Terjadi apabila ketentuan pasal 143 (2) KUHAP mengenai Syarat Formal Surat Dakwaan tidak terpenuhi Keberatan berdasarkan alasan Surat Dakwaan itu harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tidak pidana dilakukan, bila syarat ini tidak dipenuhi maka dakwaan menjadi tidan jelas (obscurum libelium) akibatnya Surat Dakwaan batal demi hukum. Meskipun belum satupun Yurisprudensi yang dapat menjadi pegangan Surat dakwaan adalah obscurum libelium, namun ada beberapa kasus yang dapat dipakai sebagai contoh : Apabila yang didakwakan oleh JPU dalam Surat Dakwaan telah kadaluwarsa. (pasal 78 KUHP) Adanya “nebis in idem” Tindka pidana aduan (klacht delict) Adanya unsur yang didakwakan PU tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan. Perbuatan yang dilakukan terdakwa bukan perbuatan tindak pidana, tapi merupakan lingkup hukum perdata

8 b.3 Keberatan Surat Dakwaan Harus Dibatalkan. (Pasal 143 KUHAP)
Seperti telah diuraikan di depan, uraian cermat, jelas dan lengkap mengandung makna bahwa dalam pembuatan Surat Dakwaan JPU harus korek dan teliti dalam mempersiapkan Surat Dakwaan, lengkap menyebutkan unsur delik, jelas menguraikan fakta perbuatan dan kejadian, sehingga terdakwa benar-benar memahami dakwaan terhadap dirinya. Putusan MA No. 33 K/MII/1985 tanggal 15 PEbruari 1985 : “Karena Surat Dakwaan tidak dirumuskan secara lengkap dan tidak cermat, dakwaan dinyatakan batal demi hukum”. Putusan MA No. 808 K/Pid/1985 tanggal 29 Juni 1985 : “Dakwaan tidak cermat, tidak jelas, tidak lengkap sehingga harus dinyatakan batal demi hukum”. Contoh : Putusan sela Majelis Hakim PN Tegal tanggal 26 Juni 1985 No. 34/Pid.B/1985 memutuskan penyidik Mabes Polri dalam kasus penyelundupan kayu dengan terdakwa AKI (Oh Pek Kie) alias Pontjodiyono adalah tidak sah menurut hukum, karena selama proses penyidikan terdakwa tidak didampingi Penasehat Hukum. Karena dakwaan dibuat berdasarkan Berita Acara yang tidak sah maka Majelis Hakim berpedapat Surat Dakwaan tidak dapat diterima.

9 b.4 Putusan Hakim Atas Keberatan Terdakwa / Penasehat Hukum
(Pasal 156 ayat (1) KUHAP) “… maka setelah diberi kesempatan kepada JPU untuk menyatakan pendapatnya. Hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”. Apakah yang dimaksud dengan “keputusan” dalam pasal di atas, apakah berbentuk Penetapan atau Keputusan Akhir. Dalam KUHAP tidak diatur secara jelas apa yang dimaksud dengan putusan sela, namun istilah ini lahir dalam praktek hukum. Pada umumnya putusan sela berbentuk sebuah Penetapan. Dalam hal keberatan terdakwa / penasehat hukum pada masalah kewenangan / kompetensi dipakai sebagai contoh adalah putusan MA No. 697 K/Pid/1988 tgl. 31 Maret 1988 yaitu apabila dalam surat dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa baik dalam dakwaan primair, subsidair maupun lebih subsidair ternyata locus delicti di Surakarta. Akan tetapi ternyata pengadilan yang mengadili tersebut adalah PN Surabaya, maka terdakwa / pensaehat hukum mengajukan keberatan kompetensi relatif, sehingga diktum putusan MA adalah : Menetapkan bahwa perkara pidana ini teramsuk wewenang PN Surakarta Memerintahkan PN Surakarta untuk memeriksa dan mengadili terdakwa Mengirimkan berkas perkara ke PN Surabaya disertai perintah agar melalui JPU perkara tersebut dilimpahkan ke PN Surakarta Apabila surat dakwaan ditetapkan / diputuskan “batal atau batal demi hukum” atau dinyatakan “tidak dapat diterima”. JPU setelah memperbaiki / menyempurnakan surat dakwaan yang dibatalkan atau dinyatakan tidak diterima oeh Hakim masih dapat dibenarkan untuk dilimpahkan kembali perkaranya ke PN.

10 C. TEHNIK MEMBUAT PENDAPAT JPU ATAS KEBERATAN (Pasal 156 KUHAP)
“Dalam hal terdakwa atau Penasehat Hukum …, maka setelah diberi kesempatan kepada JPU untuk menyatakan pendapatnya. …”. Secara teliti dan cermat JPU mempelajari alasan keberatan yang diajukan, terutama dihubungkan dengan pasal yang mengatur mengenai “keberatan terdakwa” (psl. 156 KUHAP), selanjutnya apa argumentasi terdakwa / penasehat hukumnya dalam mengajukan keberatan, hal ini penting untuk bisa menilai apakah keberatan dan argumentasinya memang menjadi / di dalam lingkup keberatan yang ditentukan oleh UU. Terutama di dalam hal keberatan dengan argumentasi dakwaan JPU kabur (obscure) sering terjadi “keberatan” berargumentasi yang tersirat sebagai suatu pembelaan/pledoi. Menghadapi hal ini JPU tidak serta merta menyatakan bahwa keberatan yang diajukan diluar lingkup keberatan yang ditentukan oleh UU, namun secara jelas dan rinci JPU harus dapat menunjukkan bahwa dakwaan yang diajukan telah memenuhi syarat baik formil maupun materil yuridis sehingga tidak cukup alasan untuk mengajukan keberatan.

11 Selanjutnya, JPU dapat mengajukan perlawanan / verzet apabila ternyata keberatan terdakwa / penasehat hukumnya diterima oleh Hakim. Pasal 149 KUHAP Dalam hal Penuntut Umum berkebratan terhadap surat penetapan Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam pasal 148, maka : Ia mengajukan perlawanan (verzet) kepada PT yang bersangkutan dalam waktu 7 hari setelah penetapan tersebut diterima. Tidak dipenuhi tenggang waktu tsb di atas mengkibatkan batalnya perlawanan. Perlawanan tsb disampaikan kepada Ketua PN sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 dan hal ini dicatat dalam daftar buku panitera Dalam waktu 7 hari PN wajib meneruskan perlawanan tsb kpd PT yang bersangkutan. PT dalam waktu paling lama 14 hari setelah menerima perlawanan tsb dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat penetapan.

12 Selesai Terima Kasih


Download ppt "PENUNTUTAN Dr. SETYO UTOMO,SH., M.Hum."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google