PENAFSIRAN PERJANJIAN DAN ITIKAD BAIK PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM PERTEMUAN - 09 ELOK HIKMAWATI, SH, MM PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menjelaskan tentang penafsiran perjanjian dan itikad baik
PENAFSIRAN PERJANJIAN Menafsirkan suatu persetujuan, berarti menentukan isi persetujuan dan mengakui akibat-akibat dari persetujuan. Dasar hukum : Pasal 1342 s/d 1351 KUH Perdata
Penafsiran perjanjian diatur dalam Bagian Keempat Bab Kedua Buku III KUH Perdata, tetapi undang-undang tidak memberikan pengertian tentang penafsiran perjanjian itu sendiri. Dalam hal isi perjanjian tidak jelas atau diterima dengan isi yang lain oleh lawan janjinya, maka diperlukan pencarian apa sebenarnya maksud para pihak yakni apa yang disepakati para pihak.
Langkah-langkah penafsiran perjanjian Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. (Pasal 1342 KUHPer) “Jelas” artinya kata-kata yang sedikit sekali memberikan kemungkinan untuk terjadinya penafsiran yang berbeda. Jika kata-kata suatu persetujuan tidak jelas, kita harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat persetujuan. Menafsirkan maksud para pihak harus memperhatikan itikad baik.
Apakah yang menjadi patokan penafsiran perjanjian yang diberikan undang-undang ? Pasal 1342 KUH Perdata: Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran sehingga: Penafsiran dilakukan terhadap pernyataan yang dibuat secara lisan, tertulis dan yang diwujudkan dalam bentuk tanda-tanda. Kata-kata yang jelas adalah kata-kata yang tidak memberikan banyak peluang penafsiran yang berlainan. Misalnya: sudah jelas diperjanjikan bahwa kewajiban pihak pemborong membuat jalan baru, bukan memperbaiki jalan lama yang sudah ada.
Pasal 1343 KUH Perdata: Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka perjanjian harus diberikan penafsiran yang paling sesuai dengan maksud para pihak, sekalipun harus menyimpang dari kata-kata perjanjian. Misalnya: apakah para pihak sesungguhnya bermaksud membuat penitipan barang atau perjanjian sewa-menyewa. Dalam perjanjian penitipan barang, pihak yang menerima titipan bertanggung jawab terhadap kehilangan barang yang dititipkan, sedangkan dalam sewa-menyewa, pihak yang menyewakan tempat, tidak bertanggung jawab atas barang milik penyewa.
Pasal 1344 KUH Perdata: Jika suatu perjanjian memungkinkan untuk diberikan lebih dari satu penafsiran, maka harus dipilih pengertian yang lebih memungkinkan pelaksanaan janji yang bersangkutan, dalam arti perjanjian harus ditafsirkan sedekat mungkin dengan maksud para pihak yang paling memungkinkan untuk pelaksanaan perjanjian tersebut. Contoh: kerugian harus dilaporkan sesegera mungkin (1x24 jam). Kalau ternyata keadaan tersebut baru diketahui 2 minggu setelah kejadian, maka arti “segera” adalah segera setelah diketahui, tidak mungkin kita dipaksa langsung tahu saat kejadian.
Pasal 1345 KUH Perdata: Jika kata-kata (tanda-tanda) suatu perjanjian memberikan lebih dari satu arti, maka perjanjian itu harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga paling selaras dengan sifat dari perjanjiannya. Contoh: transaksi harus dibayar dengan visa. Yang dimaksud dengan visa adalah jenis credit card, dan bukan visa dalam arti surat izin ke luar negeri.
Pasal 1349 KUH Perdata: Jika suatu perjanjian mengandung suatu janji/ klausula yang meragukan, maka janji/klausula tersebut ditafsirkan untuk kerugian pihak yang memperjanjikannya dan karenanya demi keuntungan pihak yang mengikatkan diri. Contoh: dalam suatu perjanjian tidak jelas apakah para debitur bertanggung jawab secara tanggung renteng kepada kreditur ataukah masing-masing bertanggung jawab sendiri sebesar uang yang diterimanya? Dalam hal ini, perjanjian ditafsirkan untuk keuntunagn debitur, yaitu masing-masing bertanggung jawab sendiri sebatas jumlah uang yang diterimanya.
ITIKAD BAIK Perkataan tentang itikad baik dirumuskan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Ketentuan pasal 1338 ayat (3) mempersoalkan pada tataran pelaksanaan suatu perjanjian, di mana perjanjian tersebut dalam keadaan sudah ada. Dikenal sebagai pasal yang paling tidak jelas (Satrio, 1992: 365) Itikad baik merupakan pengertian yang abstrak, kalaupun orang mengerti apa itu itikad baik, orang masih sulit untuk merumuskannya.
Menurut Brakel, karena sengketa “itikad baik” dalam pelaksanaannya hampir selalu dimintakan penyelesaiannya di pengadilan, maka ada orang yang berpendapat bahwa pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata sebenarnya merupakan pasal yang ditujukan kepada pengadilan. Untuk itu pemahaman soal itikad baik lebih baik merujuk bagaimana pengadilan menafsirkan “itikad baik” dalam praktik.
Itikad Baik dalam Praktik Th. 1948, A menjual persil-persilnya dengan harga Rp.250.000.000,00 kepada B untuk kemudian dijual lagi dengan keuntungan dibagi dua. B membayar sendiri harga tersebut, tetapi ditolak A. Kemudian B menggugat A ke PN Bandung dan menang. Dalam PT Jakarta putusan PN Bandung dikuatkan, kemudian diajukan kasasi. Menurut MA, maksud para pihak (A dan B) menutup perjanjian jual beli dan B selaku kuasa, karena A baru memiliki kewajiban menyerahkan persil itu jika B telah berhasil menjualnya kepada pihak ketiga. Menurut ketentuan pasal 1470 ayat (2) KUH Perdata, yang melarang bagi kuasa untuk membeli sendiri barang Barang-barang yang penjualannya dikuasakan kepadanya.
Sementara perkara berjalan (dari tahun 1948-1953), terjadi inflasi, harga-harga naik, termasuk harga persil-persil milik A tersebut. Tentu tidak pantas atau patut dihargai Rp.250.000.000,00 lagi. Walau disadari bahwa berdasarkan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, perjanjian A dan B bagaikan undang-undang bagi mereka, tetapi dengan ketentuan pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata , MA menyatakan bahwa perjanjian A dan B harus diselesaikan dengan “itikad baik”. Ini berarti B harus berusaha keras sekuat tenaga untuk menjual persil itu dengan harga pantas di waktu terkini, yaitu tahun 2053. (Satrio, 1992: 374).
Itikad Baik dan Isi Perjanjian Dari apa yang dipaparkan dalam putusan hakim tersebut, dapat diketahui bahwa hakim mengenyampingkan kata-kata dalam perjanjian. Hal ini berarti hakim melalui pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berhak untuk menambah, mengubah, bahkan menghapuskan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian.
Dengan demikian, isi perjanjian turut ditentukan oleh itikad baik, kepatutan, dan kepantasan. Bukan itikat baik dan kepatutan mengubah perjanjian, tetapi justru menetapkan apa sebenarnya isi perjanjian itu. Hal ini disebabkan karena menafsirkan tidak lain adalah mencari maksud para pihak, tidak saja dari kata-kata perjanjian, tetapi semua di antara dan di belakang kata-kata itu. Orang yang pandai bisa menafsirkan lebih banyak dari kata-kata suatu perjanjian daripada orang yang tidak terpelajar.