Pajak Pertambahan Nilai Praktik Kerja Industri 2009 CV CIPTA JASATAMA ciptajasatama@yahoo.co.id Arsanto Raharjo Arsanto_raharjo@yahoo.co.id
Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mengikuti kegiatan ini para peserta diharapkan mampu menjelaskan berbagai pengertian dan peraturan yang terkait dengan PPN, PPn BM dan Bea Materai serta menghitung besarnya PPN, PPn BM dan Bea Materai yang terutang dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dengan baik.
Pokok Bahasan : Pengertian Dasar PPN
Sub Pokok Bahasan Latar Belakang PPN Mekanisme Pemungutan PPN Karakteristik PPN Dasar Hukum PPN
Latar Belakang UU Pajak Penjualan (PPn) 1951 : Menimbulkan pajak berganda Dualisme sistem pemungutan pajak menyulitkan pengawasan Penyelundupan pajak Variasi tarif (9 macam)
Karakteristik PPN PPN merupakan Pajak Tidak Langsung PPN adalah Pajak Obyektif PPN bersifat Multi-stage PPN menggunakan Indirect subtraction method Credit method Invoice method PPN merupakan pajak atas konsumsi umum dalam negeri PPN bersifat netral PPN tidak menimbulkan pajak berganda
Karakteristik PPN PPN merupakan Pajak Tidak Langsung Penjual Penanggung jawab Pemikul beban pajak Pembeli BKP/JKP PPN Otoritas Pajak
Karakteristik PPN PPN bersifat Multi-stage dan Tidak Menimbulkan pajak berganda Pabrik Benang Tekstil Pakaian Jadi Pedagang Besar Konsumen Pakaian Pedagang Eceran
Karakteristik PPN PPN bersifat Multi-stage dan Tidak Menimbulkan pajak berganda
Mekanisme PPN Susunan Biaya Produksi dan Harga Jual
Mekanisme PPN Addition Method Nilai Tambah 3.500 PPN : 10% X 3.500 = 350
Mekanisme PPN Subtraction Method Harga Jual 7.500 Harga Beli 4.000 Selisih 3.500 PPN : 10% X 3.500 = 350
Mekanisme PPN Credit Method Harga Beli 4.000 PPN Beli : 10% X 4.000 = 400 Harga Jual 7.500 PPN Jual : 10% X 7.500 = 750 PPN Wajib Disetor : 750 – 400 = 350
Kelebihan PPN Mencegah pajak berganda Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri Konsumen sebagai pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh PPN sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya
Kelemahan PPN Biaya administrasi relatif tinggi dibandingkan dengan PTL lainnya Dampak regresif Rawan manipulasi/penyelundupan sehingga menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat dalam administrasi pajak
Dasar Hukum UU No 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM Ditetapkan 31 Desember 1983, Mulai Berlaku 1 Juli 1984 PERPU No 1/1984 menangguhkan berlakunya UU No.8/1983 s.d paling lambat 1 Januari 1986 Disebut dengan “UU PPN 1984” UU No 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU No. 8/1983 tentang PPN dan PPnBM Ditetapkan 9 Nopember 1994, Mulai Berlaku 1 Januari 1995 Disebut dengan “UU Perubahan UU PPN 1984”
Dasar Hukum UU No 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua UU No. 8/1983 tentang PPN dan PPnBM Ditetapkan 2 Agustus 2000, Mulai Berlaku 1 Januari 2001 Disebut dengan “UU Perubahan Kedua UU PPN 1984” UU No.8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 18 Tahun 2000
Dasar Hukum Hal-hal yang diatur dengan PP Penetapan Jenis Barang dan Jasa yang tidak dikenakan PPN atau PPn BM (Pasal 4A); Mengubah tarif PPN (Pasal 7 (3)) Penetapan kelompok BKP yang tergolong mewah (Pasal 8(3)); Pasal 16B (1) : Menetapkan pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik sementara ataupun selamanya atau Dibebaskan dari pengenaan pajak untuk kegiatan di kawasan tertentu, penyerahan tertentu, impor tertentu, Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP dari luar daerah pabean tertentu Hal-hal yang belum diatur UU PPN (Pasal 19)
Sub Pokok Bahasan Objek Pajak Subjek Pajak Tarif PPN Dasar Pengenaan Pajak
Objek Pajak Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas : penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; impor Barang Kena Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 4 UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000)
Objek Pajak Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenakan pajak berdasarkan UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000 Pengusaha adalah PKP ataupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP namun belum dikukuhkan Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Objek Pajak Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian; pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing; penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak; persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan; penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang; penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
Objek Pajak Impor Barang Kena Pajak Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak, maka siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenakan pajak
Objek Pajak Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenakan pajak berdasarkan UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000
Objek Pajak Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang telah dikukuhkan sebaga PKP maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak, penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Objek Pajak Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean karena suatu perjanjian di dalam Daerah Pabean.
Objek Pajak Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dapat berupa hak-hak seperti hak paten, hak oktroi, hak cipta, dan hak menggunakan merek dagang, yang dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, baik yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun yang berstatus bukan sebagai Pengusaha Kena Pajak, di dalam Daerah Pabean Indonesia. (SE-08/PJ.51/1995 )
Objek Pajak Ekspor BKP oleh PKP Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
Objek Pajak Yang TIDAK termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah : penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang; penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang; penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang
Pengecualian Objek Pajak PP 143/2000 Pelaksanaan UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2003 PP 144/2000 Jenis Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai KMK 168/KMK.03/2002 Penyerahan Jasa Pengiriman Surat Dengan Perangko Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai Kep Dirjen KEP-370/PJ./2002 Jasa Di Bidang Angkutan Umum Di Darat Dan Di Air Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
Subjek Pajak Pengusaha Kena Pajak Pengusaha adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Subjek Pajak Badan Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. Termasuk dalam pengertian bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang PPN, adalah bentuk kerjasama operasi (PP 143/2000 Pasal 2(2))
Subjek Pajak Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak diwajibkan : melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; memungut pajak yang terutang; menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, menyetorkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang; melaporkan penghitungan pajak.
Subjek Pajak Saat Pengukuhan Ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan Pasal 2(5) UU No.6/1983 stdtd UU No.16/2000
Subjek Pajak Pengusaha Kecil Pengusaha yang selama 1 tahun buku melakukan penyerahan BKP atau JKP dengan jumlah peredaran < Rp600.000.000 (KMK 571/2003) Atas penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil TIDAK dikenakan PPN (KMK 552/2000) Pengusaha Kecil yang Memilih Dikukuhkan sebagai PKP berlaku sepenuhnya UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000
Subjek Pajak Pengusaha Kecil Pengusaha yang selama 1 tahun buku melakukan penyerahan BKP atau JKP dengan jumlah peredaran < Rp600.000.000 (KMK 571/2003) Atas penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil TIDAK dikenakan PPN (KMK 552/2000) Pengusaha Kecil yang Memilih Dikukuhkan sebagai PKP berlaku sepenuhnya UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000 Kewajiban Melaporkan Usaha KMK 571/2003 KMK 552/2000 SE 33/2003
Tarif Pajak Tarif PPN adalah : Tarif 0% atas ekspor BKP : 10 % 0 % untuk ekspor BKP Tarif 0% atas ekspor BKP : bukan berarti pembebasan sehingga Pajak Masukan yang telah dibayar atas barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan
Dasar Pengenaan Pajak PPN = Tarif X DPP DPP adalah : Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Dasar Pengenaan Pajak Nilai Lain KMK No.251/KMK.03/2002 (Perubahan KMK No. 567/KMK.04/2000) untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual rata-rata; untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film; untuk persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar; untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar;
Dasar Pengenaan Pajak Nilai Lain KMK No.251/KMK.03/2002 (Perubahan KMK No. 567/KMK.04/2000) untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari Harga Jual; untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih; untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih; untuk jasa anjak piutang adalah 5% (lima persen) dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon; untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; untuk penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.
Sub Pokok Bahasan Saat dan Tempat Pajak Terutang Faktur Pajak Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-cuma Pembukuan dan Pencatatan
Saat Pajak Terutang Terutangnya pajak pada saat : Penyerahan BKP; Impor BKP; Penyerahan JKP; Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean Ekspor BKP (Pasal 11 ayat (1) UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000)
Saat Pajak Terutang Dasar akrual : Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui "electronic commerce" tunduk pada ayat ini. (Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU No.8/1983 stdtdUU No.18/2000)
Saat Pajak Terutang Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. (Pasal 11 ayat (2) UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000)
Saat Pajak Terutang Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. (PP 143/2000 Pasal 13)
Saat Pajak Terutang Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli: (PP 143/2000 Pasal 13)
Saat Pajak Terutang Contoh 1 : Contoh 2 : Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 Mei 2001, Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 September 2001. Saat pajak terutang adalah tanggal 1 September 2001. Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Pajak terutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang. Contoh 2 : Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001. Saat Pajak terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Pajak terutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.
Saat Pajak Terutang Contoh 3 : Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 September 2001. Saat Pajak terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Penyerahan barang tidak bergerak yang dilakukan dengan suatu perjanjian akan menyerahkan barang tersebut dalam masa tertentu tidak dapat digunakan untuk menentukan saat Pajak terutang,
Saat Pajak Terutang Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini : a. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak; b. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak; c. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena Pajak; atau d. saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c tidak diketahui, (PP 143/2000 Pasal 13)
Saat Pajak Terutang Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Terutangnya Pajak atas impor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. Terutangnya Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean. Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pemekaran usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, terjadi pada saat ditandatanganinya akte yang berkenaan oleh Notaris. (PP 143/2000 Pasal 13)
Saat Pajak Terutang Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan atau persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat : a. ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris; atau b. berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; atau c. tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan; atau d. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada. (PP 143/2000 Pasal 13)
Tempat Pajak Terutang (1)Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c dan huruf f terutang pajak di tempat tinggal atau tempatkedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. (2)Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan satu tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang. (3)Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (4)Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha. (Penjelasan Pasal 13 UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000)
Tempat Pajak Terutang (1) Tempat Pajak terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan,yaitu di tempat Pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. (2) Tempat Pajak terutang atas : a. Impor Barang Kena Pajak, adalah di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan ke dalam Daerah Pabean; b. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean adalah di tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan dalam hal orang pribadi atau badan tersebut bukan sebagai Wajib Pajak atau di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak; c. Kegiatan membangun sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya atau oleh bukan Pengusaha Kena Pajak, adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. (3) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat Pajak terutang atas ekspor Barang Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan. (PP 143/2000 Pasal 14)
Tempat Pajak Terutang Orang pribadi "A" yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi "A" tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, maka orang pribadi "A" hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi "A" adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi "A" hanya di tempat tinggalnya saja, maka orang pribadi "A" hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Bogor. Namun demikian, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi "A" melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka orang pribadi "A" wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Cibinong, karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong. (Penjelasan Pasal 12 ayat (1) UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000)
Tempat Pajak Terutang PT A mempunyai 3 tempat melakukan kegiatan usaha, masing-masing di kota Bengkulu, Curup dan Manna yang ketiganya berada dibawah pelayanan satu Kantor Pelayanan Pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Bengkulu. Ketiga tempat usaha tersebut masing-masing melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dan masing-masing melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan, sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha, misalnya tempat kegiatan usaha yang berada di Bengkulu untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga cabang perusahaan btersebut. (Penjelasan Pasal 12 ayat (1) UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000)
Faktur Pajak Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (Pasal 1 angka 23 UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c. Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim. (Pasal 13 UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000)
Faktur Pajak Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (Pasal 13 UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000)
Faktur Pajak KEP-549/PJ./2000 KEP-323/PJ./2001 KEP-433/PJ./2002 Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, Dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar KEP-323/PJ./2001 Perubahan Atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-549/PJ./2000 Tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tatacara Penyampaian Dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar KEP-433/PJ./2002 Perubahan Kedua Atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-549/PJ/2000 Tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan Tata Cara Penyampaian, Dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar
Faktur Pajak Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat : a.Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; b.Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; c.Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga; d.Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; e.Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut; f.Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan g.Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. (Pasal 13 UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000)
Faktur Pajak Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak. Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana yang persyaratannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak (Pasal 13 UU No.8/1983 stdtd UU No.18/2000) Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan pengisiannya sesuai dengan ketentuan dalam ayat (2) dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak Standar. (PP 143/2000 Pasal 15)
Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-cuma KEP-87/PJ./2002 Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pemakaian Sendiri Dan Atau Pemberian Cuma-cuma Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak KMK No. 251/KMK.03/2002 Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/Kmk.04/2000 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak SE-04 /PJ.51/2002
Pembukuan dan Pencatatan Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teraur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir (Pasal 1 angka 26 UU KUP) (1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. (2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. (Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU KUP)
Pembukuan dan Pencatatan Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. (Pasal ayat (7) UU KUP) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final. (Pasal ayat (9) UU KUP)
Pembukuan dan Pencatatan Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain. (Penjelasan Pasal 28 ayat (7))
Praktik Kerja Industri 2009 PPn BM Praktik Kerja Industri 2009 CV CIPTA JASATAMA ciptajasatama@yahoo.co.id Arsanto Raharjo Arsanto_raharjo@yahoo.co.id
Pasal 5 (1) Disamping pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap : a.Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; b.impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah. (2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor
Penjelasan Pasal 5 (1) perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi; perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah; perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; perlu untuk mengamankan penerimaan negara;
Penjelasan Pasal 5 (1) Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dalam ayat ini adalah : bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.
Pasal 1 Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan dalam ayat ini adalah kegiatan: a.merakit b.memasak c.mencampur d.mengemas e.membotolkan dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu, atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Pasal 8 (1) Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen). (2) Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen). (3) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 10 (1) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dengan Dasar Pengenaan Pajak (2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut berdasarkan Undang-undang ini. (3) Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu perolehan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut
Pasal 6 PP No.143/2000 Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, maka cara penghitungan Pajaknya adalah sebagai berikut: a. PPN = [10/ (110 + T)] X Harga atau Pembayaran atas BKP b. PPn BM= [ T / (110 + T) ] X Harga atau Pembayaran atas BKP dimana T = Tarif PPn BM