CONSTRAINTS ON THEWAGING OF WAR

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN DAN ANGGOTA KELUARGANYA
Advertisements

Berkelas.
HUKUM KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
POKOK-POKOK HUKUM PIDANA oleh : Susan Fitriasari Heryanto,M.Pd
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
ETIKA KESEHATAN MASYARAKAT DAN PERMASALAHANNYA
HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
MEKANISME HAM PBB.
AZAS-AZAS HUKUM INTERNASIONAL
SANKSI PELANGGARAN HUKUM PERANG
HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
MSDM – Handout 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial
Hak-hak Sipil dan Politik
GERAKAN PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL.
Hak atas Kebebasan Pribadi
ANGGOTA: ANGGI JANTI T Y (02) DHINA WINDY A (09) MUHAMMAD IRSYAD S (19) ZUHROUL FAUZIATUL U (32) XI IPA 2 Kelompok 7.
Keterkaitan Rahasia Dagang dengan Perjanjian Kerja
KETENTUAN TENTANG POLITIK UANG dalam UU No. 10 Tahun 2016
HUKUM HUMANITER Oleh : W A R I D I.
KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK
A. Segi Hukum Perdata Pada setiap kegiatan usaha pembiayaan, termasuk juga kartu kredit, inisiatif mengadakan hubungan kontraktual berasal dari para pihak.
Prinsip-Prinsip dalam Hukum Humaniter
Hukum Acara Pidana Hak Tersangka dan Terdakwa
KEDUDUKAN PERKUMPULAN PASCA DISAHKANNYA UU ORMAS
PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
TUJUAN PENGATURAN PENYELENGGARAAN PONDOKAN
Direktorat Pelayanan Komunikasi Masyarakat 2016
PENDAHULUAN IKANINGTYAS,SH.
HUKUM INTERNASIONAL.
PERLINDUNGAN TAWANAN PERANG (PRISONER OF WAR)
Materi 10.
INSTRUMEN HAM INDONESIA
Yurisdiksi Kekuasaan atau kompetensi hukum sebuah negara terhadap orang, benda ataupun peristiwa hukum. Yurisdiksi: Legislatif: membuat dan menetapkan.
PKNI4310 Arti dan Ruang Lingkup Hubungan Internasional
HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER
Hukum Perikemanusiaan Internasional
Konvensi Jenewa IKANINGTYAS.
PENYIDIKAN.
Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 telah ditentukan menjadi 3 bidang usaha: 1. Bidang Usaha Terbuka 2. Bidang Usaha Tertutup 3. Bidang.
DR.Eva Achjani Zulfa,SH,MH
Instrumen Hukum Dan Peradilan Internasional HAM
HUKUM LAUT INTERNASIONAL
PELAKSANAAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM RELASI HUKUM DAN KEKUASAAN SERTA DALAM MENGHADAPI ISU-ISU GLOBAL Kelompok 10 Anesta Ebri Dewanty
“CONSTRAINTS ON THE WAGING OF WAR: An Introduction to International Humanitarian Law” USMAR SALAM.
UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Ancaman Terhadap Kebebasan Berekspresi.
Etty R. Agoes Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung
CONSTRAINTS on the WAGING of WAR Chapter 1: Introduction
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
BAB 5 SISTEM HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL
The Hague, Geneva, New York
ETIKA KESEHATAN MASYARAKAT DAN PERMASALAHANNYA
SUMBER HUKUM HUMANITER
Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (I)
Landasan Kontinen O L E H Tim Pengajar Kelompok 9.
UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2010
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S
Instrumen HAM Modern.
Peraturan Pemerintah Republik INDONESIA Nomor 1 tahun 1970
BADAN USAHA TIDAK BERBADAN HUKUM
Kelompok 3: Bagus Kurniawan Pratikto Pelangi Pangestika Dwi
"LEMBAGA NEGARA" Ericson Chandra.
Mahkamah Konstitusi. Rifqi Ridlo Phahlevy.
Pengungsi Korea Utara, Pelanggaran HAM dan Upaya UNHCR dalam Menyelesaikannya North Korean Refugees, Human Rights Violation and UNHCR Efforts Fadilla Jamila.
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S
MSDM – Handout 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial.
MATERI FILSAFAT HUKUM - HUKUM YANG MENGATUR KEMANFAATAN KETENTUAN KODE ETIK NOTARIS.
KEDAULATAN NEGARA VERSUS KEKEBALAN DIPLOMATIK AMINUDDIN ILMAR.
LAMBANG. FUNGSI LAMBANG IDENTITAS PENGENAL … (NEGARA, ORGANISASI, KLUB, AKTIVITAS, PERUSAHAAN, DSB)
HUKUM INTERNASIONAL HAK LINTAS KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING.
Transcript presentasi:

CONSTRAINTS ON THEWAGING OF WAR Chapter 5: POST--1977 DEVELOPMENTS: SUBSTANTIVE LAW USMAR SALAM  

Conventional Weapons The Weapons Convention of 1980 and Annexed Protocols :tentang senjata yang kerap diindikasikan sebagai “dubious weapons (senjata yang diragukan)”  karena tidak sejalan dan berbeda dengan prinsip hukum humaniter. The Weapons Convention sendiri setidaknya memiliki 11 pasal yang membicarakan dampak dari pengaplikasian senjata, penggunaan kekerasan, dan revisi dari Convention dan Protocols. Weapons Convention dan Annexed Protocols dapat diterapkan dalam konflik bersenjata internasional, termasuk di dalamnya perang nasional dalam upaya kemerdekaan, tapi tidak berlaku bagi konflik bersenjata internal

Pasal 6, Convention dan Annexed Protocols harus disebarkan oleh negara baik dalam keadaan damai ataupun perang ke segala kalangan seluas mungkin Sistem penandatanganan yang terpisah tersebut memungkinkan suatu negara menjadi bagian dari suatu protokol sedangkan yang lain tidak. Namun, untuk menjadi bagian dari konvensi, setidaknya harus menandatangani 2 dari 3 porotokol yang ada. Artikel 7 ayat 4 mengharuskan segala variasi dan perubahan dalam konvensi diterapkan di perang kemerdekaan/national liberation. Artikel 8: apabila ada amandemen atau tambahan yang diajukan salah satu delegasi, maka harus ada persetujuan dari mayoritas pihak negara.

Protokol I : non-detectable fragment  Melarang penggunaan senjata yang dapat merusak organ dalam manusia  protokol ini sesuai dengan prinsip HHI yang mencegah kerusakan yang tidak perlu  dibuat untuk melindungi kombatan  meskipun dibuat, tapi kenyataannya senjata jenis ini memang jarang, bahkan keberadaannya diragukan.

Protokol II : ranjau, jebakan, dan lain-lain.  Melarang penggunaan ranjau, jebakan, dan sejenisnya  Untuk melindungi warga sipil dan kombatan Artikel 1: peraturan ini berlaku di darat (termasuk pantai, waterway crossing, dan sungai), tapi tidak berlaku di laut. Senjata-senjata ini dilarang karena tidak bisa membedakan sasaran. Artikel 4 melarang penggunaan senjata-senjata tersebut di pedesaan ataupun perkotaan yang memiliki populasi sipil bila tidak/akan ada konflik darat terbuka. Penggunaan senjata tersebut juga dilarang kecuali di sekitar objek militer lawan. Artikel 5 melarang penggunaan the use of remotely delivered mines,’ yaitu ranjau yang dilontarkan dari artileri, roket, mortar, atau pesawat. Penggunaannya hanya diizinkan pada wilayah objek militer musuh, dapat dicatat penempatannya, dan terdapat metode untuk menjinakkannya. Sebisa mugkin juga diberikan peringatan terlebih dahulu untuk menghindari korban sipil.

artikel 6 melarang penggunaan booby-traps dengan pertimbangan keselamatan dan keamanan para combatan dan diharapkan dengan adanya larangan penggunaan booby-traps dapat mengamankan combatan sebanyak masyarakat sipil. Dalam artikel 6(2) juga menekankan adanya pelarangan penggunaan kata “di segala situasi” dan juga melarang penggunaan booby-traps dengan alasan lain, yaitu melarang penggunaan booby-traps yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa dan berlebihan yang dapat mengakibatkan kematian perlahan atas combatan yang justru dapat digolongkan menjadi aksi penyiksaan. Artikel 7 memberikan perhatian kepada bahaya yang ditinggalkan pasca perang, persenjataan seperti ranjau darat dan booby-traps yang masih banyak tersebar di lokasi bekas peperangan. Artikel 8 berfokus dan meletakkan perhatian kepada “function of peace keeping, observation or similiar functions” di lokasi dimana booby-traps dan ranjau darat masih tersebar seperti yang diterangkan pada artikel ke tujuh Artikel 9 peraturan ini mendorong para aktor untuk bekerjasama dengan organisasi internasional, negara lain dan juga mungkin partai untuk bersama-sama menghilangkan dan menetralkan lokasi bekas perang dari adanya booby-traps dan ranjau darat

Protokol III: Incendiary weapons ataupun sejata yang mengakibatkan efek pembakaran. Artikel 1 dijelaskan mengenai definisi Incendiary weapons, yaitu segala macam senjata atau mesin yang didesign untuk menghasilkan kebakaran sebagai efek dari pelepasan senjata. Artikel 2 menyebutkan perlindungan atas masyarakat sipil dan properti yang dimiliki oleh masyarakat sipil. Dinyatakan bahwa terdapat larangan keras dalam segala kondisi maupun keadaan untuk menyerang permukiman warga yang jelas akan membahayakan keselamatan masyarakat sipil.

Protocol IV: blinding laser weapon Laser merupakan hal penting bagi operasi militer karena berfungsi menandai sasaran dan mengarahkan proyektil. dapat menyebabkan kebutaan sementara, bahkan permanen. Artikel 1 melarang ‘penggunaan senjata laser yang dirancang khusus, baik semata-mata untuk menjalankan fungsinya maupun sebagai alat perang perang, yang dapat menyebabkan kebutaan pada seluruh penglihatan’. Negara bersangkutan juga ‘tidak boleh mentransfer [senjata sebagaimana dijelaskan pada kalimat pertama] kepada entitas negara maupun non- negara mana pun’.

Artikel 2 menyatakan ‘dalam penggunaan laser, negara bersangkutan harus ‘mengambil langkah pencegahan untuk menghindari insiden kebutaan total yang permanen’, dengan ‘pelatihan angkatan bersenjata dan undang-undang praktis lain’ yang sesuai. Artikel 3 menambahkan, kebutaan sebagai ‘efek insidental atau tambahan dari penempatan legitimasi militer’ pada sistem, termasuk ‘penggunaan- penggunaan menentang perlengkapan optik, tidak termasuk dalam larangan dari Protokol ini’.

Amended Protocol II on mines, booby traps and similar devices  Proses amandamen Protokol Ranjau cenderung berbeda dibandingkan empat protokol lain di Konvensi Senjata  Amandemen Protokol juga diterapkan pada konflik bersenjata internal Artikel I mengatur mengenai semua ketentuan dan larangan pada protokol ini. Artikel 2 berisi daftar mengenai definisi-definisi kategori ranjau yang dilarang, salah satunya ‘ranjau anti-personel’ atau ‘ranjau yang terutama dirancang untuk diledakkan saat ini, dekat atau kontak dengan seseorang dan akan melumpuhkan, melukai atau membunuh satu atau lebih orang’. Artikel 3 mengatur rangkaian larangan-larangan umum penggunaan ranjau, dimana pada Artikel 3 (2) yang berdiri sendiri dinyatakan bahwa tiap negara dan pihak lain yang terlibat konflik ‘bertanggungjawab terhadap seluruh ranjau, booby-traps, dan alat-alat lainnya; serta berupaya untuk membersihkan, menghilangkan, menghancurkan dan meningkatkannya secara sepesifik.’

Artikel 4 melarang penggunaan ranjau yang tidak dapat terdeteksi. Artikel 5 menentukan larangan teknis dan larangan-larangan lain dalam hal penggunaan ranjau non-remotely-delivered anti-personnel. Artikel 6 pada ranjau jarak jauh, termasuk ranjau anti-personel. Artikel 7 menambahkan restriksi terhadap penggunaan booby-traps di wilayah yang menjadi pusat penduduk sipil yang bukan menjadi lokasi pertempuran, yang tidak akan terjadi setidaknya dalam waktu dekat.’ Artikel 8, implementasi Protokol yang berisi aturan-aturan dalam transfer. Artikel 9, rekaman dan penggunaan informasi mengenai ranjau, dll. Artikel 10, penghapusan serupa, dan kerjasama internasional. Artikel 11, perlindungan relawan, termasuk dari ICRC. Artikel 12-13, konsultasi antara negara terlibat, termasuk konferensi tahunan. Artikel 14, paksaan pada pihak terlibat untuk mengambil langkah legislastif dan hukum untuk mencegah dan menekan pelanggaran Protokol oleh orang maupun teritori yang berada di bawah kontrolnya, termasuk di antaranya pemberian sanksi.

Reciprocity and reprisals Ungkapan 'dalam segala situasi' dalam ketentuan ini menunjukkan bahwa penggunaan senjata atas dasar (negatif) timbal balik akan melanggar hukum. Mengenai “pembalasan” sebagai tindak lanjut 'offense atau defense’ dalam Mines Protocol dibahas dalam Pasal 51 (6) dari Protokol Tambahan I. Didalamnya terkandung larangan umum serangan balasan terhadap penduduk sipil atau warga sipil.

The Ottawa Convention on anti-personnel mines Konvensi ini berhasil dirumuskan melalui Konferensi Diplomatik di Oslo tanggal 18 September 1997 dan selanjutnya ditandatangani tanggal 3 sampai 4 Desember 1997 di Ottawa/Kanada. Intinya melarang setiap negara untuk menggunakan, menimbun, memproduksi dan memindahkan ranjau darat anti-personnel. Sesuai Konvensi ini, negara pihak wajib menghancurkan seluruh ranjau darat anti-personnel  yang dimiliki kecuali sejumlah ranjau darat yang digunakan untuk kepentingan riset dan pengembangan serta pelatihan di bidang teknik-teknik pelacakan, pembersihan dan penghancurannya.

Nuclear Weapons Jatuhnya tembok berlin, pembubaran uni soviet menyebabkan ancaman “kehancuran yang ditanggung bersama” Majelis umum PBB menyerahkan permasalahan kepada mahkamah internasional “ “Apakah ancaman atau penggunaan senjata nuklir dalam situasi apapun diperbolehkan oleh hukum internasional?” 8 juli 1996 dibahas oleh penasehat pengadilan  pertanyaan majelis umum abstrak dan membuat MK spekuliatif bahwa ini diluar lingkup pengadilan MK menyimpulkan hukum yang terkait tercantum dalam piagam PBB

Bacteriogical and chemical weapons Penggunaan dilarang melalui geneva protokol 1925, tapi belum begitu detail Perjanjian/protokol selanjutnya: 1972 ada convention banning bacteriogical weapons sampai 1933 Convention banning bacteriogical weapons ternyata efeknya lebih besar jika dibandingkan dengan protokol yang con.banning chemical weapons

Tapi 2 konvensi tambahan tidak menyatakan secar alangsung jika mereka ‘prohibiting’ the development of chemical weapons, tapi lebih ke arah reaffirms/reinforces pelanggaran dalam penggunaannya Semua poin yang ada di konvensi walaupun tidak tercatat pelanggaraan penggunaannya dan pengembangannya secara langsung dan dibuat dengan tujuan kepentingan pihak tertentu yang terkait di dalamnya, tetap memiliki pengaruh terhadap perdamaian dunia

Cultural Property 'Kebutuhan militer Imperatif', yang digunakan dalam Konvensi untuk menunjukkan bila 'menghormati' bisa dicabut, tidak lagi satu-satunya penentu untuk langkah ini dan telah dilengkapi dengan serangkaian kondisi yang berasal dari Tambahan Protokol I Protokol Tambahan I, yang membutuhkan baik bahwa objek 'oleh perusahaan alam, lokasi, tujuan atau penggunaan membuat kontribusi yang efektif untuk militer action 'dan bahwa' jumlah atau perusakan parsial, menangkap atau netralisasi, dalam keadaan yang berkuasa pada saat itu, menawarkan keuntungan militer yang pasti istilah 'fungsi' dalam Pasal 6 (a) berfungsi untuk menekankan bahwa kekayaan budaya tidak bisa sangat baik menjadi sasaran militer menurut sifatnya atau tujuan (meski orang tentang Belanda kementerian pertahanan).

Setiap anggota memilih setiap perwakilan yang memenuhi syarat dalam bidang budaya, hukum internasional pertahanan, dan mereka akan bersama-sama meyakini anggota lainnya bahwa Komite secara keseluruhan berisi orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut. Pasal 15 (2) dijelaskan bahwa perlu adanya tindakan untuk memastikan bahwa terjadi ‘tindak pidana’ yang harus di jatuhi sanksi hukum yang sesuai Pasal 16 (1) membutuhkan pihak-pihak yang diperlukan untuk mendirikan badan yuridiksi atas pelanggaran pasal 15. Pasal 16 (2) menjelaskan bahwa yuridiksi dapat memperoleh sebuah ‘kewenangan’, dan juga menetapkan bahwa jika Negara yang terlibat konflik menyetujui aturan, maka ketentuan tanggung jawab pidana tidak berlaku untuk anggota angkatan bersenjata Negara itu.

Warfare at Sea Seperti hukum perang di darat, hukum yang berkaitan dengan perang di laut telah ada selama berabad-abad Pada konferensi 1907, Konferensi Diplomatik 1974-1977 tidak memiliki mandat untuk memasukkan hukum perang laut ke dalam pekerjaannya Institut Internasional Hukum Humaniter di San Remo melakukan persiapan untuk mempublikasikan dokumen itu. Dokumen ini disampaikan oleh ahli hukum dan angkatan laut serta perwakilan ICRC. Buku ini diterbitkan pada tahun 1994 sebagai San Remo Manual Hukum Internasional Berlaku untuk Konflik

Seksi III berisi kelas kapal musuh dan pesawat musuh yang dilindungi dari serangan; dan kondisi untuk, dan hilangnya pengecualian tersebut.  Bagi kapal dan pesawat yang telah kehilangan hak perlindungan, penyerangan boleh dilakukan jika pengalihan atau penangkapan tidak dimungkinkan, tidak ada metode lain untuk melaksanakan kontrol militer, keadaan ketidakpatuhan kapal diasumsikan secara rasional sebagai objek militer, kehancuran yang terjadi proporsional dengan keuntungan yang diterima atau diharapkan.

Seksi IV menjelaskan aktifitas yang menyebabkan kapal dagang dapat berubah menjadi objek militer. Seksi V menentukan kondisi dimana kapal dagang dan pesawat sipil dapat diserang.

Kesimpulan Peraturan-peraturan yang telah di jelaskan memiliki tujuan untuk memberikan sedikit rasa humanis yang harus dipatuhi apabila kemungkinan terburuk, yaitu perang, terjadi. Menghindari kebrutalan dalam perang. Dalam praktiknya di lapangan terkadang masih serng terjadi pelanggaran.

Terimakasih