Bagian II: Mengadakan dan Mulai berlakunya Perjanjian Internasional Presentasi Kelompok I
BAGIAN II Kemampuan mengadakan Perjanjian Internasional Kuasa Penuh, penerimaan dan Otentifikasi Perjanjian Internasional Pernyataan sepakat terikat Perjanjian Internasional
Kemampuan Mengadakan Perjanjian Internasional Article 6. Vienna Convention1969 Capacity of States to Conclude Treaties “Every State possesses capacity to conclude treaties” Pasal 6. Konvensi Winna 1969 Kemampuan Negara Untuk Membuat Perjanjian “Setiap Negara berdaulat memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian”
Kemampuan Mengadakan Perjanjian Internasional Semua negara yang berdaulat memiliki kemampuan sepenuhnya dalam melakukan perjanjian internasional
Kemampuan Mengadakan Perjanjian Internasional Pembuatan Perjanjian Kewenangan untuk membuat perjanjian merupaan suatu atribut dari negara berdaulat, karena perjanjian itu dibuat dalam rangka kedaulatannya dimana negara tersebut menciptakan kewajiban yang mengikat satu dengan lainnya dan masing-masing berusaha untuk membatasi tindakan-tindakannya sendiri sebagai negara yang berdaulat.
Kemampuan Mengadakan Perjanjian Internasional Dalam pembuatan perjanjian Internasional, diperlukan adanya kejelasan mengenai pihak/badan yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembuatan perjanjian Internasional (treaty making power) Konstitusi masing-masing negara umumnya mengatur dengan jelas badan yang berwenang dalam pembuatan perjanjian Internasional, kewenangan tersebut dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
Kewenangan Mutlak Eksekutif Kewenangan ini umumnya terdapat dalam sistem monorasi dengan kekuaasaan terkonsentrasi pada kepala negara sebagai kepala eksekutif (biasa digunakan daalam sistem monarki absolut) b. Kewenangan Mutlak Legislatif Kewenangan ini berkembang pda saat lembaga legislatif suatu negara memegak seluruh kekuasaan termasuk didalamnya kekuasaan pembuatan perjanjian Contoh: -Konstitusi Turki 20 April 1924-1960, wewenang pembutan perjanjian pada parlemen -Konstitusi Unisoviet 5 Desember 1936, wewenang pembutan perjanjian pada Presidium Dewan Tertinggi c. Pembagian Kewenangann antara eksekutif dan legislatif Untuk mendapatkan kewenangan pembuatan perjanjian eksekutif harus mendapatkan persetujuan dari parlemen
Kuasa Penuh, penerimaan dan Otentifikasi Perjanjian Internasional Sejarah Perkembangan Full Powers Dahulunya, full powers sangat berguna dibandingkan masa sekarang. Tujuan awal full power, selama zaman kerajaan adalah untuk memberikan wakil dari pemerintah yang berdaulat suatu kekuasan untuk mewakili kepala negaranya berikut tindakan dalam batas kewenangannya. Hal ini merupakan kepentingan yang sangat fundamental bahwa kewenangan dari wakil tersebut seharusnya memiliki kemampuan bernegosiasi, dan pertimbangan terhadap penempatan suatu materi kedalam bentuk instrument, lebih spesifik lagi memiliki kemampuan mengenai bahasa apa yang digunakan.
Dua perkembangan terkait berkurangnya fungsi full powers: Berakhirnya masa pemerintahan kerajaan diakhir abad delapan belas. Secara perlahan-lahan kendali tindakan diplomatik terhadap kebijakan luar negeri setelah revolusi Amerika dan Prancis, telah menjadi kebiasaan praktek negara-negara bahwa ratifikasi merupakan kebebasan dari negara dalam menentukan, bahkan jika wakil dari negara tersebut telah merundingkan suatu perjanjian yang merupakan wewenangnya. Berkembangnya kemudahan dalam bidang komunikasi yang mencapai puncaknya pada telegraf elektronik yang memungkinkan untuk membatasi para wakil/ negosiator sesuai batas kewenangannya
Di zaman modern ada faktor ketiga semakin menekankan berkurangnya fungsi full powers. Faktor tersebut adalah meningkatnya kecenderungan negara-negara dalam membuat suatu kesepakatan/perjanjian dalam bentuk yang lebih sederhana/simple, yang biasa disebut dengan exchange of notes atau exchange of letters (pertukaran naskah) yang tidak membutuhkan full powers.
PERJANJIAN INTERNASIONAL Artikel 7 Konvensi Wina: konvensi ini mengatur Aturan Umum bahwa seseorang dianggap sebagai perwakilan negaranya untuk tujuan menerima (adopting) atau memberikan kesaksian (authenticating) atas suatu naskah perjanjian atau dalam tujuan persetujuan negara untuk terikat pada perjanjian internasional jika: (a) orang tersebut memiliki full powers ; atau (b) hal tersebut lahir dari praktek negara-negara terkait atau dari kondisi yang menunjuk orang tersebut sebagai perwakilan dari negara untuk tujuan tersebut dan tidak memerlukan full powers.
Pertentangan perlu tidaknya full powers Awalnya terjadi pertentangan atas diperlukan atau tidaknya suatu full powers, karena dikhawatirkan apakah tindakan memutuskan suatu perjanjian internasional tanpa full powers akan memiliki efek mengikat suatu negara atau tidak karena Pemerintahnya bahkan tidak menyadari suatu komitmen yang mengikat telah diambil terhadap negaranya. Namun terdapat argumen bahwa dalam membuat suatu perjanjian internasional dapat meniadakan full powers jika jelas bahwa hasil perundingan dibuat dalam bentuk yang lebih sederhana Untuk menghindari risiko tersebut dan menghormati hukum kebiasaan internasional, paragraf 2 pasal 7 Konvensi menyatakan bahwa : “Kepala-kepala negara, Kepala-kepala Pemerintahan Menteri-menteri Luar negeri tidak memerlukan full powers untuk semua tahap pembuatan perjanjiantermasuk penandatanganan. Kepala-kepala Perwakilan Diplomatik tetap membutuhkan full powers untuk menandatangani suatu perjanjian kecuali untuk penerimaan dan pengesahan naskah suatu perjanjian.”
Keterkaitan antara Pasal 7 ayat (2) dengan Pasal 46 Konvensi Wina : -
Penerimaan Naskah Perjanjian (adoption of the text), pasal 9 Vienna Convention 1969 -Penerimaan naskah ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta (secara suara bulat) atau -Mayoritas dua pertiga dari peserta yang hadir memberikan suara
Otentifikasi Perjanjian Internasional, Pasal 10 Vienna Convention 1969 Naskah perjanjian dibuat secara otentik dan definitif: (a) Dengan prosedur yang mungkin disebutkan dalam naskah atau yang sudah disetujui bersama oleh negara-negara yang ikut serta dalam perumusannya, atau (b) Jika tidak ada prosedur semacam itu, maka hal itu dapat dilakukan dengan tandatangan, tandatangan ad referendum atau pemarafan terhadap naskah perjanjian atau akta final dari konferensi yang dijadikan satu dengan naskah tersebut Sebelum naskah perjanjian disahkan sebagai naskah akhir maka naskah tersebut sebelumnya harus dinyatakan sebagai naskah yang benar (otentik) sesuai dengan naskah yang telah dirumuskan sebelumnya sewaktu dalam perundingan oleh semua negara perunding
Pernyataan sepakat terikat Perjanjian Internasional Kesepakatan dari negara-negara untuk mengikatkan pada perjanjian merupakan faktor yang sangat penting, karena negara-negara tersebut hanya dapat terikat oleh perjanjian tersebut jika mereka telah menyatakan kesepakatan masing-masing.
Pernyataan sepakat terikat Perjanjian Internasional Pasal 11, Vienna Convention 1969 Cara-cara untuk menyatakan kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian “Kesepakatan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian dapat dinyatakan dengan penandatanganan, pertukaran instrumen yang menciptakan suatu perjanjian, ratifikasik penerimaan, pengesahan, dan aksesi, atau dengan cara-cara lain yang disetujui”
Pernyataan sepakat terikat Perjanjian Internasional Penandatanganan Pasal 12 Vienna Convention menegaskan praktek penandatanganan yaitu: -Persetujuan negarara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut -Bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya -Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujuinya demikian -Bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas waktu perundingan
Pernyataan sepakat terikat Perjanjian Internasional Untuk pelaksanaan hal-hal tersebut pada pasal diatas: -paraf suatu naskah dapat berarti tandatangan bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menginginkan demikian; -tanda-tangan ad referendum juga dapat diberikan oleh wakil-wakil negara, bila tanda tangan tersebut dikonfirmasikan kemudian oleh negara yang bersangkutan
Pernyataan sepakat terikat Perjanjian Internasional (b). Pengesahan Ratifikasi dianggap penting dan perlu karena: -PI umumnya menyangkut kepentingan dan mengikat masa depan negara dalam hal-hal tertentu, karena itu harus disyahkan oleh kekuasaan negara tertinggi -Untuk menghindarkan kontroversi antara utusan-utusan yang berunding dengan pemerintah yang mengutus mereka -Perlu adanya waktu agar instansi-instansi yang bersangkutan dapat mempelajari naskah yang diterima -Pengaruh rezim parlementer yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif.
Ratifikasi ada di Pasal 14 : Ratifikasi diperlukan sebagai tambahan bagi penandatanganan untuk menetapkan kesepakatan untuk terikat bagi negara Digunakan sebagai cara penyerahan treaty making powers pada eksekutif dalam kontrol parlemen dan akhirnya doktrin ratifikasi melalui perubahan dasar. Ratifikasi diperlukan untuk membuat sebuah Perjanjian menjadi binding (terikat)
Perjanjian Internasional yang tidak formal seperti pertukaran nota yang dimaksudkan menjadi binding hanya dengan tandatangan di antara para pihak yang dituangkan dalam ratifikasi karena persyaratan peraturan perundang-undangan dalam negara yang berkepentingan. Tidak semua perjanjian internasional mewajibkan ratifikasi.
Penerimaan dan persetujuan Pasal 14 paragraf 2: Prosedur baru untuk menjadi negara pihak dalam perjanjian. Ada 2 bentuk penerimaan, yaitu : - untuk ratifikasi : Penerimaan adalah sebuah inovasi yang lebih berupa terminologi daripada metode. Jika perjanjian menetapkan bahwa itu dapat dibuka untuk penandatanganan “ berlaku jika telah diratifikasi”. - untuk aksesi : Jika perjanjian terbuka bagi “penerimaan” tanpa penandatanganan maka prosesnya seperti aksesi. Penerimaan dapat dianggap sebagai kesepakatan Negara untuk terikat setelah penandatanganan atau tanpa penandatangan.
Penandatanganan sebagai bentuk penerimaan dikenalkan dalam bentuk praktek perjanjian prinsipnya untuk menetapkan bentuk yang lebih sederhana dalam ratifikasi yang memberikan pemerintah kesempatan lebih lanjut untuk memeriksa perjanjian ketika hal itu tidak wajib diserahkan kepada prosedur peraturan perundang-undangan untuk diratifikasi. PP yang berbeda di setiap bangsa maka istilah ratifikasi dan penerimaan disamakan. TTD sbg bentuk persetujuan Persetujuan tanpa TTD Perbedaan tersebut dikarenakan praktek dan prosedur persetujuan dlm tiap konstitusi.
Aksesi Tidak mungkin terjadi sebelum perjanjian berlaku Dalam perjanjian modern terdapat klausul aksesi Dilakukan scr independen dr tgl berlaku perjanjian tersebut atau diimplikasikan bahwa berlakunya perjanjian tersebut tergantung pada diserahkannya instrument aksesi Komisi menyatakan tidak akan membuat peraturan yang membatasi aksesi
Kewajiban untuk tidak mengalahkan obyek perjanjian Kewajiban Negara mulai berlaku ketika Negara setuju melakukan negosiasi untuk mencapai kesimpulan perjanjian. Kewajiban itu terikat lebih kuat lagi pada negara yang telah meratifikasi, mengaksesi atau menerima suatu perjanjian bila ada tenggang waktu sebelum perjanjian tersebut berlaku. Proposal negosiasi dapat ditolak jika perundingan masih berlangsung dikarenakan kewajiban mereka belum jelas Pasal 18 digunakan terhadap negara yang telah menandatangan namun belum meratifikasi dan negara yang telah menyatakan setuju untuk terikat pada tenggang waktu sebelum berlakunya perjanjian .