PERPAJAKAN INTERNASIONAL DAN P3B DTSS PPh Tingkat Menengah
Pokok Bahasan Pengertian dan Dimensi Perpajakan Internasional Perpajakan Internasional Indonesia Taxing Inbound Income dan Outbound Income Pemajakan atas BUT dalam UU PPh P3B dalam UU PPh Model dan struktur P3B
Pengertian dan Dimensi Perpajakan Internasional
Pengertian Perpajakan Internasional IBFD International Tax Glossary 5th Ed. 2005: Traditionally refers to treaty provision relieving international double taxation In broader terms, it includes domestic legislation covering foreign income of residents (worldwide income) and domestic income of non residents. Brian Arnold, International Tax Primer, 1995: “…the international aspects of the income tax laws of particular countries.”
Elemen Perpajakan Internasional Termasuk tax treaty dengan 59 negara Yang mempunyai aspek mengatur perpajakan atas transaksi internasional Ketentuan perpajakan domestik suatu negara PERPAJAKAN INTERNASIONAL
Dimensi Perpajakan Internasional (4) Subjek Pajak Perpajakan Internasional Extra Territorial Perpajakan Domestik 2 3 Luar Negeri Penghasilan Penghasilan 1 4 Dalam Negeri Dalam Negeri Luar Negeri Subjek Pajak
Ruang Lingkup Perpajakan Internasional SUBJEK PAJAK SUMBER PENGHASILAN ISTILAH Dalam Negeri Luar Negeri Taxing Inbound Income Taxing Outbound Income
DIMENSI PERPAJAKAN INTERNASIONAL IHT DIMENSI PERPAJAKAN INTERNASIONAL Hak kedaulatan negara untuk mengenakan pajak. Terdapat “connecting factors” antara Negara dengan suatu transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan. UU pajak menerapkan dua prinsip berdasarkan “connecting factors” tersebut: 1. Residence Principle (Azas Residensi): Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat “personal attachment”, seperti: residensi, domisili, kewarganegaraan, tempat pendirian, tempat kedudukan manajemen. Worldwide Income 2. Source Principle (Azas Sumber): Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat “economic attachment” yaitu penghasilan yang bersumber di Negara tersebut. 8 8
Pemajakan Pada Transaksi Internasional IHT Pemajakan Pada Transaksi Internasional Negara S Negara sumber Diskusikan: Bagaimana cara Negara S mengenakan pajak atas penghasilan dividen? X Co. Penyetoran Modal Negara S Negara D Dividen Negara D Negara domisili Diskusikan: Bagaimana cara Negara D mengenakan pajak atas penghasilan dividen? Ali 9 9
KONFLIK PENYEBAB DOUBLE TAXATION Penerapan undang-undang perpajakan atas penghasilan yang timbul dari transaksi internasional menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda. 1. Konflik penerapan azas pemajakan: - Azas Residensi vs. Azas Sumber - Azas Residensi vs. Azas Residensi - Azas Sumber vs. Azas Sumber 2. Perbedaan karakterisasi penghasilan menurut undang-undang. 10
AZAS RESIDENSI VS. AZAS SUMBER Pajak berganda terjadi karena UU suatu negara mengenakan pajak berdasarkan azas sumber dan UU negara yang lain menerapkan azas residensi. X Corp. Loan Negara X Negara Y Interest PT ABC 11
AZAS RESIDENSI VS. AZAS RESIDENSI Pajak berganda terjadi karena dua UU mengenakan pajak kepada residen yang diklaim oleh kedua negara sebagai subjek pajak dalam negeri. UU kedua negara menerapkan Azas Residensi. SP DN Negara X Mr. John Negara X Indonesia Melakukan usaha di Indonesia selama > 183 hari SP DN Indonesia 12
AZAS SUMBER VS. AZAS SUMBER Pajak berganda terjadi akibat dua UU mengenakan pajak atas penghasilan yang diklaim oleh kedua negara bersumber di negaranya. Kedua jurisdiksi menerapkan source principle. Negara P Mencatat biaya copyright dan hutang-kantor pusat P Corp. Cabang ABC Negara X Tagihan Negara Y Copyright fee ABC Mencatat piutang cabang dan pengeluaran kas 13
PERBEDAAN KARAKTERISASI INCOME Setelah berhasil menghilangkan pajak berganda akibat Azas Residen vs. Azas Sumber, pajak berganda tetap terjadi bila dua negara mengenakan pajak atas penghasilan yang dikategorikan berbeda. Di negara X: Bunga tidak dikenakan pajak Dividen dikenakan pajak dan Perpetual Loan: Ekuitas, P Corp. Dividen Perpetual Loan Negara X Negara Y Di negara Y: Bunga dikenakan pajak, Dividen tidak dikenakan pajak dan Perpetual Loan: Loan, ABC Interest 14
MENGHILANGKAN PAJAK BERGANDA 1. Ketentuan pajak domestik (Unilateral), 2. Tax Treaty (Bilateral) 3. Prosedur Perjanjian Bersama (Mutual Agreement Procedures/MAP) 4. Arbitrase 15
MENGHILANGKAN PAJAK BERGANDA: KETENTUAN DOMESTIK Dengan cara: Mengecualikan orang/badan sebagai Subjek Pajak Mengecualikan penghasilan sebagai Objek Pajak Menerapkan tarif preferensial untuk subjek/objek pajak tertentu Menerapkan metode penghilangan pajak berganda (deduction, exemption, credit), dll. Tidak Sempurna, karena: Metode penghilangan pajak berganda hanya tersedia bagi WP dalam negeri UU tidak dapat menyelesaikan kasus dual residence 16
MENGHILANGKAN PAJAK BERGANDA: TAX TREATY Dengan cara: Penyelesaian kasus Dual Residence dengan menyediakan Tie Breaker Rule, Membagi hak pemajakan (Distributive Rules) Penyelesaian pajak berganda akibat koreksi karena transfer pricing dengan melakukan Corresponding Adjustment, Penentuan metode penghilangan pajak berganda, Mewajibkan Competent Authority menyelesaikan penerapan P3B yang tidak sebagaimana mestinya melalui konsultasi (Mutual Agreement Procedures), bila diminta oleh WP. 17
METODE PENGHILANGAN PAJAK BERGANDA Deduction Method: pajak yang dikenakan di luar negeri mengurangi penghasilan yang diperoleh dari luar negeri sebelum digabung dengan penghasilan dari dalam negeri. Exemption Method: penghasilan dari luar negeri tidak diperhitungkan saat menghitung pajak terutang di dalam negeri. Credit Method: pajak yang dikenakan di luar negeri diperhitungkan dengan pajak atas seluruh penghasilan.
KASUS: MENGHILANGKAN PAJAK BERGANDA Ali memperoleh penghasilan neto dari dalam negeri Rp 50 miliar dan dari luar negeri Rp 30 miliar (dikenakan pajak di luar negeri 40%, yaitu Rp 12 miliar) Hitunglah: Total beban pajak Ali secara keseluruhan Tarif pajak efektif yang ditanggung Ali Apabila: Di dalam negeri pengenaan pajak menerapkan prinsip worldwide income dan tarif tunggal 30% dan (i) tidak ada penghilangan pajak berganda, (ii) deduction method, (iii) exemption method, dan (iv) full credit method.
KASUS: MENGHILANGKAN PAJAK BERGANDA No Relief Deduction Method Exemption Method Full Credit Method Penghasilan Neto DN 50 M Penghasilan Neto LN 30 M 18 M -- Total Penghasilan Neto 80 M 68 M PPh (30%) 24 M 20.4 M 15 M (-) Kredit Pajak LN --- (12 M) Pajak di dalam negeri 12 M Total Pajak (dn & ln) 36 M 32.4 M 27 M Tarif Pajak Efektif 45% 40.5% 33.75% 30%
TAX SPARING CREDIT Adalah ketentuan dalam tax treaty yang membolehkan Wajib Pajak dari negara domisili mengkreditkan pajak yang seolah-olah dikenakan di negara sumber. Kredit pajak tersebut fiktif, karena sebenarnya tidak dikenakan berkaitan dengan kebijakan pemberian insentif. Kasus: Beni, SPDN negara B, berinvestasi di negara A dan menerima dividen $1000. Negara A memberi insentif perpajakan sehingga dividen yang diperoleh investor asing tidak dikenakan pajak. UU PPh di negara B: tarif 30%, worldwide income, dan metode kredit. Tarif pajak dividen ke luar negeri di negara A sebelum ada insentif: 20%. Hitunglah pajak yang ditanggung Beni apabila di dalam P3B: (i) tidak terdapat klausul tax sparing credit, (ii) terdapat klausul tax sparing credit. [Asumsi: Beni tidak mempunyai penghasilan dari dalam negeri]
KASUS TAX SPARING CREDIT Sebelum ada kebijakan insentif perpajakan Setelah ada kebijakan insentif perpajakan Tidak ada tax sparing credit Ada tax sparing credit Negara A Negara B Penghasilan Dividen 1000 Pajak Dividen 200 -- Pajak terutang 300 (-) KPLN Pajak di A 100 Total Pajak
PENGHILANGAN PAJAK BERGANDA DALAM UU PPh Pasal 24 UU PPh Pasal 32A
Perpajakan Internasional Indonesia
Perpajakan Internasional Indonesia (1) Pengertian: UU PPh dan aturan pelaksanaannya: Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Dirjen Pajak, yang mengatur perlakuan pajak atas: penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diperoleh Subjek Pajak luar negeri (taxing outbound income), dan Penghasilan yang diperoleh subjek pajak dalam negeri (taxing inbound income) termasuk tax treaty antara Indonesia dengan 58 negara mitra (per 1 Januari 2010).
Perpajakan Internasional Indonesia (2) Aspek Internasional dalam UU PPh: Subjek Pajak Pasal 2 dan Pasal 3 Objek Pajak Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 26 ayat (1), (2), dan (4) Menghitung PPh terutang Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 26 Kredit Pajak Luar Negeri Pasal 24 Anti Penghindaran Pajak Pasal 18 Tax Treaty Pasal 32A
Taxing Outbound Income IHT Perpajakan Internasional Indonesia (3) Aspek Internasional Dimensi Pajak Taxing Inbound Income Taxing Outbound Income Subjek Pajak SP DN SP LN BUT SP LN non BUT Objek Pajak Pasal 4 ayat (1) minus ayat (3) Pasal 5 ayat (1) a, b, dan c Pasal 26 ayat (1), (2) , dan (4) Pengurang Pasal 6 dan 9 Pasal 5 ayat (2) minus ayat (3), Pasal 6 Menghitung Pajak Pasal 16 ayat (1), (2), dan (4) Pasal 16 ayat (3) Tarif Pajak Pasal 17 ayat (1) a/b Pasal 17 ayat (1) b Penghilangan Pajak Berganda Pasal 24 Pelunasan Pajak Self Assessment & Withholding Withholding 27 27
Taxing Outbound Income
TAXING INBOUND INCOME (1) Pemajakan atas Subjek Pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari luar negeri. Subjek Pajak: SPDN (Orang Pribadi dan Badan) Objek Pajak: Pasal 4 ayat (1) tidak termasuk ayat (3) Menghitung Pajak: Pasal 16 ayat (1), (2), dan (4) Tarif pajak: Pasal 17 ayat (1) a atau b Penghilangan pajak berganda: Pasal 24 29
TAXING INBOUND INCOME (2) Subjek Pajak IHT TAXING INBOUND INCOME (2) Subjek Pajak Orang Pribadi Badan Bertempat tinggal di Indonesia, Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau Berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia (Pasal 2 ayat (3) a UU PPh) Didirikan di Indonesia, atau Bertempat kedudukan di Indonesia. (Pasal 2 ayat (3) b UU PPh) Kewajiban Pajak Subjektif: Dimulai: saat orang pribadi dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia, Berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. (Pasal 2A ayat (1) UU PPh) Dimulai pada saat badan didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia Berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia (Pasal 2A ayat (2) a UU PPh) 30 30
Pekerja Indonesia Sebagai SPLN TAXING INBOUND INCOME (3) Pekerja Indonesia Sebagai SPLN PER. DIRJEN PAJAK NO.PER-2/PJ./2009: Dalam rangka memberi kepastian atas perlakuan PPh bagi orang pribadi WNI yang bekerja di luar negeri, Diatur tentang Pekerja Indonesia yaitu: Orang pribadi WNI yang bekerja di luar negeri > 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan adalah Subjek Pajak luar negeri (SPLN), Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri sehubungan dengan pekerjaannya di luar negeri dan telah dikenai pajak di luar negeri, tidak dikenai PPh di Indonesia.
TAXING INBOUND INCOME (4) IHT TAXING INBOUND INCOME (4) Objek Pajak bagi SPDN adalah Penghasilan, yaitu: setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. (Pasal 4 ayat (1) UU PPh) 32 32
TAXING INBOUND INCOME (5) Elemen-elemen dalam definisi Penghasilan mencakup semua: Apapun jenis penghasilan (makna ekonomis, Global Income Taxation) Apapun jenis saat pengakuan (cash atau accrual basis), Dari manapun sumber geografis penghasilan (worldwide income), Apapun cara pemanfaatannya, Apapun nama dan bentuknya.
Penghasilan Dari Luar Negeri IHT Penghasilan Dari Luar Negeri Worldwide Income Principle: WPDN terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut: a. untuk penghasilan dari usaha, dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut; untuk penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut; untuk dividen dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan deviden tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. KMK-164/KMK.03/2002 34 34
Pasal 4 ayat (1) – Pasal 4 ayat (3) IHT TAXING INBOUND INCOME (6) Cara menghitung penghasilan neto (umum): PEREDARAN BRUTO Pasal 4 ayat (1) – Pasal 4 ayat (3) PENGURANG Pasal 6 (1) dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g PENGHASILAN NETO 35 35
Pasal 4 ayat (1) – Pasal 4 ayat (3) IHT TAXING INBOUND INCOME (7) Cara menghitung penghasilan neto (norma penghitungan): PEREDARAN BRUTO Pasal 4 ayat (1) – Pasal 4 ayat (3) NORMA PENGHITUNGAN Pasal 14 dan Pasal 15 PENGHASILAN NETO 36 36
TAXING INBOUND INCOME (8) IHT TAXING INBOUND INCOME (8) PENGHASILAN NETO PTKP dan SISA KERUGIAN TH. SEBELUMNYA Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 7, Pasal 6 ayat (2) PENGHASILAN KENA PAJAK Pasal 16 ayat (1) dan (2) TARIF PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a atau b PPh TERUTANG PELUNASAN PPH DLM TH BERJALAN Pasal 20, Pasal 24 , Pasal 26 ayat (5) PPH YMH/(LEBIH) DIBAYAR Pasal 28 37 37
TAXING INBOUND INCOME (9) IHT TAXING INBOUND INCOME (9) Penghilangan Pajak Berganda: Diatur dalam Pasal 24 UU PPh; Berlaku bagi WPDN dan BUT; Metode: kredit, per country limitation, Mengatur tentang negara sumber penghasilan (source rules) 38 38
TAXING INBOUND INCOME (10) IHT TAXING INBOUND INCOME (10) Tata Cara Pengkreditan Pajak Luar Negeri: WP wajib menyampaikan permohonan kepada Dirjen Pajak dengan dilampiri: Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri; Fotokopi SPT Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan Dokumen pembayaran pajak di luar negeri. Penyampaian permohonan dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh. (KMK-164/KMK.03/2002) 39 39
TAXING INBOUND INCOME (11) IHT TAXING INBOUND INCOME (11) Source Rule dalam Pasal 24 UU PPh , diantaranya: penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta capital gainnya negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan; penghasilan bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bertempat kedudukan atau berada; penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak negara tempat harta tersebut terletak; penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada; 40 40
Taxing Outbound Income
TAXING OUTBOUND INCOME (1) Pemajakan atas Subjek Pajak luar negeri (SPLN) yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari dalam negeri. Subjek Pajak: SPLN (Orang Pribadi atau Badan) Objek Pajak: Pasal 26 ayat (1), (2), dan (4) Menghitung Pajak: Pasal 26 ayat (1), (2), dan (4) Tarif pajak: Pasal 26 ayat (1), (2), dan (4) Penghilangan pajak berganda: Tidak ada 42
TAXING OUTBOUND INCOME (2) Subjek Pajak IHT TAXING OUTBOUND INCOME (2) Subjek Pajak Orang Pribadi Badan Tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau Berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan (Pasal 2 ayat (4) UU PPh) Tidak didirikan, dan Tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Kewajiban Pajak Subjektif: Dimulai pada saat orang pribadi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, Berakhir pada saat orang pribadi tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut. (Pasal 2A ayat (4) UU PPh) Dimulai pada saat badan menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, Berakhir pada saat badan tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut. 43 43
TAXING OUTBOUND INCOME (3) IHT TAXING OUTBOUND INCOME (3) Objek Pajak bagi SPLN: Berdasarkan Pasal 26 ayat (1), yaitu penghasilan dengan karakteristik sebagai berikut: Penghasilan tertentu (positive/closed list), Menerapkan konsep substance over form, Saat terutang: saat dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya, Pemotong Pajak: Badan pemerintah, SPDN, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, 44 44
TAXING OUTBOUND INCOME (4) IHT TAXING OUTBOUND INCOME (4) Objek Pajak SPLN Pasal 26 ayat (1): dividen; bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; hadiah dan penghargaan; pensiun dan pembayaran berkala lainnya; premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau keuntungan karena pembebasan utang. 45 45
TAXING OUTBOUND INCOME (5) IHT TAXING OUTBOUND INCOME (5) Objek Pajak SPLN Pasal 26 ayat (2): Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh WPLN selain BUT di Indonesia, dan Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri Saat terutang: diatur lebih lanjut dengan PMK; Dasar pengenaan pajak: penghasilan neto yang diatur dengan PMK; Perkiraan penghasilan neto: diatur lebih lanjut diatur lebih lanjut dengan PMK Mekanisme pelunasan: pemotongan/pemungutan 46 46
TAXING OUTBOUND INCOME (6) IHT TAXING OUTBOUND INCOME (6) Pemotongan PPh Pasal 26 ayat (2): Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia: Untuk pengalihan saham sesuai KMK-434/KMK.04/1999 perkiraan penghasilan neto 25%, Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, perkiraan penghasilan neto: 50% bila yang membayar tertanggung, 10% bila yang membayar perusahaan asuransi, 5% bila yang membayar perusahaan reasuransi. 47 47
Pasal 26 ayat (1) huruf a s.d. h IHT TAXING OUTBOUND INCOME (7) PASAL 26 AYAT (1): PEREDARAN BRUTO Pasal 26 ayat (1) huruf a s.d. h TARIF 20% PPH TERUTANG 48 48
TAXING OUTBOUND INCOME (8) IHT TAXING OUTBOUND INCOME (8) PASAL 26 AYAT (2): PEREDARAN BRUTO Pasal 26 ayat (2) PERKIRAAN PENGHASILAN NETO Diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan TARIF 20% PPH TERUTANG 49 49
PENGHASILAN KENA PAJAK BUT IHT TAXING OUTBOUND INCOME (9) Branch Profit Tax Pasal 26 ayat (4): PENGHASILAN KENA PAJAK BUT BRANCH PROFIT TARIF PPH PASAL 17 TARIF 20% PPH TERUTANG BRANCH PROFIT TAX 50 50
Penghindaran pajak berganda, Pencegahan pengelakan pajak, P3B DALAM UU PPh (1) Tujuan P3B: Penghindaran pajak berganda, Pencegahan pengelakan pajak, Peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain, Memberikan kepastian hukum. [Pasal 32A UU PPh]
P3B DALAM UU PPh (2) Kedudukan hukum P3B di hadapan UU PPh IHT P3B DALAM UU PPh (2) Kedudukan hukum P3B di hadapan UU PPh Kedudukan tax treaty: lex specialis dari UU PPh. (Penjelasan Pasal 32 A UU PPh) Bila terjadi perbedaan pengaturan antara UU PPh dan tax treaty, maka ketentuan dalam tax treaty yang diberlakukan (”Tax Treaty Superceeding Domestic Tax Laws”).
DAFTAR P3B INDONESIA YANG BERLAKU EFEKTIF: 59 Negara Australia Bangladesh Brunei Darussalam India Jepang Jordan Korea Utara Korea Selatan Kuwait Malaysia Mongolia New Zealand Pakistan Philippines Qatar Saudi Arabia Singapura Srilangka Syria Taiwan Thailand RRC Uni Emirat Arab Vietnam Algeria Kanada Mesir Mauritius (dihentikan) Mexico Seychelles Afrika Selatan Sudan Tunisia Amerika Serikat Venezuela Austria Belgia Bulgaria Ceko Denmark Finlandia Portugal Prancis Jerman Hungaria Italia Luxemburg Belanda Norwegia Polandia Rumania Rusia Slovakia Spanyol Swedia Switzerland Turki Ukraina United Kingdom Uzbekistan 53
Identifikasi Transaksi P3B DALAM UU PPh (3) INTERAKSI UU PPH DAN P3B Start P3B dite-rapkan? P3B Konflik dng UU PPh? Ya Ya Identifikasi Transaksi Internasional, seperti: Subjek & Objek Pajak Tidak Tidak Tentukan Perlakuan Pajak menurut UU PPh Perlakuan Pajak menurut P3B, khusus untuk isu yang berkonflik. Perlakuan Pajak menurut UU PPh JALAN TERUS!!! Ada PPh terutang? Ya Untuk hal-hal lain yang tidak berkonflik dengan P3B: UU PPh JALAN TERUS!!! Tidak Stop
P3B DALAM UU PPh (4) P3B diterapkan apabila: Indonesia memiliki P3B dengan negara residen, dan WP luar negeri adalah residen dari negara mitra P3B Indonesia terdapat SKD yang sah P3B diterapkan? Ya Tidak
P3B konflik dengan UU PPh? P3B DALAM UU PPh (5) P3B dapat berkonflik dengan UU PPh dalam hal, seperti: Status Subjek Pajak dalam negeri, Keberadaan BUT, Hak pemajakan, Besarnya penghasilan (tax base) Besarnya tarif pajak, Definisi penghasilan/harta, Sumber penghasilan P3B konflik dengan UU PPh? Ya Tidak
Model dan Struktur P3B
MODEL DAN STRUKTUR P3B (1) IHT MODEL DAN STRUKTUR P3B (1) Terdapat dua model P3B, yaitu OECD Model dan UN Model, yang dapat digunakan sebagai: Referensi bagi para negara dalam membuat P3B, Untuk menyamakan bentuk P3B yang hendak dirundingkan, Bagi Indonesia (DJP), kedua model digunakan sesuai dengan kondisi dalam perundingan, dengan landasan dasar adalah kepentingan nasional.
MODEL DAN STRUKTUR P3B (2) IHT MODEL DAN STRUKTUR P3B (2) OECD Model mempunyai karakteristik utama melindungi hak pemajakan negara domisili dalam wujud: Pencantuman definisi istilah ke dalam P3B untuk mencegah penggunaan definisi yang terdapat dalam hukum domestik negara sumber, Pembatasan hak pemajakan negara sumber dalam bentuk seperti: syarat-syarat, time test yang lebih panjang, dan pembatasan tarif pajak. UN Model lebih condong melindungi hak pemajakan negara sumber dibandingkan OECD Model.
MODEL DAN STRUKTUR P3B (3) Pasal-pasal dalam P3B dapat dikelompokkan menjadi: Ruang Lingkup (Scope) Definisi Substansi (pembagian hak pemajakan atas penghasilan) Anti Penghindaran Pajak, Metode menghilangkan pajak berganda, dan Lain-lain.
MODEL DAN STRUKTUR P3B (4) Pasal Judul Jenis 1 Personal Scope Scope 2 Taxes Covered 3 General Definitions Definisi 4 Resident 5 Permanent Establishment 6 Immovable Property Substansi 7 Business Profits 8 Shipping 9 Associated Enterprise Anti-avoidance 10 Dividend 11 Interest 12 Royalties 13 Capital Gain 14 [Independent Personal Services] 15 Dependent Personal Services 16 Directors Profits Passive Income Personal Income
MODEL DAN STRUKTUR P3B (5) Pasal Judul Jenis 17 Artistes & Sportsmen Substansi 18 Pensions 19 Government Services 20 Students 21 Other Income 22 Capital 23 Elimination of Double Taxation Metode menghilangkan pajak berganda 24 Non Discrimination Lain-Lain 25 Mutual Agreement Procedure 26 Exchange of Information Anti-avoidance 27 Diplomats 28 Territorial Extension 29 Entry into Force Scope 30 Termination
MODEL DAN STRUKTUR P3B (6) RUANG LINGKUP: Pasal 1 (Persons Covered) dan Pasal 4 (Fiscal Residence): mengatur siapa yang dicakup oleh P3B, yaitu orang/badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri (spdn) di negara2 yang membuat P3B. Spdn mengikuti ketentuan domestik masing2 negara. Indonesia: dibuktikan dengan SKD. Bila terjadi dual residence, tie-breaker rule diterapkan. Pasal 2 (Taxes Covered): Mengatur pajak-pajak yang dicakup oleh P3B (pajak atas penghasilan dan pajak atas modal). Dapat memasukkan pajak daerah. Untuk mengantisipasi perubahan UU pajak di masa depan.
MODEL DAN STRUKTUR P3B (7) DEFINISI Terdapat dalam Pasal 3. Selain itu, beberapa istilah dibuat definisinya dalam pasal–pasal terkait, seperti: bentuk usaha tetap (Pasal 5), harta tidak bergerak (Pasal 6), dividen (Pasal 10), bunga (Pasal 11), royalti (Pasal 12). Bila tidak terdapat definisi: Carilah makna lazim untuk istilah dimaksud (ordinary meaning) sesuai dengan konteks dan tujuan perjanjian, Bila tidak tersedia, Pasal 3 ayat (2) memberi petunjuk: Mengacu kepada pengertian yang terdapat dalam ketentuan domestik, atau Perlunya kesepakatan kedua negara (common meaning).
MODEL DAN STRUKTUR P3B (8) SUBSTANSI Pembagian hak pemajakan untuk tiap-tiap jenis penghasilan: Penghasilan Laba Usaha: Pasal 6 (immovable property), Pasal 7 (business profit), Pasal 8 (shipping/aircraft) Penghasilan Modal: Pasal 10 (dividend), Pasal 11 (interest), Pasal 12 (royalties) Keuntungan pengalihan harta: Pasal 13 (Capital Gain) Penghasilan individu: Pasal 14 (independent personal services), Pasal 15 (dependent personal services), Pasal 16 (directors), Pasal 17 (artistes & sportsmen), Pasal 18 (pensions), pasal 19 (government services), pasal 20 (students). Penghasilan Lain-Lain: Pasal 21
MODEL DAN STRUKTUR P3B (9) ANTI PENGHINDARAN PAJAK: Pasal 9 (associated enterprise): Suatu negara dapat menghitung besarnya pajak yang seharusnya dikenakan pada transaksi terkendali yang berbeda dengan transaksi yang tidak terkendali. Pasal 26 (exchange of information): Suatu negara dapat meminta informasi kepada negara negara mitra untuk tujuan mencegah terjadinya pajak berganda atau pengelakan pajak. Bentuknya dapat berupa melakukan audit simultan atau visiting audit. Pasal-Pasal penutup mengenai pemberlakuan (enter into force) dan saat pengakhiran P3B (termination)
Penghilangan Pajak Berganda dalam P3B
PENGHILANGAN PAJAK BERGANDA DALAM P3B (1) P3B Menyediakan Tie Breaker Rule Untuk mencegah pajak berganda akibat dual residence (keadaan dimana seseorang atau badan dianggap oleh dua negara sebagai subjek pajak dalam negeri). Pembagian hak pemajakan dalam Pasal2 substantif. Penentuan sumber penghasilan Untuk mencegah pajak berganda akibat konflik sumber (keadaan dimana suatu penghasilan dianggap bersumber di dua negara). Penentuan definisi penghasilan. Untuk mencegah pajak berganda akibat penerapan definisi yang tidak sama berdasarkan ketentuan domestik. Penentuan metode penghilangan pajak berganda Metode kredit atau metode pembebasan.
PENGHILANGAN PAJAK BERGANDA DALAM P3B (2) Pembagian hak pemajakan (distributive rule): Negara sumber tidak diperkenankan mengenakan pajak. Hak negara sumber dibatasi. Hak negara domisili tidak dibatasi. Penghasilan dikenakan pajak secara eksklusi di negara domisili. Contoh: Article 8 Ships and Aircraft P3B RI-Australia 1. Profits from the operation of ships or aircraft derived by a resident of one of the Contracting States shall be taxable only in that State.
PENGHILANGAN PAJAK BERGANDA DALAM P3B (3) Negara sumber dapat mengenakan pajak tanpa dibatasi Negara sumber dan domisili dapat mengenakan pajak atas penghasilan tersebut. Double tax? Ya, namun dapat dihilangkan karena P3B menyediakan metode penghilangan pajak berganda (metode kredit atau pembebasan) Contoh: Article 6 Income From Immovable Property P3B RI-Kanada 1. Income from immovable property including income from agriculture or forestry may be taxed in the Contracting State in which such property is situated.
PENGHILANGAN PAJAK BERGANDA DALAM P3B (4) Negara sumber dapat mengenakan pajak dengan syarat tertentu. Bila syarat terpenuhi, negara sumber dan domisili dapat mengenakan pajak. Bila tidak, penghasilan dikenakan pajak secara eksklusif di negara domisili. Contoh: Article 7 Business Profits P3B RI-Malaysia 1. The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State but only on so much thereof as is attributable to that permanent establishment.
PENGHILANGAN PAJAK BERGANDA DALAM P3B (5) Negara sumber dapat mengenakan pajak dengan pembatasan. Negara sumber dan domisili dapat mengenakan pajak. Ketentuan domestik negara sumber dibatasi oleh P3B. Bila tarif pajak domestik lebih tinggi, P3B berkonflik dengan ketentuan domestik, namun P3B yang akan berlaku. Contoh: Article 11 Interest P3B RI-Mauritius 2.However, subject to the provisions of paragraph 3, such interest may also be taxed in the Contracting State in which it arises and according to the law of that State, but if the recipient is the beneficial owner of the interest the tax so charged shall not exceed 10 per cent of the gross amount of the interest.